Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB III Part 7).

 BAB III Part VII.

JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN.

Pada tanggal 28 September 1827, Jendral De Kock mengadakan kebijakan untuk melakukan pemberantasan sisa-sisa pasukan tempur laskar Diponegoro di seluruh wilayah Pajang. Jendral De Kock, meminta di kawasan Kejiwan menjadi tempat pertama sebagai kegiatan ekspedisi, sebelum akhirnya menuju ke kawasan Pajang (Klaten) Selatan yang berbatasan dengan wilayah Gunung Kidul. Pemilihan kawasan Kejiwan sebagai tempat pertama untuk kegiatan ekspedisi karena, merupakan sebuah tempat yang memiliki lokasi sangat strategis, selain itu berdekatan dengan Gunung Merapi yang biasanya menjadi tempat persembunyian para pasukan tempur laskar Diponegoro.[1]

Selama melakukan perjalanan dari kawasan Kejiwan, rute perjalanan opersi ekspedisi diteruskan sampai menuju di kawasan Selatan Klaten yang berbatasan dengan Gunung Kidul. Ekspedisi tersebut, dijalankan di bawah pimpinan Kolonel Le Bron de Vexela bersama pasukan dari Legiun Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta.

Kegiatan operasi ekspedisi tersebut, juga dilakukan melalui rute perjalanan dari Barat menuju ke Selatan melewati wilayah Kalasan, Kejiwan, Prambanan, Tangkisan, Gesinan, Wedi dan terus menyerang sampai di kawasan Tembayat.[2] Di sisi lain, juga terjadi penyerangan dari kawasan Timur menuju ke Selatan, yang dilakukan oleh pasukan Legiun Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta melalui rute perjalanan menuju kawasan Majasto, Tawangsari, Weru, Masaran, Glodokan, Wedi dan terakhir di kawasan Tembayat.[3] Pertempuran tersebut termuat dalam Babad Diponegorro versi UNESCO :

Pupuh XXVII (Pucung).[4]

....................

182. Di sebelah timur jalan raya, Pangeran Natapraja sangat ramai perangnya berhadapan dengan Pangeran Mangkunegaran (MN II).

183. Setelah ditinggal Basah Abdullatif Prajurit di Pajang kembali berani, begitu juga Gunungkidul.

184. tetapi tinggal Natapraja yang menjadi andalan Mas Tumenggung Mangunagara, Mangkunegaran sering kalah.

185. Basah Nataprajan dua Tumenggung yang dudur, Masaran dan Weru menjadi perkemahan tempat mundurnya Pangeran.

186. Di Tembayat, tetapi kalau datang prajurit Mataram maju ke Majaraga, Basah Hasan Besari.

187. Kalau belum datang yang bergilir untuk mundur prajuritnya di Kelinggen, kalau datang maju ke Maja.

....................

Sejumlah 1.500 lebih dan diantaranya 500 orang adalah pasukan Bulkiyo yang telah mengalami kekalahan di Pajang Utara, bergerak terus menuju wilayah Pajang Selatan sampai di kawasan Tembayat.[5] Selama perjalanan menuju kawasan Tembayat, sewaktu di kawasan Masaran dan Weru pasukan tempur laskar Diponegoro mendapat hadangan dari pasukan Legiun Mangkunegraran dan Kasunanan Surakarta, sehingga terjadi insiden pertempuran anatara kedua pasukan.

Tabel 3.2 Jumlah benteng Belanda di Pajang berdasarkan jenisnya.


Sumber: Saleh As’ad Djamhari.[6]

Selama insiden di kawasan Masaran dan Weru tersebut, pasukan tempur laskar Diponegoro harus mengalami kehilangan panglima perangnya yakni Basah Natapraja dan Tumenggung Mangunagara yang telah tewas terbunuh. Sedangkan beberapa sisa pasukan yang dipimpin oleh Basah Hasan Besari melanjutkan perjalannya sampai menuju di kawasan Tembayat. Di Tembayat, pasukan tempur laskar Diponegoro melakukan giat mobilisasi untuk mencari dukungan masyarakat dan sekaligus mencari tempat untuk berlindung dari pengejaran pasukan Legiun Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta.[7]



[1] Ibid.

[2] Carey Peter, “Takdir”. Lihat pada peta Perang Jawa (1825-1830), “Serangan Kilat” dari tempat persembunyian di Kulon Progo menuju ke pinggiran Barat wilayah Kasunanan Surakarta (Juli-15 Oktobeer 1826). Lihat: Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”.

[3] Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942). Lihat: Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”.

[4] Diponegoro, “Babad Diponegoro Versi UNESCO”.

[5] Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942). Lihat: Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830. Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942)”.

[6] Ibid.

[7] Ibid. Lihat: Diponegoro, “Babad Diponegoro Versi UNESCO.

Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka