Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB II Part 1).

 BAB II Part I.

“JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN TAHUN 1826-1827”

GERAKAN RATU ADIL DAN USAHA MENDONGKEL TATANAN JAWA BARU KEMBALI KE TATANAN JAWA LAMA.

  1. Kebijakan Pajak.

Gambar 2.1 Peta Pembagian Derah Di Jawa Tahun 1830.

Sumber: Dokumen Hari Jadi Kabupaten Klaten.[1]

Keadaan sosial masyarakat pada saat terjadi awal perang Jawa tidaklah stabil dan justru semakin merosot menuju krisis sosial yang lebih krusial, hal itu dikarenakan besarnya beban yang harus diemban oleh masyarakat setelah besarnya pengaruh Belanda pada tatanan sosial masyarakat Jawa pada waktu itu, selain itu pihak keraton sudah dinilai lemah dihadapan Belanda. Lahirnya culture stelsel (sistem tanam paksa) membuat beban masyarakat menjadi sangat berat belum juga beban pajak tanah yang harus dibayarkan.[2]

Sementara itu, melihat begitu hedonnya kehidupan para pejabat Pangreh Praja dengan segala kekayaan dan gaya hidupnya yang mengikuti model Barat seperti minum-minuman keras, pelacuran, pesta-pesta besar, penghisap candu, hal menimbulkan rasa ketidak percayaan oleh Masyarakat.[3] Realitas sosial tersebut semakin memperkuat timbulnya jurang kesenjangan yang sangat besar antara masyarakat miskin dengan pejabat pemerintahan tradisional di tanah Jawa.[4]

Sistem perpajakan yang ada di tanah Jawa pada periode tahun 1812 sangatlah kompleks dan terdiri dari empat pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat. Pertama adalah pajak tetap atas hasil tanah yang menjadi upeti untuk diserahkan dalam bentuk bahan mentah, nilai yang terkandung dalam pajak ini merupakan yang terbesar dari pada tiga pajak lainnya seperti pacumpleng, kerigaji dan pegaweyan dengan nilai yang lebih kecil.[5]

Pacumpleng adalah pajak yang bebannya diberikan kepada keluarga seorang sikep, biasanya pajak tersebut dibayatkan berupa gulungan benang katun. Kerigaji adalah pajak yang dibayarkan berbentuk pemeliharaan jalan di wilayah kerajaan, pajak ini bisa diganti dengan menyetorkan sejumlah uang, sedangkan pegaweyan merupakan pajak dalam bentuk tugas rodi. Kesemua pajak tersebut adalah jenis-jenis pajak yang diberikan kepda masyarakat di wilayah Keraton Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Belanda.[6]

Ketika masyarakat akan membayarkan pajak, mereka terlebih dahulu melakukan perjalanan yang jauh dari daerah asal sampai di Keraton Yogyakarta.[7] Selain membayar pajak terhadap kerajaan tradisional, masyarakat juga diwajibkan untuk membayar pajak kepada Belanda. Salah satu contohnya adalah ketika terjadi acara Garebeg Maulud para pekerja ditugaskan untuk merenovasi benteng Belanda dan banguna lainnya yang menjadi milik pemerintah kolonial Belanda. Selama tinggal di pusat kerajaan para masyarakat yang membayar pajak tidak bisa diprediksi kapan bisa kembali lagi ke tempat asalnya, hal itu sama sekali berdampak besar terhadap waktu panen padi sehingga memperburuk hasil pertanian masyarakat.[8]

Melihat begitu menderitanya masyarakat, tidak mengherankan bila masyarakat pada awal abad ke-19 banyak juga yang tergabung untuk mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Ronggo Prawirodirjo III di wilayah Yogyakarta sampai wilayah mancanagari Surakarta.[9] Dukungan tersebut terjadi karena masyarakat sudah sangat kecewa terhadap sikap para pejabat tradisional dan kelakuan dari Belanda atas apa yang mereka lakukan terhadap kehidupannya dan anak keturunannya, sehingga hal itu menimbulkan derita besar yang selama ini mereka emban khususnya dengan besarnya jumlah pajak yang dinilai sangat mencekik kehidupan masyarakat.[10]

Desa Tambongwetan merupakan salah satu kawasan yang masuk dalam wilayah negaragung Kasunanan Surakarta. Wilayah-wilayah di negaragung memiliki tingakat nominal pajak yang lebih rendah dibandingkan dengan beban pajak yang ada di wilayah mancanagari. Meskipun begitu, bila dibandingkan dengan wilayah lain tidak begitu besar pajaknya akan tetapi masyarakat di wilayah negaragung seperti Desa Tambongwetan masih tetap hidup dalam penderitaan karena mereka terkadang tidak bisa menikmati jerih payah dari hasil pertanian mereka sendiri, terlebih lagi terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi.[11]

Potret besarnya pajak tidak seimbang dengan keadaan masyarakat di Jawa, khususnya seorang kuli panggul yang seringkali tidur di tempat yang terbuka di malam hari. Ketika memasuki waktu untuk bekerja, mereka bekerja dengan memikul barang berat di jalan raya dan manakala tidak sedang bekerja, mereka hanya bisa pasrah dengan kembali dalam keadaan tangan kososng kembali ke gubug reyot yang mereka tinggali.

Di dalam gubug reyot tersebut para buruh panggul hanya tidur di atas tikar anyaman dari daun kelapa yang langsung bersentuhan dengan tanah dan dengan sepasang pakaian compang-camping seadanya yang berbahan dasar kain kasar. Realita tersebut, membuat kehidupan mereka selalu bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari baik untuk makan minum dikala tidak punya uang, dan mandi serta mencuci di sungai-sungai atau sumber air.[12] Melihat begitu besarnya kesenjangan yang terjadi anatara si miskin dan si kaya tanpa adanya perhatian dari pemerintah dalam mengatur struktur tatanan sosial masyarakat Jawa di abad ke-18. Hal itulah yang memicu lahirnya kecemburuan sosial yang sangat besar hingga terjadinya krisis sosial ekonomi dan pembarontakan.[13]

Pada tahun 1817 terjadi penekanan yang sangat besar kepada masyarakat manakala kerajaan tradisional mengambil pajak melalui sebuah kebijakan praktik pancas, yang berarti pemotongan ukuran jung kerajaan diperkecil sedangkan tanggungjawab pejak tetap sama.[14] Lahirnya kebijakan tersebut dilatar belakangi oleh tidak adanya aktivitas survei kadaster yang jelas dan menyeluruh mengenai ukuran luas tanah dan hasil panen yang ada di Jawa Tengah.

Kebijakan survei kadaster tidak pernah dilakukan oleh pihak keraton dan justru selalu menolak untuk mengadakan survei, karena mereka takut bila Belanda tahu akan hasil bumi dan jumlah kepemilikan tanah akan berdampak terhadap pengambil alihan secara paksa semua tanah yang baru dibuka setelah adanya survei kadaster, seperti yang pernah dilakukan oleh keraton pada tahun 1773 sebelum pembagian Giyanti.[15]

Gambar 2.2 Tanah jabatan di Jawa Tengah dan Timur.

Sumber: Louw dan De Klerck, IV: 1894-1909, disadur oleh J. Wilbur Wright dari Oxford.[16]

Data statistik yang ada mengenai luas tanah yang dimiliki oleh pihak Keraton Kasultanan Yogyakarta sebenarnya tidaklah jelas jumlahnya sehingga berpengaruh terhadap ruwetnya sistem administrasi keraton, pemberian tanah kepada pejabat keraton dan data pemasukan pendapatan yang telah tercampur dengan pendapatan-pendapatan lainnya. Kesemerawutan tersebut sudah terjadi sejak Sri Sultan Hamangkubuwana II bertahta dan terus-menerut terjadi pada generasi penerusnya. Pencatatan kekayaan dan keuangan keraton mulai sedikit tertata ketika mulai masuk abad ke-20 di bawah pengawasan seorang angkutan Yahudi J.L. Israel yang telah diangkat sebagai pegawai keraton atas masukan dari Residen Belanda J.H. Liefrink.[17]

Merespon situasi kesemerawutan administrasi tersebut, Sri Sultan HB II mewajibkan para pejabatnya untuk melaporkan secara baik luas tanah yang mereka kelola. Upaya dalam pelaporan luas tanah tersebut, Sri Sultan HB II kemudian memerintahkan para surveior desa (abdi dalem priksa dusun) untuk melakukan pengawasan dan peninjauan terhadap proses aktivitas pemungutan pajak agar tidak terjadi tindakan pungli, oleh karena itu Sri Sultan HB II menamai metode survei ini dengan sebutan nama pancas.[18]

Penegakan sistem pancas sama dengan penurunan nilai mata uang yang melahirkan perlawanan sari para penerima tanah jabatan, karena besaran pajak yang relatif tetap sedangkan luas tanah yang mereka miliki semakin diperkecil sesuai dengan standar aturan yang telah ditetapkan oleh pihak keraton. Walaupun program pancas telah dijalankan namun dalam pengaplikasiannya masih mengalami banyak kendala sehingga kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik dan justru menimbulkan problem bidang pertanian di tingkat desa dalam kurun waktu yang panjang. Ketidak jelasan dalam menegakkan sistem dan besarnya pola tindakan pungli, membentuk sebuah perlawanan besar dari masyarakat desa di Jawa Tengah Selatan.[19]

Besarnya beban yang harus diemban oleh masyarakat atas besarnya pajak tanah yang harus dibayarkan, nyatanya telah melahirkan sebuah krisis yang menjadi sangat krusial dan hal itu sangat berbanding terbalik dengan kesuburan alamnya. Masyarakat diharuskan membayar pajak yang sangat tinggi sedangkan mereka tidak bisa menikmati sepenuhnya hasil panen dan kerja keras mereka, kemudian hal ini menjadi semakin diperparah lagi dengan perubahan sistem kerja rodi dengan pajak.

Selain itu, kekacauan administrasi keraton juga memberikan imbas yang cukup besar terhadap masyarakat khususnya yang berprofesi sebagai petani dan buruh. Sistem pancas merupakan salah satu wujud ketidakpedulian keraton terhadap kehidupan masyarakat jelata dan justru yang menjerumuskan dalam kehidupan yang lebih susah, miskin, terbelakang, memperbesar kesenjangan sosial dan yang paling parah adalah ketidak pedulian dengan adanya wabah kolera pada tahun 1821 yang telah banyak merenggut nyawa masyarakat di tanah Jawa.[20]

    Kondisi kesenjangan sosial yang sangat tinggi dan jurang kemiskinan yang sangat besar mengancam masyarakat, hal itu benar-benar telah melahirkan kecemburuan sosial yang besar. Keberadaan sumber daya alam yang subur dan banyaknya proyek pembangunan tidak lagi menjadi lambang kemakmuran bagi para petani dan para buruh. Justru kemakmuran selalu melingkari para pejabat yang ada di dalam lingkup kehidupan keraton dan pemerintah kolonial. Hal itu tidaklah mengherankan bila para petani, buruh serta kalangan lainnya tidak menyukai cara kerja para pemangku jabatan dan justru tidak ada lagi hal yang bisa diharapkan dengan adanya mereka. Realitas yang ada tersebut nyatanya telah benar-benar difahami oleh Pangeran Diponegoro selama tinggal di Jawa Tengah Selatan.[21]


[1]Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.

[2] Carey Peter, “Kuasa Ramalan. Lihat: Tan Malaka, “Menuju 100% Merdeka.

[3] Carey Peter. “Kuasa Ramalan”.

[4] Ibid. Hal. 304. Lihat: Moh. Ashif Fuadi, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX. Sartono Kartodirjo, “Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900“.

[5] Ibid.

[6]Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005. Lihat: Carey Peter, “Kuasa Ramalan. Santosa Iwan, Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942).

[7] Carey Peter, “Kuasa Ramalan.

[8] Ibid.

[9] Moh. Ashif Fuadi, “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX“.

[10] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830. Lihat: Carey Peter, “Kuasa Ramalan.

[11] Carey Peter, “Urip Iku Urup”. Lihat: Carey Petter, “Kuasa Ramalan. Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830.

[12] Carey Peter. “Asal Usul Perang Jawa.

[13] Carey Peter, “Kuasa Ramalan.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Djamhari Saleh As’ad. “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830.

[20] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830. Lihat: Norbertus Gilang Pradipta Kuncoro, 2013. “Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825-1830”. Skripsi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

[21] Carey Peter, “Kuasa Ramalan.


Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka