Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB II Part 4).
BAB II Part IV.
GERAKAN RATU ADIL DAN USAHA MENDONGKEL TATANAN JAWA BARU KEMBALI KE TATANAN JAWA LAMA.
- Terbentuknya Pasukan Tempur Laskar
Diponegoro.
Pergolakan
perang Jawa (1825-1830) merupakan garis pemisah dalam sejarah peradaban di
pulau Jawa dengan seluruh Indonesia.
Perang ini dapat menelan banyak biayanya dan memakan banyak waktu yang
cukup lama yakni selama kurun waktu selama lima tahun bergejolak (1825-1830) di
pulau Jawa Hindia Belanda (Indonesia).
Tidak mengherankan jika perang Diponegoro ini akan memakan jumlah korban
jiwa sekitar 200.000 orang Jawa, 8.000 pasukan Eropa dan 7.000 prajurit pribumi
yang bergabung dalam aliansi pasukan Belanda serta memakan biaya sekitar 20
juta gulden selama perang berkecamauk.[1]
Perang
Jawa lahir dari situasi tatanan politik, budaya dan sosial yang carut marut
melanda wilayah Mataram yang dipicu oleh campur tangan kolonial Hindia Belanda
terhadap arah kebijakan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Dominasi Belanda atas
keraton melahirkan sebuah tindakan kebijakan yang bersifat kesewenang-wenangan
dan secara tidak langsung mendongkel tatanan sosial masyarakat Jawa kuno yang
telah lama dibangun oleh nenek moyang orang Jawa, berubah menjadi sebuah
tatanan masyarakat Jawa baru yang memiliki banyak sekali pengaruh Belanda
melalui konsep modernisme yang mereka bawa dari dataran Eropa.[2]
Kebijakan
kolonial Belanda dan melemahnya kekuatan kaum pangreh praja membuat masyarakat
menjadi tidak puas dan membuat suatu gerakan milenari untuk mengembalikan
tatanan Jawa baru kembali ke tatanan Jawa kuno.[3] Gerakan sosial perang
Jawa pada pertengahan abad ke-19 lebih di dominasi oleh revivalisme
agama, hal itu bisa dilihat dengan menjamurnya sejumlah pondok pesantren atau tempat
pendidikan agama dan meningkatnya pergerakan kebangkitan agama dalam masyarakat
di tanah Jawa.[4]
Selama
12 tahun Pangeran Diponegoro telah mempersiapkan berbagai hal seperti pabrik
mesiu dan pembelian padi besar-besaran dari para petani sebagai modal logistik
perang.[5] Selain hal itu, Pangeran Diponegoro juga
sangat aktif dalam berkonsolidasi terhadap banyak kalangan masyarakat terutama
dari para ulama untuk mendapatkan legitimasi dukungan sebelum melakukan suatu
perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Lahir
dari kalangan birokrat Keraton Kasultanan Yogyakarta Pangeran Diponegoro
memiliki peluang besar untuk menggait dukungan dari para birokrat Keraton
lainya seperti dari para Pangeran dan Bupati sampai sang raja (Susuhunan
Pakubuwana VI). Selama melakukan
konsolidasi tersebut Pangeran Diponegoro akhirnya mendapat banyak bantuan dari
hampir semua kalangan lapisan sosial baik dari keraton yang berjumlah 15
pangeran, 41 Bupati, dari kalangan Ulama yang berjumlah 108 Kiai, 31 haji, 15
Syekh, 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai guru (mursyid tarekat) serta
dari aliansi masyarakat.
Besarnya
antusianisme dari berbagai kalangan tersebut kemudian dileburkan menjadi satu
padu dalam kesatuan tempur laskar Diponegoro. Pangeran Diponegoro dalam
membentuk dan membangun angkatan bersenjatanya sang Pangeran berkiblat pada
konsep angkatan bersenjatanya Sultan Abdul Hamid I dari Turki yang membangun
pasukan elit ke dalam tiga korps yakni dalam Turkio, Harkiyo dan Bulkiyo.[6]
Konsep
kemiliteran tersebut Pangeran Diponegoro dapatkan sewaktu menunaikan ibadah
Haji di tanah suci Mekkah, mulai dari situlah Pangeran Diponegoro membangun
pasukannya dalam korps Arkiyo, Turkiyo, Bulkiyo dalam
resimen Janissari.[7]
Pasukan tempur laskar Diponegoro dilengkapi dengan pakaian perang berupa baju
dan sorban sesuai dengan setiap kompi-kompinya serta bendera sebagai
panji-panjinya masing-masing yang terbuat dari sutra berbahasa arab.[8]
Api
konflik antara Diponegoro dengan Belanda berpuncak setelah terjadi pemasangan
patok-patok di Tegalrejo atas perintah Smissaert kepada Danurejo IV pada
tanggal 17 Juni 1825 dalam rangka perbaikan jalan di kawasan-kawasan Yogyakarta
tanpa persetujuan dengan Pangeran Diponegoro.[9]
Masyarakat
dan Pangeran Diponegoro yang melihat patok-patok tersebut menjadi murka karena
merasa terlecehkan setelah memasang patok tanpa seizin darinya dan mengganggu
stabilitas masyarakat di Tegalrejo serta telah menggeser tanah milik leluhurnya
sehingga menimbulkan reaksi perlawanan besar dari Tegalrejo. Pangeran
Diponegoro segera memanfaatkan momentum pergantian patok sebagai pengawal
pecahnya perang Jawa dengan mengganti patok-patok tersebut dengan tombak-tombak
yang berarti bahwa pembangunan jalan raya itu sebagai pemicu terjadinya perang
(caus belli).[10]
Pasca
kasus pergantian patok, pangeran Diponegoro dan masyarakat Tegalrejo
mempersiapkan segala logistik untuk memenuhi kebutuhan perang, selain itu
pangeran Diponegoro beserta masyarakat Tegalrejo juga melakukan penyebaran
propaganda kepada masyarakat lainnya untuk menggalang pengaruh sebesar-besarnya
sehingga melahirkan
sebuah chauvinisme yang akhirnya melebur menjadi
pasukan tempur laskar Diponegoro.[11] Pada tanggal 20 Juli
1825 Belanda yang melihat sikap Diponegoro dan masyarakat Tegalrejo melakukan
sebuah perlawanan berinisiasi untuk menangkap sang Pangeran di Tegalrejo
bersama para simpatisannya yang dilengkapi dengan sejumlah pasukan 1.500 orang
dan dilengkapi persenjataan berat berupa 25 infanteri, 25 kavaleri, 2 artileri.[12]
Proses
penangkapan Diponegoro tersebut dinilai gagal karena sang Pangeran berhasil
melarikan diri bersama pengikutnya melalui gerbang rahasia menuju gowa Selarong
dan meninggalkan kawasan Tegalrejo dengan kondisi terbakar akibat serangan
Belanda.[13] Berita tentang terjadinya casus belli di
Tegalrejo ini menyebar sampai di telinga Gubernur Jendral Van Der Capellen di
Batavia dan di wilayah-wilayah lain seperti Kedu, Bagelen, Selarong, Surakarta,
Semarang, serta Jawa Timur yang mendorong masyarakat untuk berbondong-bondong
bergabung dalam pasukan Diponegoro melakukan pemberontakan.[14]
Pada
tahun 1825 saat awal perang Jawa bergejolak, kondisi pasukan Belanda masih
sangat lemah sehingga perlu meminta bantuan dari Kasultanan Yogyakarta,
Kasunanan Surakarta, Panembahan Sumenep, Sultan Madura, Sultan Buton, Kadipaten
Pura Mangkunegaran serta Pakualaman untuk menumpas pasukan tempur laskar
Diponegoro di berbagai wilayah.[15] Model perang yang digunakan Diponegoro adalah
menerapkan strategi gerilya, karena perlawanan dilakukan ketika malam hari,
membuat pasukan Belanda mengalami kesulitan dalam mengintai keberadaan musuh
dan memudahkan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat serta santri dalam
upaya mengisi kekurangan jumlah pasukan dalam laskar Diponegoro.[16]
Belanda
sejak awal melakukan berbagai upaya untuk menangkap Pangeran Diponegoro dalam
kondisi hidup atau mati melalui usaha prvokasi dan intimidasi terhadap semua kalangan
kelas sosial yang ada di wilayah Keraton Kasultanan Yogyakarta. Salah satu
usaha provokasiannya adalah pengadaan sebuah sayembara kepada seluruh
masyarakat luas baik kalangan bawah sampai pangreh praja untuk menangkap
Pangeran Diponegoro.
Sejak
awal penyiaran sayembara tersebut oleh Sri Sultan Hamangkubuwono II sudah
dinilai gagal karena kewibawaan sang Sultan masih kalah pamor dibandingkan
dengan Pangeran Diponegoro yang memiliki kewibawaan lebih tinggi di mata
masyarakat luas.[17]
Perlawanan
pasukan tempur laskar Dipongoro lebih sering dilakukan ketika kondisi musim
penghujan turun, dimana masyarakat sejak dulu percaya bahwa alam merupakan
sebuah senjata yang tidak terkalahkan, hal tersebut terbukti dengan banyaknya
peluru Belanda yang terpeleset ketika dalam kondisi hujan dan berdampak pada
melambatnya pergerakan pasukan, ini dikarenakan kondisi kontur tanah yang
berlumpur, berair dan berbatu.[18]
[2] Carey Peter. “Kuasa Ramalan”. Lihat: M.C Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”. Carey Peter. “Urip Iku Urub”.
[4] Kartodirdjo Sartono, “Pemberontakan Petani Banten 1888”. Lihat: Sartono Kartodirjo, “Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah”.
[6] Ahmad Baso, “Pesantren Studies”. (Jakarta: Pustaka Afid, 2013). Lihat: Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”. Moh. Ashif Fuadi, “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX“. Carey Peter. “Kuasa Ramalan”.
[7] Santosa Iwan, Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942). Lihat: Carey Peter, “Asal Usul Perang Jawa”. Carey Peter. “Kuasa Ramalan”.
[8] Diponegoro sangat menentukan bagi seluruh pasukannya untuk mengenakan sorban. Pasukan Bukiyo, Boromu’ah dan Turkiyo: sorban putih dan kemeja hijau. Pasukan Harklus: sorban hijau dan kemeja hijau. Panilih: sorban bergaris hitam putih dan kemeja putih. Larban dan Nasseran: sorban hitam dan kemeja hitam. Suropada: sorban kemeja bergaris biru putih Sepoeding dan Djagir: sorban dan kemeja putih. Soerotandang dan Djayengan: sorban merah kemeja putih. Soeroogomo dan Wanang Pran: sorban dan kemeja bergaris hitam putih. Lihat: Santosa Iwan, Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942). Lihat: Carey Petter, “Kuasa Ramalan”. Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.
[10] Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942)”. Lihat: Carey Peter, “Kuasa Ramalan”. Kartodirdjo Sartono, “Pemberontakan Petani Banten 1888”.
[14] Poesponegoro, Marwati Djonoed dan Notosusanto, “Sejarah nasional Indonesia”. Lihat: Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”.
[15] M.C Ricklefs,
“Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”. Lihat: Djamhari Saleh As’ad, “Strategi
Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”. Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942)”.
[18] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”. Lihat: Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942)”. Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.
[19] Carey Peter, “Kuasa Ramalan”. Lihat: Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”. Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.
[20] M.C Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”. Lihat: Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942)”. Abu Mansur Suryanegara, “Api Sejarah”. (Bandung: Salamadani, 2013). Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”.
Nice Kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeletenice kak
ReplyDeleteThngks Kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeleteKeren Kak
ReplyDeleteNice kak
ReplyDeletenice
ReplyDelete