Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB III Part 9).

 BAB III Part IX.

JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN.



A.        Dampak Perang Jawa Terhadap Desa Tambongwetan.

Menyebarnya pasukan tempur laskar Diponegoro setelah dipukul oleh Belanda menyebar ke beberapa wilayah di Klaten salah satunya adalah di Desa Tambongwetan yang dipimpin oleh Tumenggung Wirobongso. Bukti bahwa Tumenggung Wirobongso adalah seorang anggota laskar Diponegoro adalah adanya corak-corak pola berbahasa Jawa dengan warna nisan hitam seperti makam-makam kuno pada umumnya dan pohon sawo yang tumbuh di sekitaran area makamnya di makam Sentono Desa Tambongwetan.[1] Seperti yang diketahui bahwa selama melakukan perlawanan terhadap Belanda para pasukan tempur laskar Diponegoro dalam memobilisasi pasukan dan berkomunikasi mereka menggunakan sandi-sandi khusus dengan menggunakan pohon sawo, kecuali sawo berjenis kecik karena pohon tersebut lazim digunakan di area Keraton Kasultanan Yogyakarta, sehingga ditakutkan akan membongkar identitas mereka.[2]

Pupuh XXI (Durma).[3]

....................

59. Nyai Soka demikian sudah tidak diceritakan. Pagi harinya Kanjeng Pangeran duduk di pendapa, kira-kira jam delapan Kanjeng Pangeran Mangkubumi datang, Kanjeng Pangeran melihat.

60. Kalau ayahnya datang lalu dijemput, keluar dari pendapa datang di bawah pohon sawo, bertemu Kanjeng Pangeran lalu anaknya diciumi, segera dipeluk serta ditangisi.

Penggunaan pohon sawo sendiri digunakan karena mengandung arti filosofis dari hadits Nabi Muhammad SAW, dari Anas bin Malik beliau bersabda “sawwu shufufakum fa inna tashfiyata ash-shufuf min iqomati ash-sholah (luruskanlah barisanmu karena lurusnya barisan termasuk menegakkan shalat HR. Bukhari)”.[4]

Pihak pasukan aliansi Belanda akhirnya mengetahui dan memahami maksud penggunaan pohon sawo tersebut, yang digunakan sebagai sebuah alat komunikasi oleh pasukan tempur laskar Diponegoro. Sehingga Belanda membuat suatu taktik dengan menghasut masyarakat agar menebang pohon sawo dengan mengatakan bahwa :

Dalam setiap pohon sawo ada sosok makhluk halus berupa genderuwo (semacam setan penunggu pohon sawo)” dan keyakinan tersebut bagi masyarakat akhirnya menjadi sebuah cerita yang bersifat turun temurun.[5]

Pasukan tempur laskar Diponegoro sejak awal perang selain untuk melakukan perlawanan terhadap pangreh praja dan pemerintahan kolonial Belanda, mereka juga bertugas untuk menyebarkan syiar Islam kepada masyarakat setempat melalui faham tarekat syatariyyah.[6] Hal itu juga seperti yang dilakukan oleh pasukan tempur laskar Diponegoro di bawah Tumenggung Wirobongso selama tinggal di Desa Tambongwetan yang telah memberikan cukup banyak perubahan khususnya adalah dibidang tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masyarakat.

Tradisi di Desa Tambongwetan sejak awal kental sekali akan nuansa pengaruh Hindu Budha, walaupun agama Islam telah cukup lama masuk di desa ini akan tetapi dalam praktiknya masih sangat jauh dari nilai-nilai keislaman. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tradisi seperti nyadran yang biasa dilakukan tiap tanggal 15 di bulan Ruwah (Jawa), sejak awal tujuan dari tradisi tersebut adalah untuk mengunjungi makam para leluhurnya dalam rangka mengenang mereka dan mendoakannya untuk kebaikan di alam akhirat dan dalam ritual pengamalannya masyarakat setempat masih menggunakan doa-doa yang bernafaskan keyakinan Hindu Buda atau keyakinan setempat.

Setelah kedatangan Islam yang dibawa oleh pasukan tempur laskar Diponegoro, secara berangsur-angsur dapat menggeser praktik tradisi nyadaran yang masih bernuansa Hindu Budha menjadi lebih Islami, dengan menggunakan bahasa Arab untuk sarana berdoa dan pendalaman makna filosofis dari tradisi nyadran yang berupa sebuah pemahaman bahwa:

setiap yang hidup pasti kembali kepada sang Pencipta dan setiap insan yang masih diberikan kesempatan hidup diharuskan untuk mempersiapkan bekal sebaik-baiknya untuk kehidupan selanjutnya”.[7]

Selain tradsi nyadran, tradisi rasulan juga memiliki keterkaian dengan pasukan laskar Diponegoro. Tradisi Rasulan awalnya merupakan tradisi wiwit yang bertujuan untuk pengungkapan rasa syukur kepada Dewi Sri. Tradisi ini dilakukan manakala para petani di Desa Tambongwetan telah menuai padi yang berlimpah, sehingga masyarakat di Desa Tambongwetan dalam mengungkapkan rasa syukurnya pada sang pencipta dilakukanlah tradisi wiwit dengan diikuti menanggap (mengadakan) wayang dan sesajen.[8] Melihat beberapa praktiknya tidak semua masyarakat di Desa Tambongwetan melakukan tanggap wayang sehingga mereka melakukannya dengan cara mengadakan wiwit yang bersekala kecil dan beberapa dengan acara momong. Hal tersebut senada yang dikaatakan oleh Pak Somat :

Yo tradisi koyo wiwit karo momong kui wes turun-temurun awet mbiyen kok mas, ning saiki beberapa tok seng iseh nglakoni tradisi koyo ngonokui. Mergo keyakinan masyarakat sekarang sudah macem-macem“.[9]

Belum diketahui apa nama tradisi sebelum adanya tradisi rasulan, namun dalam perkembangannya tradisi rasulan mulai berkembang setelah adanya akulturasi dengan nilai-nilai tarekat syatariyyah di Desa Tambongwetan, sehingga hal itu juga mempengaruhi terhadap perkembangan penggunaan bahasa Arab sebagai sarana untuk pengiriman doa-doa serta pelurusan rasa syukur kepada Allah SWT tidak lagi pada Dewi Sri.[10]

Pengaruh tarekat syatariyyah yang dibawa pasukan laskar Diponegoro sejak awal telah diterima dengan baik oleh masyarakat setempat, sehingga mudah untuk mengakulturasikan dengan nilai-nilai keislaman yang telah ada sebelumnya.[11] Akan tetapi dalam praktik perkembangannya hanya dapat merubah sebatas metode bacaan dan pemahanan sehingga tidak dapat merubah keyakinan masyarakat secara menyeluruh dan masih banyak pula masyarakat yang masih menggunakan hal-hal yang bernuansa Hindu Budha. Selain itu tarekat syatariyyah dianggap mudah melebur ke dalam praktik mistik dan magis yang sering dikerjakan masyarakat Jawa pada umumnya, sehingga beberapa masyarakat meleburkan diri menjadi “kejawen” dan putihan.[12]

Aktivitas yang terjalin dengan baik antara masyarakat setempat dengan pasukan tempur laskar Diponegoro tercermin manakala masyarakat setempat membantu memberikan ruang untuk tempat tinggal dan beberapa jenis bahan pangan.[13] Tempat tinggal yang dimaksud di sini ialah dibolehkannya membangun tempat tinggal dan membuat palagan-palagan untuk jaga-jaga bila ekspedisi pasukan Belanda mulai memasuki kawasan Desa Tambongwetan. Sedangkan bahan pangan yang paling terkenal adalah berupa buah jambu Jressono yang menjadi ciri khas dari Desa Tamboh dan memperkenalkan jambu tersebut kepada seluruh pasukannya dan kemudian jambu tersebut menjadi sangat populer di kalangan masyarakat luas setelah pasukan laskar Diponegoro memperkenalkannya pada masayarakat lainnya.[14]

Kepopuleran jambu tersebut mengundang daya tarik dari Sri Susuhunan Pakubuwana VI, karena penasaran akhirnya memerintahkan abdi dalemnya untuk mengkeramatkan kawasan sekitar pohon jambu tersebut dan mewajibkan masyarakat Desa Tamboh untuk menyerahkan buah itu kepada pihak otoritas Keraton Kasunanan Surakarta sebagai bentuk upeti.[15] Dampak dari pengkeramatan tersebut mengundang bahan perbincangan bagi sebagain besar masyarakat sehingga mengakibatkan disimilasi[16] verbal pada pengucapan nama Desa Tamboh dan secara perlahan mengalami perubahan menjadi sebutan Tambong (Desa Tambong).[17]


[1] Istilah kata Sentono sendiri bermakna kerabat dan dalam hal ini yang dimaksud adalah kerabat dari pasukan laskar Diponegoro.

[2] Zainul Milal Bizawie, “Masterpiece Islam Nusantara“. (Tangerang: Pustaka Kompas, 2016).

[3] Diponegoro. Babad Diponegoro, Memory of the World UNESCO.

[4] Hal tersebut senada dengan penyataan dari salah satu keturunan Pangeran Diponegoro ke-7 Ki Roni Sodewo (salah satu trah Diponegoro) bahwa dalam mengidentifikasi keluarga keturunan Diponegoro dan komunikasi antar pasukan laskar Diponegoro digunakanlah pohon sawo sebagai salah satu alat komunikasi. Zainul Milal Bizawie, “Masterpiece Islam Nusantara“. (Tangerang: Pustaka Kompas, 2016). Lihat: Diponegoro, Babad Diponegoro versi UNESCO. Moh. Ashif Fuadi, “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX.

[5] Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.

[6] Zainul Milal Bizawie, “Masterpiece Islam Nusantara. Lihat: Moh. Ashif Fuadi, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX.

[7] Mengenal Sejarah Desa Tambongwetan“. Dokumen Kantor Balai Desa Tambongwetan Tahun 1980. Dan wawancara dengan Ibu Jumilah, salah seorang sesepuh di Dukuh Soka yang dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2020 pukul 20.00.

[8] Ibid.

[9] “Ya Tradisi wiwit dan momong itu sudah lama dilakukan secara turun temurun kok mas, tapi sekarang sudah sedikit yang masih melakukan itu karena banyaknya keyakinan-keyainan masyarakat setempat yang berbeda-beda“. Wawancara bersama Pak Somat, dilakukan pada 1 Oktober 2020 pukul 13.00.

[10] T.J. De Boer, “History Of Philosophy In Islam”.

[11] Ibid.

[12] Moh. Ashif Fuadi, Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren : Kajian Historis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Laskar Diponegoro Abad XIX”. Lihat juga: Karael Steenbrik, “Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596 – 1942). M.C Ricklefs, “Mengislamkan Jawa“.

[13] Carey Peter, “Takdir”.

[14] Kartodirjo Sartono. “Pemberontakan Petani Banten 1888”. (Depok: Komunitas Bambu, 2015). Seperti terbunuhnya seorang yang memiliki kharisma di Toyomerto yang menjadi pukulan berat untuk para pasukan yang dalam pemberontakan.

[15]Mengenal Sejarah Desa Tambongwetan“. Dokumen Kantor Balai Desa Tambongwetan Tahun 1980.

[16] Disimilasi adalah perubahan sebuah fonem (satuan terkecil dalam sebuah bahasa yang masih menunjukan perbedaan makna) yang berdekatan satusama lainnya menjadi fonem yang berbeda. Liahat selengkapnya kbbi Aktif (diakses pada 9 April tahun 2021 pukul 22.16).

[17] Mengenal Sejarah Desa Tambongwetan“. Dokumen Kantor Balai Desa Tambongwetan Tahun 1980.


Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka