KONDISI SOSIAL DI JAWA TENGAH MASA KOLONIAL
TATANAN SOSIAL EKONOMI DAN POLITIK DI TANAH JAWA TENGAH SELATAN PADA ABAD KE-19 Part 1.
- Kebijakan Pajak.
Gambar 1.1 Peta Pembagian Derah Di Jawa Tahun 1830.
Sumber: Dokumen Hari Jadi Kabupaten Klaten.[1]
Keadaan
sosial masyarakat di Jawa Tengah Selatan pada saat awal abad ke-19 tidaklah
stabil dan justru semakin merosot menuju krisis sosial yang lebih krusial
hingga ketimpangan sosial benar-benar membuat masyarakat menjadi sangat
sengsara. Realitas tersebut terjadi dikarenakan besarnya beban yang harus
diemban oleh masyarakat setelah semakin mendominasinya pengaruh Belanda terhadap
seluruh tatanan sosial masyarakat Jawa pada waktu itu, di sisi lain pihak
pangreh praja keraton mulai mengalami destruksi nilai-nilai Jawa setelah maraknya
westernisasi di segala bidang tatanan kerajaan. Beban lain yang harus ditanggung
oleh masyarakat Jawa adalah lahirnya culture stelsel (sistem tanam
paksa) untuk masyarakat yang tidak mampu membayar pajak kepada keraton dan
pemerintah Hindia Belanda.[2]
Kondisi
semacam itu semakin diperparah dengan maraknya westernisasi dimana
terdapat perubahan pola hidup di dalam pemerintah pangreh praja keraton Jawa
yang semakin hedon dengan segala kekayaan dan gaya hidupnya demi mengikuti
model kehidupan bangsa Barat seperti minum-minuman keras, pelacuran, pesta-pesta
besar, penghisap candu.[3]
Realitas perilaku para pangreh praja tersebut semakin memperkuat tumbuhnya
jurang kesenjangan sosial yang sangat besar antara masyarakat miskin,
masyarakat kaya dengan para pejabat pangreh praja di tanah Jawa.[4]
Sistem
perpajakan yang ada di tanah Jawa pada periode tahun 1812 sangatlah kompleks yang
terdiri dari empat pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat Jawa pada waktu
itu. Pertama adalah pajak tetap atas hasil tanah yang menjadi upeti untuk
diserahkan dalam bentuk bahan mentah, nilai yang terkandung dalam pajak ini
merupakan yang terbesar dari pada tiga pajak lainnya seperti pacumpleng,
kerigaji dan pegaweyan dengan nilai yang lebih kecil.[5]
Pacumpleng
adalah pajak yang bebannya diberikan kepada keluarga seorang sikep,
biasanya pajak tersebut dibayatkan berupa gulungan benang katun. Kerigaji
adalah pajak yang dibayarkan berbentuk pemeliharaan jalan di wilayah kerajaan,
pajak ini bisa diganti dengan menyetorkan sejumlah uang, sedangkan pegaweyan
merupakan pajak dalam bentuk tugas rodi. Kesemua pajak tersebut adalah
jenis-jenis pajak yang diberikan kepda masyarakat di wilayah Keraton Kasultanan
Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Belanda.[6]
Ketika
masyarakat akan membayarkan pajak, mereka terlebih dahulu melakukan perjalanan
yang jauh dari daerah asal sampai di Keraton Yogyakarta.[7] Selain membayar pajak
terhadap kerajaan tradisional, masyarakat juga diwajibkan untuk membayar pajak
kepada Belanda. Salah satu contohnya adalah ketika terjadi acara Garebeg Maulud
para pekerja ditugaskan untuk merenovasi benteng Belanda dan banguna lainnya
yang menjadi milik pemerintah kolonial Belanda. Selama tinggal di pusat
kerajaan para masyarakat yang membayar pajak tidak bisa diprediksi kapan bisa
kembali lagi ke tempat asalnya, hal itu sama sekali berdampak besar terhadap
waktu panen padi sehingga memperburuk hasil pertanian masyarakat.[8]
Melihat
begitu menderitanya masyarakat, tidak mengherankan bila masyarakat pada awal
abad ke-19 banyak juga yang tergabung untuk mendukung gerakan pemberontakan
yang dilakukan oleh Raden Ronggo Prawirodirjo III di wilayah Yogyakarta sampai
wilayah mancanagari Surakarta.[9] Dukungan tersebut terjadi
karena masyarakat sudah sangat kecewa terhadap sikap para pejabat tradisional
dan kelakuan dari Belanda atas apa yang mereka lakukan terhadap kehidupannya
dan anak keturunannya, sehingga hal itu menimbulkan derita besar yang selama
ini mereka emban khususnya dengan besarnya jumlah pajak yang dinilai sangat
mencekik kehidupan masyarakat.[10]
Kabupaten
Klaten pada abad ke-19 merupakan salah satu kawasan yang masuk dalam wilayah negaragung
Kasunanan Surakarta. Wilayah-wilayah di negaragung memiliki tingakat
nominal pajak yang lebih rendah dibandingkan dengan beban pajak yang ada di
wilayah mancanagari. Meskipun begitu, bila dibandingkan dengan wilayah
lain tidak begitu besar pajaknya akan tetapi masyarakat di wilayah negaragung
seperti di Kabupaten Klaten masih tetap hidup dalam penderitaan karena mereka
terkadang tidak bisa menikmati jerih payah dari hasil pertanian mereka sendiri
terlebih lagi terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi dan
banyak sekali masyarakat Klaten yang masuk dalam kerja paksa baik di dalam
wilayah sendiri maupun dikirim keluar untuk menjadi tenaga kerja paksa.[11]
Potret
besarnya pajak tidak seimbang dengan keadaan masyarakat di Jawa, khususnya
seorang kuli panggul yang seringkali tidur di tempat yang terbuka di malam
hari. Ketika memasuki waktu untuk bekerja, mereka bekerja dengan memikul barang
berat di jalan raya dan manakala tidak sedang bekerja, mereka hanya bisa pasrah
dengan kembali dalam keadaan tangan kososng kembali ke gubug reyot yang mereka
tinggali.
Di
dalam gubug reyot tersebut para buruh panggul hanya tidur di atas tikar anyaman
dari daun kelapa yang langsung bersentuhan dengan tanah dan dengan sepasang
pakaian compang-camping seadanya yang berbahan dasar kain kasar. Realita
tersebut, membuat kehidupan mereka selalu bergantung pada alam untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari baik untuk makan minum dikala tidak punya uang, dan
mandi serta mencuci di sungai-sungai atau sumber air.[12] Melihat begitu besarnya
kesenjangan yang terjadi anatara si miskin dan si kaya tanpa adanya perhatian
dari pemerintah dalam mengatur struktur tatanan sosial masyarakat Jawa di abad
ke-18. Hal itulah yang memicu lahirnya kecemburuan sosial yang sangat besar
hingga terjadinya krisis sosial ekonomi dan pembarontakan.[13]
Pada
tahun 1817 terjadi penekanan yang sangat besar kepada masyarakat manakala
kerajaan tradisional mengambil pajak melalui sebuah kebijakan praktik pancas,
yang berarti pemotongan ukuran jung kerajaan diperkecil sedangkan tanggungjawab
pejak tetap sama.[14]
Lahirnya kebijakan tersebut dilatar belakangi oleh tidak adanya aktivitas
survei kadaster yang jelas dan menyeluruh mengenai ukuran luas tanah dan hasil
panen yang ada di Jawa Tengah.
Kebijakan
survei kadaster tidak pernah dilakukan oleh pihak keraton dan justru selalu
menolak untuk mengadakan survei, karena mereka takut bila Belanda tahu akan
hasil bumi dan jumlah kepemilikan tanah akan berdampak terhadap pengambil
alihan secara paksa semua tanah yang baru dibuka setelah adanya survei
kadaster, seperti yang pernah dilakukan oleh keraton pada tahun 1773 sebelum
pembagian Giyanti.[15]
Gambar 1.2
Tanah jabatan di Jawa Tengah dan Timur.
Sumber: Louw dan De Klerck, IV: 1894-1909, disadur
oleh J. Wilbur Wright dari Oxford.[16]
Data
statistik yang ada mengenai luas tanah yang dimiliki oleh pihak Keraton
Kasultanan Yogyakarta sebenarnya tidaklah jelas jumlahnya sehingga berpengaruh
terhadap keruwetan sistem administrasi keraton, pemberian tanah kepada pejabat
keraton dan data pemasukan pendapatan yang telah tercampur dengan
pendapatan-pendapatan lainnya. Kesemerawutan tersebut sudah terjadi sejak Sri
Sultan Hamangkubuwana II bertahta dan terus-menerut terjadi pada generasi
penerusnya. Pencatatan kekayaan dan keuangan keraton mulai sedikit tertata
ketika mulai masuk abad ke-20 di bawah pengawasan seorang angkutan Yahudi J.L.
Israel yang telah diangkat sebagai pegawai keraton atas masukan dari Residen
Belanda J.H. Liefrink.[17]
Merespon
situasi kesemerawutan administrasi tersebut, Sri Sultan HB II mewajibkan para
pejabatnya untuk melaporkan secara baik luas tanah yang mereka kelola. Upaya
dalam pelaporan luas tanah tersebut, Sri Sultan HB II kemudian memerintahkan
para surveior desa (abdi dalem priksa dusun) untuk melakukan pengawasan dan
peninjauan terhadap proses aktivitas pemungutan pajak agar tidak terjadi
tindakan pungli, oleh karena itu Sri Sultan HB II menamai metode survei ini
dengan sebutan nama pancas.[18]
Penegakan
sistem pancas sama dengan penurunan nilai mata uang yang melahirkan perlawanan
sari para penerima tanah jabatan, karena besaran pajak yang relatif tetap
sedangkan luas tanah yang mereka miliki semakin diperkecil sesuai dengan
standar aturan yang telah ditetapkan oleh pihak keraton. Walaupun program
pancas telah dijalankan namun dalam pengaplikasiannya masih mengalami banyak
kendala sehingga kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik dan justru
menimbulkan problem bidang pertanian di tingkat desa dalam kurun waktu yang
panjang. Ketidak jelasan dalam menegakkan sistem dan besarnya pola tindakan
pungli, membentuk sebuah perlawanan besar dari masyarakat desa di Jawa Tengah
Selatan.[19]
Besarnya
beban yang harus diemban oleh masyarakat atas besarnya pajak tanah yang harus
dibayarkan, nyatanya telah melahirkan sebuah krisis yang menjadi sangat krusial
dan hal itu sangat berbanding terbalik dengan kesuburan alamnya. Masyarakat
diharuskan membayar pajak yang sangat tinggi sedangkan mereka tidak bisa menikmati
sepenuhnya hasil panen dan kerja keras mereka, kemudian hal ini menjadi semakin
diperparah lagi dengan perubahan sistem kerja rodi dengan pajak.
Selain
itu, kekacauan administrasi keraton juga memberikan imbas yang cukup besar
terhadap masyarakat khususnya yang berprofesi sebagai petani dan buruh. Sistem
pancas merupakan salah satu wujud ketidakpedulian keraton terhadap kehidupan
masyarakat jelata dan justru yang menjerumuskan dalam kehidupan yang lebih
susah, miskin, terbelakang, memperbesar kesenjangan sosial dan yang paling
parah adalah ketidak pedulian dengan adanya wabah kolera pada tahun 1821 yang
telah banyak merenggut nyawa masyarakat di tanah Jawa.[20]
Kondisi
kesenjangan sosial yang sangat tinggi dan jurang kemiskinan yang sangat besar
mengancam masyarakat, hal itu benar-benar telah melahirkan kecemburuan sosial
yang besar. Keberadaan sumber daya alam yang subur dan banyaknya proyek
pembangunan tidak lagi menjadi lambang kemakmuran bagi para petani dan para
buruh. Justru kemakmuran selalu melingkari para pejabat yang ada di dalam
lingkup kehidupan keraton dan pemerintah kolonial. Hal itu tidaklah
mengherankan bila para petani, buruh serta kalangan lainnya tidak menyukai cara
kerja para pemangku jabatan dan justru tidak ada lagi hal yang bisa diharapkan
dengan adanya mereka.[21]
[1] “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[2] Carey Peter, “Kuasa Ramalan”. Op. Cit. Hlm. 564. Lihat: Tan Malaka, “Menuju 100% Merdeka”. (Yogyakarta: Pustaka Narasi, 2010).
[4] Ibid. Lihat: Moh. Ashif Fuadi, “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX“. Sartono Kartodirjo, “Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900“.
[6] “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005. Lihat: Carey Peter, “Kuasa Ramalan”. Santosa Iwan, Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942).
[9] Moh. Ashif Fuadi, “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX“.
[10] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”. Lihat: Carey Peter, “Kuasa Ramalan”.
[11] Carey Peter, “Urip Iku Urup”. Lihat: Carey Petter, “Kuasa Ramalan”. Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”.
[20] Djamhari
Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”. Lihat: Norbertus Gilang Pradipta
Kuncoro, 2013. “Peran Masyarakat Dekso
Dalam Perang Jawa 1825-1830”. Skripsi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Keren kak buat pembukaan dalam kepenulisan, tapi aku izin Request gerakan sosial kak yang diinisiasi oleh para buruh dan tani
ReplyDeleteKeren nih untuk pengantar dalam pembuatan skripsi hehe
ReplyDeletenice kak
ReplyDeletedibukukan dong kak biar lengkap bacanya hehe
ReplyDeleteBest untuk kepenulisan sejarah
ReplyDeleteJauh lebih keren kalo dibuat buku kak, biar yang baca lebih lengkap dan tidak terpotong-potong bacanya hehe ...
ReplyDeletenice kak
ReplyDeletenice
ReplyDelete