Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB II Part 3).

 BAB II Part III.

GERAKAN RATU ADIL DAN USAHA MENDONGKEL TATANAN JAWA BARU KEMBALI KE TATANAN JAWA LAMA.

  1. Munculnya Gerakan Ratu Adil.
  1. Spiritualitas Pangeran Diponegoro.

Spiritualitas dan pendidikan Pangeran Diponegoro sejak kecil sangat dipengaruhi oleh Neneknya Ratu Kedhaton. Ratu Kedaton merupakan seorang putri dari Kiai Ageng Derpoyudo, dalam dirinya masih mengalir darah dari Sultan Bima Abdul Kahir I.[1] Sang Ratu merupakan seorang yang membentuk mentalitas Pangeran Diponegoro sejak usia 7 tahun, hal itu dilakukan karena sang Ratu dan suaminya Sri Sultan Hamangkubuwono I telah meramalkan bahwa Diponegoro lahir akan menimbulkan perubahan besar di Yogyakarta melebihi dirinya selama memimpin perang Suksesi III pada tahun 1746, terlebih lagi dalam diri sang bayi masih terdapat seperempat gen dari Madura sehingga membuatnya patut untuk mendapatkan pendidikan dengan baik perihal politik, budaya, sosial, dan agama secara serius di Tegalrejo.[2]

Selama tinggal di Tegalrejo Pangeran Diponegoro telah mendapatkan banyak ilmu pengetahuan ilmu agama yang begitu luas dan memiliki integritas sosial yang baik. Hal itu dibuktikan ketika Pangeran Diponegoro pergi kemana saja membawa banyak pengawal dengan tujuan untuk membantu masyarakat memotong dan menanam padi, dibidang pendidikan politik, militer dan kepemimpinan.[3] Selain itu, Pangeran Diponegoro juga telah menjalin komunikasi dengan baik bersama jaringan para Ulama di banyak pesantren di Yogyakarta khususnya di kawasan Tegalrejo.[4] Tidak hanya di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro juga telah membangun jejaring komunikasi dengan para Ulama, pesantren dan santri di banyak tempat lainnya sampai di kawasan Jawa Timur.[5]

Pangeran Diponegoro merupakan seorang mistikus Jawa dibandingkan sebagai seorang penganut faham puritan Islam yang ortodoks, spiritualitas sang Pangeran nampaknya berusaha untuk mencapai pemahaman keislaman pada tingkat kemanunggalan mistik dalam sufi.[6] Hal itu juga digambarkan dimana Pangeran Dipoengoro melakukan pembelajaran Islam bersama gurunya Kiai Taptozani, yang merupakan salah satu ulama besar tarikat syatariyyah pada abad ke-19.[7]

Di pesantren Pangeran Diponegoro telah banyak mendalami buku-buku penting mengenai teologi mistik islam seperti usul, fiqih, tasawuf dan syair-syair mistik Jawa yang berupa suluk, sejarah nabi atau serat anbiya, tafsir al-Quran sebagai bagian dari kurikulum kesastraan Jawa dan begitu pula karya sastra yang bernuansa filsafat politik islam di dalamnya seperti dalam kitab Shiroth as-Salathin dan kitab Tajus as-Salathin.[8] Tidak lupa kitab Tohfah atau Tuhfatul al-Muhtaj karyanya Imam Ibnu Hajar al-Haitami yang menjadi salah satu buku kesukaan Pangeran Diponegoro selama memperdalam ajaran keislaman.[9]

Melalui banyak referensi buku-buku Jawa dan islam tersebut Pangeran Diponegoro mampu berfikir sangat kritis dalam melihat fenomena berkenaan dengan reformasi hukum pada tahun 1812 serta mengajarkan kepada pasukan tempur Diponegoro dengan melalui kitab Fathu al-Wahhab sebagai sebuah kajian rutin untuk para ulama, anggota pasukan dan para pembesar pasukan Diponegoro sperti Kiai Modjo, Sentot, Mungkubumi dan sebagainya selama perang berkecamuk.[10]

Plupuh XXXIV (Sinom).[11]

....................

102. “He saudara, haji dan ulama, aku ingin bertanya tentang ayat Quran ini, apa yang disebut nasikh dan mansukh? Jelaskanlah dengan baik, aku tidak tahu nasikh dan mansukh ini, semua menjawab, “Sungguh sudah mansukh ini kalau.

103. “Agama Nabi Muhammad lafal ini yang bisa waktu zamannya Nabi Musa.” Walaupun perkataan muridnya sendiri, Haji Imamraji dan Syekh Barmawi lalu disuruh menjawab, Dolah Haji Badarudin marah kepada Ki Maja.

....................

108. Haji Badarudin berkata, “Paman, kalau diizinkan mohon menghadap untuk memberi salam bersama smeua ulama”, berkata sang Raja, “Aku sudah tidak ingin berjabat tangan dengan orang pandai, aku ini orang bodoh, barangkali dapat menularkan kebodohanku.

....................

  1. Terbentuknya Ratu Adil.

Krisis sosial dan kehidupan yang semakin parah selain berdampak terhadap fisik, juga terhadap psikologis sosial yang sedang berkembang saat itu. Tidak mengherankan bila kondisi tersebut juga mengakibatkan terbentuknya sebuah steorotif sosok Ratu Adil menjelang pecahnya perang Jawa. Sosok tersebut merupakan hal yang pernah diramalkan oleh Joyoboyo berdasarkan tanda-tanda peristiwa besar yang ada.[12]

...................

7. Adat lawas keh rusak

Kang wong cilik bingung

Owah keblating kampak begal kecu maling

Ngambah sajroning praja.

8. tan lumampah chukuming surambi

Nora ajeg adiling Pradata

Rukun-rukun ilang kabeh

Ikhtiyar kang lumaku

Myang wasesa rosa kang meksih

Saru deksura nora

Piningkir delarung

Akeh wong pocot rineka

Ing bicara wong liya ingkang genteni

Anak wijil wong kumpra.

....................[13]

Sudah bertahun-tahun masyarakat di Jawa telah hidup kalang kabut dalam penderitaan yang tak kunjung usai dan justru semakin lama semakin bertambah parah. Hal itu mengakibatkan mereka harus siap hidup dalam kondisi serba kekurangan dan penderitaan. Kondisi realiatas tersebut benar-benar sangat difahami oleh pangeran Diponegoro dan membuatnya tergerak untuk mengemban posisi sebagai seorang Ratu Adil manakala masyarakat menganggapnya sebagai sosok sesungguhnya sebagai Ratu Adil.

Banyak tokoh yang memiliki potensi berperan sebagai sosok Ratu Adil (Al Mahdi) seperti Pangeran Diposono, Raden Mas Umar Mahdi, Kiai Imam Sampurno, Sunan Waliyullah, Bendoro Raden Mas Sinduratmojo dan Raden Ayu Guru. Banyaknya pilihan tersebut tidak kunjung membuahkan hasil karena kesemua nama tersebut berlatar belakang dari kalangan orang biasa sehingga banyak dari kalangan sosial masyarakat yang masih ragu untuk memilihnya sebagai seorang Ratu Adil atau Al Mahdi, terlebih lagi ketika banyak kalangan sosial yang tidak setuju akan pemilihan tersebut dikhawatirkan akan melahirkan sebuah perpecahan di dalamnya.[14]

Pangeran Diponegoro yang menyandang sebagai seorang punggawa dari Keraton Kasultanan Yogyakarta dipandang oleh masyarakat sebagai sosok figure yang tepat untuk mengemban posisi sebagai seorang Ratu Adil yang sejak lama telah dinantikan kedatangannya oleh rakyat banyak untuk membebaskan beban mereka dari belenggu ketertindasan dan kesengsaraan yang selama ini mereka rasakan baik secara lahir maupun batin.[15]

Gambar 2. 3 Daerah Yogyakarta Abad ke-19.

Sumber: Louw dan De Klerck, IV: 1894-1909, disadur oleh J. Wilbur Wright dari Oxford.[16]

Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan berbagai lapisan sosial masyarakat mulai dari tingkat bawah sampai kalangan atas sangat mencerminkan seorang tokoh yang arif, sederhana, bijaksana, berwibawa dan pemberani walaupun lahir dari kalangan keluarga bangsawan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro yang melihat besarnya harapan masyarakat terhadapnya dan besarnya keprihatinan yang dirasakan, terdorong untuk mengambil alih posisi sebagai seorang Ratu Adil di pulau Jawa.[17] Sikap Pangeran Diponegoro tersebut kemudian disambut baik oleh masyarakat dengan membentuk aliansi dan bergabung dengan pasukan tempur laskar Diponegoro.[18]

Beberapa tahun sebelum terjadinya perang Jawa, Pangeran Diponegoro melakukan uzlah di Gua Selarong, Gua Scang dan Pantai Selatan untuk mendapatkan sebuah wangsit (petunjuk). Pangeran Diponegoro melakukan uzlah diiringi dengan puasa, sampai akhrinya mendapatkan sebuah wangsit bahwa beliau ditunjuk langsung oleh nabi Muhammad seorang wali Allah di tanah Jawa yang menyandang sebagai Sultan Ngabdulhamid Herucokro Amirul Mukminin Sayyidin Panotogomo Khalifatulloh Ing Tanah Jawi.[19]

Pengukuhan Pangeran Diponegoro untuk menjadi seorang Ratu Adil dianggap telah mengilhami langkah perjuangan selanjutnya dalam membawa perubahan tatanan di tanah Jawa. Hal pertamakali yang Pangeran Diponegoro akan lakukan adalah menekan sistem pajak dan tidak akan ada lagi kenaikan pajak yang selama ini dianggap telah mencekik masyarakat selama ini, terutama yang berada di tanah lungguhnya.[20]

Selain menekan kenaikan pajak, Pangeran Diponegoro juga menerapkan sistem hukum untuk menghukumi para pejabat yang melakukan tindakan kecurangan dengan menaikkan pajak secara ilegal, hal itu Pangeran Diponegoro lakukan karena selain sebagai seorang Ratu Adil juga diakibatkan kegelisahannya yang selama ini telah membuatnya prihatin.

Gelar Ratu Adil yang telah tersematkan kepada Pangeran Diponegoro tersebut berdampak cukup besar terhadap eksistensinya sebagai seorang pemimpin, dalam hal ini gelar tersebut juga mengandung dua hal penting yang perlu difahami, yakni kepemimpinan dalam bidang agamis dan perpolitikan. Pengangkatan tersebut secara politik sudah jelas hal apa yang ingin pangeran Diponegoro capai melalui perang Jawa, sedangkan tujuan agamisnya yakni ingin menegakkan Islam di tanah Jawa sekaligus menggeser status dari Kasultanan, Kasunanan dari gelar agamisnya.[21]

    Berkat jejaring yang telah ada sebelumnya dan gelar yang telah beliau terima itulah membuat Pangeran Diponegoro dapat mengumpulkan pasukan dari para santri, kiai, ulama, mursyid, syaikh dan para agamais lainnya di tanah Jawa untuk bergabung melawan kaum kafir.[22] Pesona besar yang melekat pada diri Pangeran Diponegoro tersebut sangat memberikan keuntungan besar bagi terciptanya perang Jawa yang sangat besar. Hal itu pula yang ditakuti oleh pemerintah Belanda, dimana terbentuknya seorang pemimpin Jawa dengan kharismanya.

[1] Carey Petter, “Takdir”. Op. Cit. Hal. 9. Lihat: Moh. Ashif Fuadi, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX. Carey Petter, “Kuasa Ramalan”.

[2] Carey Petter, “Kuasa Ramalan”.

[3] Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.

[4] Carey Peter, “Kuasa Ramalan”. Op. Cit. Hal. 518. Lihat: Mastuki HS dan M. Ishom el-Saha, “Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren”. (Jakarta: Diva Puastaka, 2003). Hlm 9-10.

[5] Ibid. Hal. 84. Lihat: Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.

[6]Ibid. M.C Ricklefs, “Mengislamkan Jawa“. Lihat: HOS. Cokroaminoto, “ Islam dan Sosialisme. Machiavelli Niccolo, “Diskursus”.

[7] Carey Peter, “Urip Iku Urup”. Lihat: Laffan Michael, “The Making Of Indonesian Islam”.

[8] Carey Peter, “Takdir”.

[9] Menurut beberapa sumber yang ada kemungkinan besar bahwa kitab Tohfah tersebut adalah Tuhfatu al-Mursalah ilah Rauh an-Nabi karyanya dari Syekh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri. Di dalam Kitab ini banyak menjelaskan perihal tentang falsafah sufisme yakni ajaran “martabat tujuh” yang sering diaplikasikan dan sangat digemari oleh kebanyakan masyarakat di pulau Jawa dalam merenungi tentang ketuhanan dan kemanusiaan di dalamnya.  Lihat selengkapnya: Moh. Ashif Fuadi, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX”. Lihat: Carey Peter, Kuasa Ramalan.

[10] Carey Peter, “Takdir”.

[11] Diponegoro, “Babad Diponegoro Versi UNESCO”.

[12] Moh. Ashif Fuadi, “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX“.

[13] Carey Peter, “Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo”.

[14] Carey Peter, “Kuasa Ramalan”.

[15] Moh. Ashif Fuadi, “ Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX. “.

[16] Carey Petter, “Kuasa Ramalan”.

[17] Carey Peter. Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro. Keterpurukan kondisi masyarakat membuat masyarakat menanti kedatangan sang Mahdi untuk menyelamatkan mereka dari kesusahan hidup mereka. Banyak figure-figur yang ada pada waktu itu untuk memposisikan diri sebagai Mahdi, namun banyak dari mereka yang gagal mempertahankan legitimasi itu. Sehingga terpilihnya Diponegoro sebagai Mahdinya orang Jawa pada tahun 1822 menjadi sebuah pertanda bahwa Diponegoro memiliki kapasitas sebagai Ratu Adil. Lihat: Diponegoro. Babad Diponegoro, Memory of the World UNESCO.

[18] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”.

[19] Cary Peter. Kuasa Ramalan. (Dia yang dinobatkan menjadi Yang Mulia Sultan Ngabdulkamid Erucokro, Perdana di antara Kaum Beriman, Pemimpin Iman, Penata Agama, Kalifah Nabi Allah, semoga damai bagi-Nya, di Jawa). Dalam versi lain dijelaskan bahwa istilah Hrucakra dihubungkan dengan Raja Kediri Prabu Jayabaya yang memerintah pada abad ke-11. Sultan Herucakra adalah orang yang tidak mengutamakan kekayaan, kementerengan lahir. Dia terpilih tanpa syarat apapun dan sosok yang mampu membawa kejayaan dan kemakmuran di tanah Jawa. Lihat juga: Moh. Ashif Fuadi, “ Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX “.

[20] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”.

[21] Carey Peter, “Kuasa Ramalan”. Lihat: Diponegoro. “Babad Diponegorro versi UNESCO”.

[22] Carey Peter, Kuasa Ramalan.


Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka