Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB III Part 8).
BAB III Part VIII.
JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN.
Di
kawasan Tembayat, pasukan tempur laskar Diponegoro telah masuk dalam kepungan
dari pihak aliansi Belanda, dimana di sebelah sisi Barat ke Selatan (wilayah
Kalasan, Kejiwan, Prambanan, Tangkisan, Gesinan, Wedi dan terus menyerang
sampai di kawasan Tembayat) telah dihadang oleh pasukan Belanda di bawah
pimpinan Kolonel Le Bron de Vexela, sedangkan dari sisi Timur ke Selatan
(kawasan Majasto, Tawangsari, Weru, Masaran, Glodokan, Wedi dan terakhir di
kawasan Tembayat) sudah dikejar-kejar pasukan Legiun Mangkunegaran dan
Kasunanan Surakarta.[1]
Pasukan
tempur laskar Diponegoro di bawah pimpinan Basah Hasan Besari akhirnya harus
menerima perlawanan dari pasukan aliansi Belanda untuk mempertahankan diri
karena situasi dan kondisi sudah sangat terpojokkan. Insiden pertempuran di
kawasan Tembayat tersebut, berakhir dengan menelan jumlah jiwa yang sangat
banyak, khususnya korban di pihak pasukan tempur laskar Diponegoro.
Kekalahan
pasukan tempur laskar Diponegoro di kawasan Tembayat, memaksa semua anggota
laskar Diponegoro yang tersisa untuk melakukan diaspora menuju ke
beberapa kawasan di sekitarnya (Tembayat) untuk menyelamatkan diri dari
pengejaran Belanda, sekaligus untuk memobilisasi masa dari masyarakat sekitar
untuk membantu melakukan perlawanan terhadap pasukan aliansi Belanda.[2]
Beberapa anggota pasukan tempur laskar Diponegoro yang tersisa, akhirnya
melakukan diaspora secara sporadis menuju ke
beberapa kawasan sekitarnya seperti di Wedi, Kajoran,
Glodokan dan Desa Tambongwetan.
A.
Perang Jawa Di Desa Tambongwetan.
Gambar 4.6 Makam Tumenggung Wiryonegaran.
Pergolakan
demi perkolakan di kawasan Tembayat mendorong pasukan tempur laskar Diponegoro
untuk melakukan diaspora. Melihat situasai dan kondisi yang semakin
mencekam, beberapa anggota pasukan tempur laskar Diponegoro yang tersisa dan
telah melakukan berdiaspora, beberapa dari mereka lebih memilih untuk
menjadi masyarakat biasa. Sehingga manakala mendapatkan sebuah ajakan dari
beberapa kepala komandan pasukan tempur laskar Diponegoro untuk melanjutkan
berperang, mereka menolaknya.
Hal
tersebut seperti yang dilakukan oleh Tumenggung Wiryonegoro di Desa Jomboran
Klaten Tengah, yang telah mengalami penolakan dari beberapa masyarakat dan
anggota veteran, manakala sedang penggalangan pasukan pada waktu itu.
Berdasarkan fenomena dari penolakan tersebut, cukup menjadi bukti bahwa
masyarakat tidak ingin lagi terlibat dalam pertempuran yang sedang terjadi pada
waktu itu.[3]
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
pak Heru :
“Kala
rumiyen nggeh mas eyang kulo Tumenggung Wiryonegaran meniko tiang pejuang
pasukan Diponegoro sek kala rumiyen ndelik saka pasukan Londo, lajeng akhire
medale ngantos tekan mriki mas Desa Jomboran Klaten tengah, nggeh kinten-kinten
meniko kedadeane pas awal perang Diponegoro mas, mangkane ngantos sak meniggale
eyang mboten wonten ingkang mati amargi perang, malah rumiyen pripon carane
supados Londo mboten ngertos menawi eyang meniko ndelik teng mriki mas“.[4]
Pada
tahun 1827 setelah insiden di Tembayat, beberapa pasukan tempur laskar
Diponegoro yang komando oleh Tumenggung Wirobongso melakukan diaspora
menuju kawasan Desa Tambongwetan yang letaknya tidak jauh dari kawasan
Tembayat. Sedangkan beberapa pasukan tempur laskar Diponegoro lainnya memilih
melakukan diaspora di beberapa kawasan lainya seperti Wedi, Kajoran,
Glodokan dan sebagainya.[5]
Gambar 4.7
Area Makam pasukan Mangkunegaran di Desa Kajoran Klaten.
Sumber: Arsip pribadi.
Kedatangan
pasukan tempur laskar Diponegoro di Desa Tambongwetan tersebut tidaklah
berlangsung lama, sebelum akhirnya terjadi pertempuran antara pasukan laskar
Diponegoro di bawah komando Tumenggung Wirobongso dengan pasukan aliansi
Belanda. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Mbah Joyo bahwa :
“Ndek
mbiyen niku eyang Tumenggung Wirobongso mlayu seko arah kidul mergo yo daerah
sek cerak karo Rowo Jimbung ono perang karo londo sek marai eyang ki mlayu
tekan Deso Tambong iki, ning nang Deso Tambong yo kedadean perang yoan pase
nang dukoh Jogodayoh kui“.[6]
Selama
tinggal di Desa Tambongwetan, pasukan tempur laskar Diponegoro sempat mencicipi
buah jambu Jressono yang telah menjadi icon dari Desa Tambongwetan.
Pasca mencicipi buat jambu tersebut, Tumenggung Wirobongso dan pasukan lainnya
tidak lupa untuk membagikan kepada masyarakat lainnya.[7] Pasca membagikan buah jambu
Jressono tersebut, banyak masyarakat yang menjadi tertarik untuk mencicipinya
lagi, dari sini akhirnya sampai terdengar di pihak Kasunanan Surakarta.
Kasunanan Surakarta yang mengetahui informasi tersebut, segera melakukan
pemagaran dan pengkeramatan kawasan pohon itu melalui sabda pandhita ratunya
Sri Susuhunan Pakubuwana VI, sekaligus menjadi bentuk bahwa jambu Jressono
tersebut dijadikan sebagai jambu katur (persembaha atau upeti).[8]
Pasca
pertempuran di Tembayat, pihak pasukan aliansi Belanda masih seringkali
melakukan sejumlah ekspedisi untuk menumpas habis sisa pasukan tempur
laskar Diponegoro yang melarikan. Tumenggung Wirobongso yang mengetahui
informasi tersebut, segera melakukan tindakan untuk mengatisipasi terjadinya ekspedisi
pasukan aliansi Belanda sampai di Desa Tambongwetan.
Tumenggung
Wirobongso segera mongkonsolidasikan semua pasukannya untuk mempersiapkan
parit-parit dan melalukan kegiatan penjagaan rutin. Selain itu, juga
mempersiapkan sejumlah peralatan perang dengan bahan yang ada dan melakukan
mobilisasi kepada masayrakat Desa Tambongwetan untuk membantunya dalam
menghadapi pasukan aliansi Belanda manakala masuk di kawasan Desa Tambongwetan.[9]
Pada
akhir tahun 1827, pasukan aliansi Belanda melakukan ekspedisi sampai di
Desa Tambongwetan. Slema proses ekspedisinya, pasukan tempur laskar
Diponegoro yang dipimpin oleh Tumenggung Wirobongso melakukan tindakan
penyarangan kepada pasukan Belanda yang sedang berekspedisi. Akhirnya terjadi
insiden perang Jawa di Desa Tambongwetan, dalam insiden tersebut terjadi di
tempat yang sekarang dikenal sebagai Dukuh Jogodayoh.[10] Hal itu seperti pernyataan
dari Mbah Joyo :
“Riyen
niku perang Diponegoro teng Deso Tambong sek dipimpin eyang nggeh ngalami kalah
mas, mangkane nggon-nggon sek dari perang kui diceluki Dukoh Jogodayoh“.[11]
Selama insiden pertempuran di Desa Tambongwetan tersebut, pasukan tempur laskar Diponegoro akhirnya harus mengalami banyak kekalahan telak yang diakibatkan oleh ketidak seimbangan antara pasukan tempur laskar Diponegoro dengan pihak alinasi Belanda. Selain itu, pasukan tempur laskar Dipoengoro juga telah kalah jenis alusista yang dipakainya. Sejak awal, pasukan laskar Diponegoro percaya bahwa kontur tanah adalah senjata terhedat yang bisa digunakan untuk melawan Belanda.
Gambar 4.8 Area makam Tumenggung Wirobongso dan
pasukannya.
Sumber: Arsip pribadi.
Medan
perang yang digunakan oleh kedua pasukan tepat berada di atas perkebunan pohon
kedelai hitam. Bertempur di atas pohon kedelai hitam, membuat banyak pasukan
menjadi tergelincir dan jatuh di tanah. Hal itu membuat pasukan tempur laskar
Diponegoro di bawah pimpinan Tumenggung Wirobongso mengalami banyak kekalahan,
selain itu diantara kedua belah pihak pasukan akhirnya banyak yang meninggal
tepat di atas lahan pertanian kedelai hitam.[12] Pasca insiden perang
tersebut, banyak masyarakat yang meyakini bahwa menanam kedelai hitam di
kawasan Dukuh Jogodayoh akan mengalami nasib yang sial dan akan merasakan
akibatnya.
Gambar 4.9 Pabrik Gula Klaten.
Sumber: Arsip pribadi.
[4]
Wawancara
dengan pak Heru, (60 tahun, salah seorang juru kunci dan keturunan dari
Tumenggung Wiryonegaran di Desa Jomboran) yang dilakukan pada tanggal 18 Juni
2020 pukul 14.00.
[5] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”. Lihat juga: Diponegoro, “Babad Diponegoro Versi UNESCO”.
[6]
Wawancara
bersama Mbah Joyo (90 tahun, seorang tokoh juru kunci makam Tumenggung
Wirobongso) yang dilakukan pada tanggal 8 Mei 2020 pukul 15.00.
[7]
Wawancara
bersama Mbah Surip (85 tahun, sesepuh Dukuh Soka) yang dilakukan pada 1 Juni
2020 pukul 14.00.
[10] Dukuh Jogodayoh yang diambil dari istilah kata jogo yang artinya penjagaan dan istilah dayoh yang artinya tamu, dalam hal ini yang dimaksud adalah penjagaan kawasan Desa Tambongwetan dari serangan tamu pasukan aliansi Belanda. Lihat : “Mengenal Sejarah Desa Tambongwetan“. Dokumen Kantor Balai Desa Tambongwetan Tahun 1980.
[11]
Wawancara
bersama Mbah Joyo (90 tahun, seorang tokoh juru kunci makam Tumenggung
Wirobongso) yang dilakukan pada tanggal 8 Mei 2020 pukul 15.00.
[14] Ahmady Irhash dkk, “Java Collapse, Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo”. (Yogyakarta: INSISPress, 2010).
nice kak
ReplyDeleteThngks Kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeleteNice kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDeletenice
ReplyDelete