Memahami Skizofrenia

 Skizofrenia.


Gambar Rumah sakit pada awal abad 20.

a.       Pengertian.

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya merupakan gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi (Stuart, 2013).

Penyakit skizofrenia disebut kepribadian yang terpecah, antara pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam artian apa yang dilakukan tidak sesuai dengan pikiran dan perasaannya. Secara spesifik Skizofrenia adalah orang yang mengalami gangguan emosi, pikiran, dan perilaku (Prabowo, 2014).

b.      Etiologi / Penyebab.

(Prabowo, 2014) menyebutkan bahwa penyebab skizofrenia dalam model diatesis-stres, bahwa skizofrenia timbul akibat faktor psikososial dan lingkungan. Pengelompokan penyebab skizofrenia sebagai berikut :

1)      Faktor Biologi.

Frisch (2011) dalam (Suryani, 2013) menyebutkan Hipoaktiftas lobus frontal telah menyebabkan afek menjadi tumpul, isolasi sosial dan apati. Sedangkan gangguan pada lobus temporal telah ditemukan terkait dengan munculnya waham, halusinasi dan ketidakmampuan mengenal objek atau wajah.

Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan terjadinya gejala negatif seperti apati, afek tumpul serta miskin nya ide dan pembicaraan. Sedangkan pada bipolar disorder, gangguan profrontal telah menyebabkan munculnya episode depres, perasaan tidak bertenaga dan sedih serta menurunnya kemampuan kognitif dan konsentrasi. Disfungsi sistem limbik berkitan erat dengan terjadinya waham, halusinasi, serta gangguan emosi dan perilaku. Penelitian terbaru menemukan penyebab AH adanya perubahan struktur dalam sirkuit syaraf yaitu adanya kerusakan dalam auditory spatial perception (Hunter et all, 2010 dalam (Suryani, 2013).

a)      Komplikasi kelahiran.

Bayi laki-laki yang mengalami komplikasi saat di lahirkan sering mengalami skizofrenia, hipoksia perinatal akan mengakibatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.

b)      Infeksi.

Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada orang dengan skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi  virus pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia.

c)      Hipotesis Dopamin.

Dopamin merupakan neurotransmitter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik diredakan. Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan bahwa gejala skizofreni disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopaminergik.

d)      Hipotesis Serotonin.

Gaddum,wooley, dan show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid dicthylmide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/anatagonis reseptor 5-HT. Ternyata zat ini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang normal. Kemungkinan serotonin berperan pada skizofrenia kembali mengemukakan karena peneliti obat antipsikotik atipikal clozapine yang ternyata mempunyai afinnitas terhadap reseptor 5-HT lebih tinggi dibandingkan treseptor dopamin D2.

e)      Struktur Otak.

Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia basalis. Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel terlihat melebar, penurunan masa abu-abu dan beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktivitas metabolik. Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distribusi sel otak yang timbul pada masa prenatal karena tidak ditemukannya sel glia, biasa timbl pada trauma otak setelah lahir.

2)      Faktor Genetik.

Para ilmuwan mengetahuibhawa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajad pertama seperti orang tua, kakak laki-laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajad ke dua seperti paman, bibi, kakek/nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% perpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12%.

Sebagian ringkasan hingga sekarang kita belum mengetahui dasar penyebab Skizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruhy/faktor yang mempercepat yang menjadikan manifestasi/faktor pencetus seperti penyakit stress psikologis.

c.       Manifestasi Klinis.

Menurut (Keliat, B.A., 2011) menyebutkan bahwa tanda dan gejala skizofrenia meliputi :

1)      Gejala positif : akan mengakibatkan waham yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional, halusinasi dengan pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan, kekacauan alam pikir yang dapat dilihat dari pembicaraannya, gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira dengan berlebihan, merasa dirinya orang besar, merasa hebat, serba mampu, pikirannya penuh kecurigaan, dan menyimpan rasa permusuhan.

2)      Gejala negatif : akan mengakibatkan alam perasaan “tumpul” atau “mendatar”, menarik diri atau mengasingkan diri, kontrak emosional amat miskin, pendiam, pasif dan apatis, sulit dalam berpikir abstrak, dan kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif.

d.      Jenis/Tipe Skizofrenia.

Menurut (Ibrahim, 2011) menyebutkan bahwa ada beberapa tipe skizofrenia meliputi :

1)      Tipe Paranoid.

Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid ditandai oleh waham persekutorik (waham kejar) dan atau waham kebesaran. Pasien skizofrenia paranoid mempunyai karakteristik sikap tegang, pencuriga, berhati-hati dan tak ramah dapat juga bersikap bermusuhan atau agresif. Namun kecerdasan mereka tidak terpengaruh oleh kondisi psikosis mereka.

2)      Tipe Hebefrenik.

Arus pikir sangat terdisorganisasi dan terlihat sangat menonjol dan kontak dengan kenyataan sedemikian buruknya. Penampilan pribadi dan perilaku sosialnya berada dalam keadaan yang rusak. Respon emosionalnya tidak sesuai dan mereka sering memperlihatkan tingkah laku aneh seperti misalnya ketawa yang meledak tanpa alasan. Meringis sering ditemukan pada tipe pasien ini. Perilaku tersebut digambarkan sebagai kekanak-kanakan atau bodoh.

3)      Tipe Katatonik.

Pasien sering menunjukkan perubahan yang cepat antara kegembiraan atau stupor. Biasanya disertai dengan stereotipik, manerisme, dan fleksibelitas lilin. Mutismes sering ditemukan. Selama stupor, pasien skizofrenia memerlukan pengawasan yang ketat karena pasien dapat melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin diperlukan karena kemungkinn adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia atau cidera yang disebabkan oleh diri sendiri.

4)      Tipe Tidak Tergolong.

Pasien jelas skizofrenia, namun tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu tipe, berdasarkan DSM-IV. Pasien tersebut diklarifikasikan sebagai tipe tidak tergolong.

5)      Tipe Residual.

Biasanya pasien ini tidak menunjukkan gejala psikotik yang menonjol, meskipun tanda penyakit masih tetap ada. Yang umum ditemukan adalah penumpukkan emosi, penarikan diri dari hubungan sosial tingkah laku eksentrik, pikiran tak logis, dan pelonggaran asosiasi.

e.       Penatalaksanaan.

Terdapat beberapa penatalaksanaan skizofrenia berdasarkan (Sutejo, 2015) :

1)      Pengobatan Fisik :

a)      Farmakoterapi .

Farmakoterapi merupakan cara utama pengobatan skizofrenia dengan penggunaan obat-obatan neuroleptik, disebut juga obat-obat antipsikotik.

b)      Terapi Elektrokonvulsif (ECT).

Terapi Elektrokonvulsif biasanya digunakan untuk pengobatan skizofrenia tipe stupor katatonik yang jarangterjadi hari ini (kemungkinan karena ketersediaan dan pemakaian antipsikotik dini).

c)      Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS).

Merupakan alat yang juga direkomendasikan untuk pengobatan depresi mayor, karena rTMS mempunyai kemampuan sebagai antidepresan. Penggunaan rTMS pada area dorsolateral prefrontal kortek kiri dengan frekwensi tinggi dan area dorsolateral prefrontal kanan dengan frekwensi rendah dinyatakan dapat memberikan perbaikan pada gangguan depresi (Widyanta, 2018)

2)      Pengobatan Psikosis.

Pergaulan sosial harus direduksikan agar gejala-gejala “negatif” tidak meningkat sehingga tindakan ini dapat berupa latihan ketrampilan sosial dengan penggunaan metode psikoterapeutik kelomppok untuk mengajari pasien bagaimana berinterkasi secara tepat dengan orang lain, emosi yang diekspresikan pada pasien yang selalu dalam lingkungan alam emosi yang tinggi sehingga dapat diterapkan kelompok kerja, jenis terapi perilaku lain yang dapat digunakan adalah penerapan ekonomi mata uang (token economy), sanggar kerja yang dinaungi terutama diadakan untuk pasien, memungkinkan pasien rawat jalan maupun rawat inap memperoleh sensasi pencapaian dengan melakukan beberapa pekerjaan setiap minggu dan mendapat gaji yang sebenarnya relatif kecil.

3)      Penanganan kasus skizofrenia.

Pasien yang menderita skizofrenia akut biasanya perlu diobati sebagai pasien rawat inap, sementara pasien skizofrenia kronik biasanya dapat tetap berada ditengah masyarakat, hanya perlu dirawat inap jika kambuh. Pilihan utama adalah penggunaan denga obat-obatan antipsikotik (neuroleptik), efek samping parkinson dapat ditangani dengan obat-obatan antimuskarinik (antikolinergik), dengan ECT bisa untuk pengobatan stupor katatonik, penanganan psikososial termasuk menurunkan kemiskinan pergaulan sosial, mengurangi ekpresi emosi, terapi perilaku dan sanggar kerja yang dinaungi, seperempat proknosis baik dan <1/2 nya buruk : proknosis baik karen jenis kelamin perempuan dan memiliki keluarga dengan gangguan mood bipolar.

4)      Terapi Non Farmakologi.

Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk pengobatan skizofrenia. Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang komprehensif dan dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan terapi farmakologis.

a)      Program for Assertive Community Treatment (PACT).

Merupakan program rehabilitasi yang terdiri dari manajemen kasus dan intervensi aktif oleh satu tim menggunakan pendekatan yang sangat terintergrasi. Program ini dirancang khusus untuk pasien yang fungsi sosialnya buruk dan bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan memaksimalkan fungsi soial dan pekerjaan. Unsur- unsur dalam PACT adalah menekankan kekuatan pasien dalam beradaptasi dengan kehidupan masyarakat, penyesuaian dukungan dan layanan konsultasu untuk pasien, memastikan bahwa pasien tetap dalam program perawatan. Laporan dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa PACT efektif untuk memeprbaiki gejala, mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan memperbaiki kondisi kehidupan secara umum.

b)      Terapi pelatihan ketrampilan sosial.

Terapi ini didefinisikan sebagai penggunaan teknik perilaku atau kegiatan pembelajaran yang memungkinkan pasien untuk memenuhi tuntutan interpersonal, perawatan diri dan menghadapi tuntutan masyarakat. Tujuannya adalah memperbaiki kekurangan tertentu dalam fungsi sosial pasien. Terapi ini tidak efektif untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala (Margarita, 2019).

Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka