Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB III Part 5).
BAB III Part V.
JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN.
Pada
saat terjadi insiden pertempuran di kawasan Gawok, pasukan elit Pajang dan
Mandoeng mengabarkan pada Pangeran Diponegoro bahwa mereka tidak mampu untuk
meneruskan perlawanannya terhadap pasukan aliansi Belanda. Hal itu dikarenakan,
pasukan tempur lasakar Diponegoro sejak awal telah mengalami kekalahan dalam
jumlah, itu merupakan salah satu imbas dari pertempurannya dikawaan Kalitan.
Melihat hal itu, Pangeran Diponegoro segera bergegas dengan menunjuk pasukan elit
Bukiyo, Suraya, Panilih, dan Tamtama untuk
melakukan penyerangan di kawasan Gawok demi membantu pasukan elit Pajang dan
Mandoeng yang sedang dalam kondisi terpojok oleh pasukan aliansi Belanda.[1]
Selama
insiden tesebut, situasi perang semakin rusuh dan kacau setelah untuk kedua
kalinya pasukan tempur laskar Diponegoro mengalami situasi terpojok sampai
akhirnya mengalami kekalahan perang di kawasan Gawok. Sehingga situasi yang
kacau tersebut, membuat banyak prajurit laskar Diponegoro yang memilih untuk
melarikan diri dari medan perang.[2]
Jendral Van Geen yang telah mengetahui kekalahan pasukan tempur laskar
Diponegoro, kemudian meminta izin kepada Sri Susuhunan Pakubuwana VI untuk
berpisah dari barisan dan mengejar pasukan Pangeran Diponegoro bersama 200
pasukan dragunder yang dilengkapi kuda.[3]
Semenjak
kekalahan pasukan tempur laskar Diponegoro di kawasan Gawok, pada bulan Oktober
1826 sejumlah 5.000 pasukan diprintah untuk menyebar (diaspora) di beberapa
kawasan seperti di Kalasan, Prambanan, Jatinom, Delanggu, Pulohwatu dan Gunung
Kidul. Pangeran Diponegoro sengaja menyebar pasukannya dari kawasan Pajang ke
beberapa kawasan Klaten dikarenakan, untuk melakukan mobilisasi masyarakat
supaya ikut dalam perjuangan perang sabil (suci).[4]
Diaspora
di kawasan Jatinom, sudah terdapat sejumlah 500 pasukan Bulkiyo dan ketambahan
sejumlah 1.500 pasukan untuk membangun markas besar di kawasan ini.[5] Dipilihnya kawasan
Jatinom sebagai markas besar adalah mengingat begitu strategisnya Jatinom
sebagai pusat pengendalian pasukan tempur Diponegoro yang ada di wilayah Pajang
(Klaten). Selain itu selama di kawasan Jatinom, pasukan tempur laskar
Diponegoro telah mendapatkan sejumlah pasokan senjata yang disembunyikan di bawah
bahan pangan ikan asin tanpa diketahui oleh orang-orang selundupan Belanda
(spion), hingga berhasil mendirikan sebuah pos depan yang akan digunakans
sebagai salah satu tempat untuk mengantisipasi terjdinya penyerangan dari pihak
aliansi Belanda.[6]
Sejak
akhir tahun 1826 sampai awal tahun 1827, situasi dan kondisi di wilayah Pajang
masih tergolong relatif lebih aman bila dibandingkan dengan waktu-waktu
sebelumnya. Hal ini dikarenakan, setelah keduanya sama-sama menahan diri untuk
tidak melakukan kontak senjata, hingga pada tanggal 22 Feburari 1827 setelah
Jendral De Kock mengetahui informasi bahwa di kawasan Jatinom telah menjadi
markas besar dari pasukan tempur laskar Diponegoro untuk memantau situasi di
wilayah Pajang.[7]
Pasca
mengetahui informasi tersebut, Jendral De Kock segera melakukan sebuah tindakan
untuk mengeksekusi pasukan tempur laskar Diponegoro dan merebut kawasan Jatinom
dari penguasaan laskar Diponegoro. Proses tersebut juga termuat dalam
Babad Diponegorro versi UNESCO :
Pupuh XXVII (Pucung).[8]
....................
159. Berlari sampai di Jatinom,
kafir lalu mengejar pasukan pajang, di Jatinom terlihat ada prajurit.
....................
Selama
proses pengeksekusian tersebut, Jendral De Kock memerintahkan Letnan Kolonel Le
Bron de Vexela bersama sejumlah 2.000 pasukan untuk mengerjakannya. Perjalanan
untuk melakukan eksekusi di kawasan Jatinom itu menghasilkan hasil yang
sia-sia, karena ternyata kawasan Jatinom tersebut telah kosong dan lama
ditinggalkan oleh pasukan tempur laskar Diponegoro, sehingga sisa-sisa bekas
markas di kawasan Jatinom tersebut dibakar oleh pasukan aliansi Belanda.[9]
Pelarian tersebut termuat dalam
Babad Diponegorro versi UNESCO :
Pupuh XXXII (Maskumambang).[10]
....................
48. Sebab semua yang di Utara
Jatinom direbut lagi oleh kafir, menjadikan Syekh Hasan Besari menggeser Raden
Riya Sindureja.
....................
Setelah
melakukan ekspedisi di kawasan Jatinom, para pasukan aliansi Belanda
menggeser arah ekpedisinya menuju sepanjang Utara Pajang yang diawali di
kawasan Singosari. Di Singosari, ternyata sudah terdapat sejumlah 1.600 pasukan
tempur laskar Diponegoro yang dilengkapi dengan sejumlah senjata berat.[11] Selama ekpedisi
tersebut, sempat terjadi insiden peperangan diantara keduanya, namun dalam
insiden itu pasukan aliansi Belanda hanya mampu menekan mundur pasukan laskar
Diponegoro keluar dari kawasan Singosari dengan menggunakan tembakan artileri.[12]
Pada
tanggal 23 Maret 1827, Jendral De Kock selelu memantau situasi dan kondisi
perkembangan di wilayah eks distrik Mataram dan tetap memerintahkan Mayor Le
Born de Vexela supaya selalu fokus terhadap komunikasi keamanan di wilayah
Surakarta, Klaten dan Yogyakarta bersama Letnan Kolonel Cochius sembari mencari
informasi-informasi dan membersihkan wilayah-wilayah yang berpotensi dihuni
oleh pasukan tempur laskar Diponegoro, khususnya di wilayah Klaten dari unsur
para pemberontak.[13]
Pada
bulan April 1827, pasukan aliansi Belanda mulai mengendus-endus informasi jejak
pasukan tempur laskar Diponegoro yang mulai bergerak kembali menuju kawasan
Jatinom. Di bawah Kolonel Le Bron de Vexela beserta para pasukan aliansi
Belanda lainnya segera melakukan ekspedisi di kawasan Jatinom untuk
memastikannya keberadaan pasukan tempur laskar Diponegoro.
Selama
ekspedisi tersebut, pasukan aliansi Belanda telah menemukan sisa pasukan
Diponegoro dan mulai mengejarnya hingga terjadi insiden pertempuran setelah
dinyatakan bahwa terdapat banyak pasukan tempur laskar Diponegoro yang ingin
merebut kawasan Jatinom dari kekuasaan pasukan Belanda.[14] Akhir dari insiden
pertempuran tersebut, pihak pasukan aliansi Belanda hanya berhasil memukul
mundur pasukan tempur laskar Diponegoro yang berjumlah 1.500 pasukan melarikan
diri ke kawasan Kepurun.[15]
Pada
tanggal 2 Juni 1827 berdasarkan informasi dari pasukan spion Belanda, pasukan
laskar Diponegoro yang berjumlah 2.000-3.000 pasukan kembali menyerang kawasan
Jatinom. Tapi usaha penyerangan pasukan tempur laskar Diponegoro itu akhirnya
berhasil ditahan oleh pasukan aliansi Belanda, di bawah komando Kolonel Le Bron
de Vexela bersama Pangeran Harya Prabu Prangwadana, Kolonel Kokis yang
dilengkapi 2 pasukan elit Belanda, 1 pasukan Mangkunegaran, 100 dragunder
Belanda serta beberapa alat senjata berupa meriam dan pasukan lainnya.[16]
Insiden
pertempuran di Jatinom itu akhirnya, membuat pasukan tempur laskar Diponegoro
berhasil dipukul mundur dari kawasan tersebut menuju kawasan Kepurun dan Desa
Sekar. Jendral Van Gin dan Mangkunegaran II setelah mengetahui hal itu, segera
beranjak dari Benteng Klaten menuju wilayah Jatinom untuk menunjau sisa-sia
perang. Keduanya ditemani dengan Kolonel Kokis, 100 pasukan dragunder Belanda,
Serdadu Mangkunegaran, dan dilengkapi dengan meriam.[17] Pasca insiden di Jatinom
tersebut, membuat pasukan tempur laskar Diponegoro mengalami kerugian yang
cukup besar karena menelan sejumlah 70 korban jiwa pasukan dan membuat beberapa
senjata berserta pelurunya berhasil direbut oleh pihak pasukan aliansi Belanda.[18]
Pertempuran tersebut termuat dalam Babad Diponegorro versi UNESCO :
Pupuh XXVII (Pucung).[19]
....................
157. Di Jatinom Basah Hasan
Besari dikejar oleh musuh, selama ini kafir murtad selalu mengintai.
158. Saat pulang prajurit
Mataram yang bergilir belum datang, lalu keluar kafir murtad, Basah Kasan
Besari dikejar.
159. Berlari sampai di Jatinom,
kafir lalu mengejar pasukan pajang, di Jatinom terlihat ada prajurit.
....................
Gambar 4.4
Peta Rencana Operasi 1827 di Timur Kasunanan Surakarta.
Sumber: ARA, Ontwerp van voor 1827, Arsip koleksi
H.M De Kock, serie 14, volgnr. 17 (1827) Louw, P.J.F., III, 1904, Bijlage XIV,
hlm. 652.[20]
[1] Djamhari Saleh
As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”. Lihat: Carey Peter, “Kuasa Ramalan”.
[4] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”. Lihat: Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.
[13] Ibid. Lihat juga: M. Husodo Dan Suroso, Buku
Babad KGPAA. Mangkunegaran II. “Rekso
Pustoko Mangkunegaran Surakarta”.
[15] M. Husodo Dan Suroso, Buku
Babad KGPAA. Mangkunegaran II. “Rekso
Pustoko Mangkunegaran Surakarta”. Lihat: Djamhari Saleh
As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”. Carey Peter, “Kuasa
Ramalan”.
[16] M. Husodo Dan Suroso, Buku
Babad KGPAA. Mangkunegaran II. “Rekso
Pustoko Mangkunegaran Surakarta”, 2001.
[18] M. Husodo Dan Suroso, Buku
Babad KGPAA. Mangkunegaran II. “Rekso
Pustoko Mangkunegaran Surakarta”. Lihat: Djamhari
Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan
Diponegoro”. Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran
(1808 - 1942)”.
nice kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeleteNice kak
ReplyDelete