Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB I Part 4).
BAB I Part IV.
DEMOGRAFI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN.
- Sosial Ekonomi.
Kondisi sosial ekonomi
masyarakat di Desa Tambongwetan yang berada di wilayah negaragung memiliki sumber daya alam yang sama dengan tanah-tanah
di wilayah lainnya yang kebanyakan berupa daerah pertanian, perkebunan dari
tanah lungguhnya pejabat Kasunanan Surakarta. Banyaknya sumber daya alam yang
ada di Desa Tambongwetan, terdapat salah satu ladang perkebunan jambu biji yang
menjadi daya tarik banyak kalangan sampai akhirnya disorot juga oleh Sri
Susuhunan Pakubuwana VI. Jambu biji tersebut dikenal sebagai jambu Jressono, namun masyarakat mengenalinya
sebagai jambu tambong karena berasal
dari Desa Tambongwetan, karena saking terkenalnya pohon tersebut maka oleh Sri
Susuhunan Pakubuwana VI memagari kawasan pohon jambu Jressono tersebut dengan
sabda pandhitaratunya, sehingga secara defacto telah menjadi jambu katur (jambu
upeti) untuk Kasunanan Surakarta.[1]
Gambar 1.9 Kawasan pohon jambu Jressono.
Sumber: arsip pribadi penulis.
Jambu Jressono tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Mbah Tamboh,
beliau merupakan salah seorang bangsawa dari Kerajaan Majapahit yang
mengungsikan diri bersama pengikutnya sampai di kawasan Desa Tambongwetan
karena situasi tatanan politik di kerjaan sedang melangami kekacauan akibat
perang Paregreg antara Wikramawardhana
(Majapahit Barat) dan Bhre Wirabhumi (Majapahit Timur) yang dilatar belakangi
oleh adanya sebuah perebutan tahta yang sah di kerajaan Majapahit. Selama di
kawasan tersebut (Desa Tambongwetan) Mbah Tamboh melakukan babat alas
(membuka lahan) untuk pemukiman, sampai akhirnya kawasan tersebut dikenal
sebagai Desa Tamboh. Barena berkat kepopuleran jambu Jressono juga
kawasan Desa Tamboh jadi dikenal sebagai Desa Tambong karena dampak dari
disimilasi verbal oleh masyarakat.
Masyarakat Desa Tambongwetan pada umumnya memiliki sawah dan kebun pekarangan yang menjadi satu-satunya, sehingga kegiatan mereka adalah bertani mengerjakan tanah jabatan milik Kasunanan Surakarta. Terkadang dalam melakukan penggarapan sawah, merek mengandalkan curah hujan dan manakala masuk musim kemarau masyarakat mengandalkan sumur-sumur kecil dekat dengan area persawahan selain itu juga terdapat dua sumber mata air yang sejak awal digunakan untuk keperluan sehari-hari termasuk juga untuk mengairi persawahan.
Gambar 1.10 Makam Kiai dan Nyai Gentong.
Sumber: Arsip pribadi penulis.
Masyarakat
desa hidup dengan mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan yang mereka
garap. Di wilayah negaragung, lahan persawahan tidak sebanding dengan
jumlah orang yang tinggal, hal itu tidak mengherankan manakala terjadi krisis
ekonomi dengan memakan seadanya dan berpakaian alakadarnya.[2] Selain itu masyarakat
juga masih terbebani pembayaran pajak yang harus mereka tanggung yang tiap
jatuh tempo ditagih oleh seorang sikep yang berwenang atas lahan yang
ditanami di dalam desa. Usaha untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, para
petani di Desa Tambongwetan juga melakukan jual beli hasil pertanian dan
kebunnya ke pasar yang letaknya di kawasan Dukuh Gentongan Desa Gemblegan
(pasar Gentongan).[3]
Gambar 1.11 Peta Desa Tambongwetan dalam skala Kecamatan.
Sumber : Dokumen Desa Tambongwetan.[4]
Kondisi
sosial ekonomi Desa Tambongwetan yang terbelakang, tentunya memiliki
penghasilan yang rendah dan kehidupan sosialnya cenderung berpengaruh terhadap
aspek kebudayaan yang ada. karena pokok pikiran utama yang selalau dipikirkan
adalah bertani, memenuhi kebutuhan hidup dan berusaha bebas dari pajak yang
sangat memberatkan. Tentunya pendidikan yang rendah memiliki peran yang cukup
besar terhadap perkembangan pendidikan pada waktu itu. Hal tersebut tidak hanya
dirasakan oleh masyarakat Desa Tambongwetan, melainkan juga desa-desa yang
lainnya.
Budaya
yang dimiliki oleh Desa Tambongwetan sejak awal dipengaruhi oleh animisme
dan dinamisme. Masyarakat masih mengkeramatkan beberapa tempat tertentu,
mempercayai hal-hal yang bersifat gaib, makhluk halus, kekuatan magis yang
terdapat pada benda-benda pusaka seperti tombak, keris dan benda lainnya.
Melihat adanya perkembangan kepercayaan seperti ini maka tidak heran bila masyarakat
sering melakukan ritual sesaji pada jalan-jlan, pepohonan besar dan kepada
senjata pusakanya yang dianggap wingit (angker, sakral), selain itu juga
ada tradisi sadranan dan rasulan (bersih desa).
[1] “Mengenal Sejarah Desa Tambongwetan“.
Dokumen Kantor Balai Desa Tambongwetan
Tahun 1980.
[2] Peter Boomgaard, “Anak Jajahan Belanda:
Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880”. Lihat juga: Soe Hok Gie, “Catatan Seorang Demonstran”.
[3] Kawasan Gentongan
pertamakali dibabat alas oleh Mbah
Gentong (500 m antara makam Mbah Gentong dan Pasar Gentongan), kemudian kawasan
tersebut menjadi tempat jual beli gentong-gentong dari tanah liat. Dari sinilah
akhirnya memicu para pedagang lain untuk mengadakan transaksi jual beli,
sehingga terbentuk sekumpulan orang dan lama-lama terbentuklah pasar yang
bernama Gentongan.
[4] “Mengenal Sejarah Desa Tambongwetan“.
Dokumen Kantor Balai Desa Tambongwetan Tahun 1980.
[5] “Mengenal Sejarah Desa Tambongwetan“. Dokumen Kantor Balai Desa Tambongwetan Tahun 1980.
Nice Kak
ReplyDeletenice kak
ReplyDeleteThngks Kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeleteKeren Kak
ReplyDeleteNice kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDeletenice
ReplyDelete