Gejala Halusinasi
Halusinasi.
a. Pengertian.
Halusinasi merupakan suatu keadaan hilangnya kemampuan individu
dalam membedakan antara rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal
(dunia luar). Klien memberi persepsi tentang lingkungan tanpa objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mendengarkan suara-suara tetapi
pada kenyataannya tidak ada orang yang berbicara (Muhith, 2015).
Halusinasi merupakan gangguan persepsi sensori dari suatu objek
tanpa rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi pancaindera.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan
sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan,perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan rangsangan yang
sebenarnya tidak ada (Yusuf AH, 2015).
b. Etiologi.
Penyebab
halusinasi menurut (Yosep,
2011) meliputi :
1) Faktor predisposisi
a) Faktor pengembangan
Perkembangan klien yang
terganggu misalnya kurangnya mengontrol emosi dan keharmonisan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi hilang percaya diri.
b) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa
tidak terima dilingkungan sejak bayi akn membekas diingatannya hingga dewasa
dan dirinya akan merasa diasingkan , kesepian dan tidak percaya pada
lingkungannya.
c) Faktor biokimia
Adanya stres yang
berlebihan yang dialami oleh seseorang maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia dan metytranferase
sehingga terjadi ketidakseimbangan asetil kolin dan dopamin.
d) Faktor psikologis
Tipe kepribadian yang
lemah tidak bertanggungjawab akan mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat
adaptif. Klien memilih kesenangan menuju alam yang tidak nyata.
e) Faktor genetik dan pola
asuh
Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sngat berpengaruh
pada penyakit ini.
2) Faktor presipitasi.
Dapat dilihat dari lima dimensi menurut (Rawlins, 1993 dalam (Yosep, 2011).
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat timbul
dari kondisi fisik seperti kelelahan, pengunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi emosional
Dapat berupa perasaan
cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut sehingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi ini
merangsang bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinsi merupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
d) Dimensi sosial
Dalam dimensi ini klien
menganggap bahwa di alam nyata sngat membahaykan, sehingga klien lebih sering
senang dengan halusinasinya seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri yang tidak di dapatkan dalam dunia
nyata.
e) Dimensi spiritual
Berupa hilangnya
aktivitas beribadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.
Menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
c. Manifestasi Klinis.
Pada klien halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan
duduk terpaku pada pandangan mata satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara
sendiri. Secara tiba-tiba marah dan menyerang orang lain, gelisah atau
melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu.
Menurut (Direja, 2011) tanda dan gejala halusinasi meliputi :
1) Halusinasi pendengaran
: berbicara sendiri atau tertawa
sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup
telinga, mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang bercakap-cakap,
mendengar suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
2) Halusinasi penglihatan :
melihat bangunan, melihat hantu, menunjukkan ke arah tertenu, ketakutan
terhadap sesuatu yang berbahaya.
3) Halusinasi penghidu :
membaui bau-bau seperti darah, urine, fese, (kadang-kadang bau itu
menyenangkan), menghidu sepertisedang membaui tertentu, menutup hidung.
4) Halusinasi pengecap :
merasakan adanya rangsangan rasa seperti darah, ingin meludah dan muntah.
5) Halusinasi perabaan :
mengatakan adanya serangan dipermukaan kulit, merasa tersengat listrik,
menggaruk-garuk permukaan kulit.
d. Rentang Respon.
1) Respon Neurobiologis adaptif yaitu respon yang dapat diterim oleh
norma-norma sosial budaya yang berlaku. Dapat dikatakan bahwa individu tersebut
dalam batas normal. Jika menghadapi masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut. Respon adaptif sebagai berikut :
a) Pikiran logis, pandangan dapat
mengarah pada keadaan yang nyata/pada kenyataan.
b) Persepsi akurat, pandangan yang
tepat pada kenyataan.
c) Emosi konsisten dengan pengalaman,
perasaan yang timbul dari pengalaman.
d) Perilaku sosial, sikap dan tingkah
laku yang dikatakan masih dlam batas wajar.
e) Hubungan sosial harmonis merupakan suatu proses interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
2) Respon Neurobiologis Boder Line.
a) Proses pikir kadang terganggu yaitu
proses pikir yang menimbulkan gangguan.
b) Ilusi yaitu interpretasi atau
penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-benar terjadi karena adanya
rangsangan yang diterima panca indera.
c) Emosi tidak stabil adalah emosi yang
berlebihan atau berkurang.
d) Perilaku tidak biasa merupakan sikap
dan tingkah laku yang abnormal melebihi batas kewajaran.
e) Menarik diri adalah percobaan untuk
menghindari interaksi dengan orang lain.
3) Respon Neurobiologis maladaptif.
merupakan respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang
dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptif ini
antara lain:
a) Gangguan proses berfikir adalah
keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang
lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.
b) Halusinasi yaitu persepsi sensori
yang salah atau persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
c) Kesukaran proses emosi merupakan
perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d) Perilaku yang tidak terorganisir
merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.
e) Isolasi sosial merupakan kondisi
kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai kesatuan oleh orang
lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.
e. Fase Halusinasi.
Stuart
& Laraia 2005 dikutip dalam (Muhith,
2015) menjelaskan fase halusinasi dalam 4
fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien
mengendalikan dirinya, yaitu sebagai berikut :
1) Fase pertama.
Disebut
juga dengan fase comforting yaitu
fase menyenangkan. Pada tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik.
Karakteristik
: klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan rasa bersalah, kesepian
yang memuncak tidak dapat diselesaikan, klien mulai melamun dan memikirkan
hal-hal yang menyenangkan.
Perilaku
klien : tersenyum dan tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa
suara, pergerakn mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan
halusinasinya dan suka menyendiri.
2) Fase kedua.
Disebut
dengan fase condemming atau ansietas
berat yaitu halusinasi menjadi menjijikan dalam psikotik ringan.
Karakteristik
: pengalaman sensori yang menjijikan dan menakutkan, kecemasan meningkat,
melamun, berpikir sendiri jadi dominan, mulai dirasakan ada bisikan yang tidak
jelas, klien tidak ingin orang lain tahu, dan tetap dapat mengontrolnya.
Perilaku
klien : meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom seperti peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah, klien asyik dengan halusinasinya dan tidak
bisa membedakan realitas.
3) Fase ketiga
Disebut
fase controlling atau ansietas berat
yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik
: bisikan, bayangan, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol
klien, klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku
klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentan perhatian hanya beberapa menit
atau detik, tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor, dan tidak mampu
memenuhi perintah.
4) Fase keempat.
Disebut
fase conquering atau panik, yaitu
klien lebur dengan halusinasinya termasuk dalam psikotik berat.
Karakteristik
: pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasinya, halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada
intervensi terapeutik.
Perilaku
klien : perilaku error akibat panik, potensi kuat sicide atau homicide,
aktivitas fisik merelaksasikan halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitas,
menarik diri, tidak mampu memerintah merespon perintah yang kompleks, tidak
mampu merespon lebih dari satu orang, gitasi atau katatonik.
f.
Psikodinamika
1) Faktor Presipitasi.
a) Sosial Budaya.
Dalam teori menyebutkan
bahwa stres lingkungan dapat menyebabkan terjadi respon neurobiologis yang
maladaptif, misalnya lingkungan yang penuh kritikan kehilangan kemandirian
dalam kehidupan, kehilangan harga diri, kemiskinan, kerusakan dalam hubungan
interpersonal, kesepian, tekanan dalam pekerjaan. Teori ini mengatakan bahwa
stres yang menumpuk dapat menunjang terjadinya gangguan psikotik tetapi tidak
diyakini sebagai penyebab utama gangguan.
b) Biokimia.
Dopamine, neropineprin, zat halusigen dapat
menimbulkan persepsi yang dingin oleh klien sehingga klien cenderung membenarkan
apa yang dikhayal.
2) Faktor Predisposisi.
Berdasarkan (Dermawan,R., 2013) predisposisi yaitu :
a) Faktor Biologis.
Adanya hambatan dalam
perkembangan otak khusus konteks lobus provital, temporal dan limbik yang
disebabkan gangguan perkembangan dan fungsi susunan syaraf pusat. Hambatan ini
dapat mengakibatkan hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan mungkin
perilaku menarik diri dapat menyebabkan orang tidak mau bersosialisasi sehingga
kemampuan dalam menilai berespon dengan realita dapat hilang dan sulit
membedakan rangsangan internal dan eksternal.
b) Faktor Psikologis.
Halusinasi dapat terjadi
pada orang yang mempunyai keluarga overprotektif sangat cemas hubungan dalam
yang dingin dan tidak harmonis, perhatian dengan orang lain yang sangat
berlebihan ataupun yang sangat kurang sehingga menyebabkan koping individu
dalam menghadapi stres tidak adaptif.
c) Faktor Sosial Budaya.
Kemiskinan dapat sebagai
faktor terjadi halusinasi bila individu mempunyai koping yang tidak efektif
maka ia akan suka berkhayal menjadi orang hanya dan lama kelamaan.
3) Penilaian Terhadap
Stressor.
Menurut (Yusuf AH, 2015) penilaian terhadap stressor meliputi penentuan
arti dan pemahaman terhadap pengaruh situasi yang penuh dengan stress bagi
individu. Penilaian terhadap stressor ini meliputi respon kognitif, afektif,
fisiologi, perilaku dan respon sosial. Penilaian adalah dihubungkan dengan
evaluasi terhadap pentingnya suatu kejadian yang berhubungan dengan kondisi
sehat.
a) Respon kognitif yaitu
memainkan peran sentral dalam adaptasi. Faktor kognitif mencatat kejadian yang
menekan, memilih pola koping yang digunkan, serta emosional, fisiologi,
perilaku dan reaksi sosial seseorang.
b) Respon afektif adalah
membangun perasaan. Reaksi yang umumnya merupakan reaksi kecemasan yang hal ini
diekspresikan dalam bentuk emosi. Biasanya respon ini meliputi sedih, takut,
marah, tidak percaya atau kaget. Emosi juga menggambarkan tipe, durasi, dan
karakter yang berubah sebagai hasil dari suatu kejadian.
c) Respon fisiologis adalah
merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin
yang meliputi hormon, prolaktin, hormon andrenokortikotropik,
vasopresin, insulin, oksitosin, dan neurotransmiter lain di otak. Respon
fisiologis melawan atau menghindar adalah menstimulasi devisi simpatik dari
sistem syaraf autonomi dan meningkatkan aktivitas kelenjar adrenal.
d) Respon perilaku adalah
hasil dari respon emosional dan fisiologis.
e) Respon sosial biasanya didasarkan pada tiga aktivita, yaitu mencari arti, atribut sosial, dan perbandingan sosial.
4) Sumber Koping.
Berdasarkan pemaparan (Yusuf AH, 2015) bahwa sumber koping meliputi aset ekonomi,
kemampuan dan ketrampilan, teknik pertahanan, dukungan sosial, serta motivasi.
a) Asset ekonomi.
Keadaan ekonomi yang
krisis dapat mempengaruhi meningkatknya penderita yang mengalami gangguan jiwa.
b) Kemampuan dan
ketrampilan.
Seseorang yang memiliki
kemampuan dan ketrampilan akan merasa bahwa dirinya dapat bermanfaat untuk
dirinya sendiri dan orang disekitarnya, sehingga dirinya lebih percaya diri dan
memaksimalkan perannya.
c) Tehnik pertahanan.
Mekanisme pertahanan
jiwa dapat digunakan sebagai mekanisme pertahanan yang adaptif sehingga
hasilnya positif dan dapat digunakan secara maladaptif sehingga hasilnya kurang
baik. Ketika seseorang mengetahui kelemahan dirinya dan mencoba mengatasi
kekurangan tersebut agar pikiran sadarnya tidak menyadari kelemahan atau
kekurangan pada dirinya.
d) Dukungan sosial.
Merupakan suatu keadaan
yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat
dipercaya, sehingga seseorang akan merasa bahwa ada orang lain yang perhatian,
peduli dan mencintainya. Keluarga biasanya sebagai sumber dukungan sosial dan
sebagai kunci penyembuhan penderita gangguan jiwa.
e) Motivasi.
Keluarga memiliki
motivasi negatif untuk menerima kembali klien gangguan jiwa. Hal ini dapat
terjadi karena kurangnya pengetahuan keluarga tentang pentingnya penerimaan
kembali klien gangguan jiwa. Sehingga pemberdayaan keluarga dalam upaya-upaya
kesehatan jiwa sangat diperlukan, dimana peran petugas kesehatan khususnya
perawat dapat memberikan penyuluhan atau konseling kepada keluarga untuk
meningkatkan motivasi dalam menerima kembali klien gangguan jiwa.
5) Mekanisme Koping.
Mekanisme koping merupakan upaya yang diarahkan pada pengelolaan
stres termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dari mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart, Laraia 2005) dalam (Muhith, 2015) :
a) Regresi : menjadi malas
beraktivitas sehari-hari.
b) Proyeksi : menjelaskan
perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab
kepada orang lain.
c) Menarik diri : sulit
mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.
d) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
g.
Penatalaksanaan.
1)
Farmakoterapi.
Neuroleptika dengan dosis efektif berguna bagi pasien
skizofrenia yang menahun, biasanya hasil akan lebih baik jika diberikan dalam
dua tahun penyakit. Neuroleptika dengan dosis efektif tinggi bermanfaat bagi
penderita dengan psikomotorik yang meningkat
2)
Terapi Kejang Listrik.
Pengobatan ini adalah pengobtan yng menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode.
Terapi ini biasa nya diberikan pada pasien
skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang lsitrik 4-5 joule/detik.
3)
Psikoterapi dan Rehabilitasi.
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu
karena berhubungan dengan mempersiapkan pasien untuk kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja
sangat baik untuk mendorong pasien bergaul. Terapi yang dapat dilakukan
merupakan terapi modalitas dan meliputi :
a)
Terapi Aktivitas:
(1) Terapi musik
Fokus : mendengarkan,
memainkan alat musik, bernyanyi, relaksasi dengan musik.
(2) Terapi Seni
Fokus : mengekspresikan
perasaan melalui berbagai pekerjaan seni.
(3) Terapi Menari
Fokus : pengekspresian
perasaan melalui gerakan tubuh.
(4) Terapi Relaksasi
Belajar dan praktik
relaksasi dalam kelompok agar perilaku maladaptif meningkatkann partisipasi dan
kesenangan pasien dalam kehidupan.
b)
Terapi Sosial.
Belajar untuk
bersosialisasi dengan pasien lain, perawat atau dokter.
c)
Terapi Kelompok.
Thangks kak informasinya.
ReplyDeleteMantab, lumayan buat nambah wawasan hehe ...
ReplyDeletethngks kak.
Terimakasih kak ..
ReplyDeletepentingnya menjaga kesehatan, btw thngks kak infomasinya ...
ReplyDeleteiya kak
Deletenice kak
ReplyDeleteSemangat kak.
ReplyDeleteMampir juga di jagungbaba.blogspot.com
nice
ReplyDelete