Islamisasi di Tanah Jawa Tengah Selatan

 Part II.

PROSES ISLAMISASI DI KABUPATEN KLATEN (PERAN

 SUNAN TEMBAYAT DALAM PROSES ISLAMISASI DI 

KLATEN ABAD KE-XVI).

Pasca diangkat sebagai seorang Adipati di Semarang menggantikan ayah mertuanya, Pandanaran II mendabatkan wahyu atau karomah kawasisan, kehartaan, kawiryan dan sebagainya yang artinya segala bentuk harta, ilmu dan derajat telah beliau dapatkan. Selain ahli di bidang perpolitikan, Pandanarang II juga pandai dalam kegiatan perniagaan sehingga denga kemanpuan dan keuletannya itu membuatnya mampu membangun armada laut yang sangat kuat. Selain itu Adipati Pandanaran II juga seorang yang nasionalis, hal itu dibuktikan dengan sikapnya yang anti kolonial ketika Kerajaan Samudra Pasai di bawah Adipati Unus melakukan penyerangan ke Malaka untuk memberantas kolonialisme, Pandanaran II memberikan bantuan berupa kapal perang beserta pasukannya untuk mendukung gerakan yang dilakukan oleh Kasultanan Samudra Pasai. Sejak dari Gunung Kidul hingga pindah ke Semarang, Sunan Kalijogo selalu melakukan pengawasan terhadap Adipati pandanaran II.



Sumber kedua, Adipati Sunan Pandanarang II sejak awal merupakan garis keturunan dari Adipati Pandanarang I. Adipati Pandanarang I merupakan seorang Bupati pertama di Semarang yang pada abad ke-8 hingga abad ke-15 wilayah Semarang saat itu masih dikenal sebagai wilayah Pragota dan Bergota di bawah naungan Mataram Kuno. Pada akhir abad ke-15 Pangeran Made Pandan mendapat tugas dari Kasultanan Demak untuk menyebarkan syi’ar Islam di tanah Bergota yang datarannya berupa pelabuhan yang munjulang sampai wilayah Banten. Tanah Bergota dikenal sebagai tanah yang sangat subur sehingga menumbuhkan berbagai pohon yang jarang ditemukan di wilayah lainnya dan salah satunya adalah tanaman Asem Arang. Beranjak dari pohon Asem Arang itulah masyarakat mengenal Bergota sebagai wilayah Asem Arang karena banyaknya tumbuhan Asem Arang yang tumbuh di tanah Bergota, selain itu karakter lidah masyarakat Jawa pada waktu itu suka menggunakan kosa kata yang mudah diucapkan sehingga hal itu berdampak pada istilah nama Asem Arang menjadi Semarang. Karena kejadian itulah masyarakat mengenal wilayah Bergota sebagai wilayah Semarang hingga saat ini.[9]



Pangeran Made Arang yang mendapat tugas dari Raden Patah untuk menyebarkan ajaran Islam segera melakukan kegiatan sosialisasi dan pengenalan terhadap ajaran Islam melalui tradis dan kebudayaan yang ada pada waktu itu, seiring berkembangnya waktu dan banyaknya masyarakat yang mengenal Islam segera Pangeran Made Arang membangun pondok pesantren dan masjid untuk sarana pendidikan dan pendalaman ajaran Islam. Hingga masyarakat mengenal Pangeran Made Arang sebagai Ki Ageng Pandanarang I, hal itu disematkan karena keilmuan, kewibawaan dan kerendahan hatinya kepada masyarakat. Melihat sempak terjang Ki Ageng Pandanarang I membuatnya kemudian diangkat oleh Kasultanan Demak sebagai Bupati Semarang hingga jabatan Bupati Semarang diteruskan oleh putranya Adipati Pandanarang II yang kelak akan menjadi Sunan di tanah Tembayat Klaten. Sepeninggal ayahnya Adipati Pandanarang I, Pandanarang II diangkat oleh Kasultanan Demak sebagai Bupati Semarang dan bergelar Adipati Pandanarang II.[10]



Hingga pada suatu waktu Sunan Kalijogo mendekati Adipati Pandanaran II untuk melakukan diskusi dalam rangka mengikuti jejak mendiang mertuanya yang juga seorang petapa (uzzlah). Setelah memberikan nasihatnya kepada Pandanaran II, Sunan Kalijogo kembali ke Demak untuk melakukan pertemuan bersama para wali lainnya untuk mencari pengganti Syeh Siti Jenar supaya jumlah wali tetap songo (sembilan). Selama proses diskusi tersebut, Sunan Kalijogo menyaipaikan bahwa diirinya telah mengantongi sebuah nama namun belum bisa menyampaikan karena masih perlu untuk diuji dan dibekali menjadi wali.



            Selanjutnya Sunan Kalijogo melakukan perjalannya kembali ke Semarang untuk menguji Adipati Pandanarang II dengan penyamaran sebagai seorang tukang rumput (penjual rumput alang-alang) yang menawarkan rumput kepada Adipati Pandanarang II. Barang-barang yang dijual oleh tukang rumput tersebut merupakan produk yang masih segar, namun oleh Pandanarang II ditawar dengan harga 25 ketheng. Tawaran tersebut disetujui dan barang alang-alang diserahkan kepada pandanarang II, seusai di rumah dan barang-barang dibongkar Pandanarang II terkejut dengan alang-alang yang di tengah-tengah tumbukannya terdapat sebuah kandelan (sarungan tempat keris yang terbuat dari emas) dan kemudian diambil dan disimpan oleh Pandanarang II. Barang tersebut sebetulnya merupakan alat untuk mengetes Pandanarang II, makanya barang dagangan yang dijual oleh si tukang rumput dikenal dengan alang-alang (rintangan).



        Percobaan pertama oleh Sunan Kalijogo dianggap gagal dan justru tidak bisa menggugah Sang Adipati, oleh karena itu Sunan Kalijogo memberikan ujian yang kedua kepada Sang Adipati. Pada saat Adipati Pandanaran II mengadakan acara peringatakan berdirinya bangunan besar yang ada di kadipaten, beliau lalu mengundang para Bupati dari pesisir untuk menyaksikan peresmiannya. Di sela-sela keramaian para hadirin yang ada datanglah Sunan Kalijogo yang menyamar sebagai masyarakat biasa yang sederhana, kedatangan sang penyamar tersebut tidak disambut baik oleh Sang Adipati dan justru mengabaikan keberadaaanya. Melihat sikap Adipati Pandanaran II tersebut membuat Sunan Kalijogo yang sedang menyamar keluar dari pendopo dan merubah penyamarannya sebagai masyarakat yang kaya dan mewah. Sang Adipati yang melihat tampilan dari tamu orang kaya tersebut segera menyambut dengan hormat dan memberi tempat seperti tamu bangsawan yang lainnya. Bahkan tamu kaya tersebut dimintai pendapatnya mengenai rumah mewah yang baru selesai dibangunnya, tamu tersebut segera menjawab bahwa bangunan rumah itu sudah sangat mewah dan tidak ada yang menandinginya. Setelah menjawab pertanyaan dari Adipati Pandanaran II tersebut si tamu kayak tadi keluar dari pendopo dan mengganti pakaiannya menjadi seorang masyarakat biasa dan miskin seraya meninggalkan pesta pertemuanyang diadakan Adipati Pandanaran II. Melihat gagalnya dua kali ujian yang diberikan oleh Sunan Kalijogo tersebut membuat Sang Sunan menjadi kecewa namun tidak lantas membuat Sunan putus asa dan justru selalu berusaha menyadarkan Sang Adipati.



            Sunan Kalijogo kemudian mendatangi Adipati Pandanaran II dengan penyamarannya sebagai seorang pengemis, Sang Adippati yang melihat pengemis tersebut segera merogoh uang koinnya untuk diberikan kepada si pengemistersebut. Setelah memberikan uang koinnya si pengemis tak lantar langsung pergi dan terus menerus berada di sampung Sang Adipati, melihat si pengemis yang tidak kunjung pergi tersebut memancing amarah dari Sang Adipati dan pada waktu yang bersamaan si pengemis tersebut langsung menuangkan niat kedatangannya ke hadapan Adipati, yakni bukan untuk meminta uang melainkan untuk mengajak Sang Adipati untuk mendengarkan suara adzan melalui bedug dan mengajaknya untuk menjalankan sholat. Setelah suara azan usai pengemus tersebut melempar tanah yang dibawanya ke arah muka Sang Adipati, dan hal itu membuat Sang Adipati menjadi kaget. Sang Adipati menjadi semakin kaget manakala tanah yang dilempar tadi seketika berubah menjadi emas setelah ditangkap oleh Sang Adipati. Pada saat itulah baru Sang Adipati mendapatkan titik kesadarannya tentang kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara dan juga baru faham apa yang yang dimaksudkan oleh si pengemis tadi.



Kesadaran Pandanarang II tersebut menggerakkanya untuk menghadap kepada Sunan Kalijogo untuk mengajukan bimbingan spiritual, namun oleh Sunan Kalijogo meminta kepada Sang Adipati melalui empat persyaratan yang akan diajukan bilang ingin menjadi muridnya:

1.      Seorang Bupati harus berdoa dengan rutin dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat umum yang berada di bawah naungan kekuasaanya.

2.      Adipati diwajibkan memberikan makan kepada para santri dan ulama serta mendirikan langgar-langgar untuk beribadah beserta beduknya.

3.      Memberi dan menyumbangkan harta kekayaanya secara sukarelamasyarakat yang sedang kesusahan.

4.      Ikut pulang ke rumah Sunan Kalijogo dan bersedia selalu menyalakan lampu rumah Sunan.

            Adipati Pandanaran II yang melihat syarat yang diajukan Sunan Kalijogo tersebut segera menyanggupi termasuk melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan bersedia menuntut ilmu pada Sunan Kalijogo sampai di Jabalkat Tembayat. Perjalanan Adipati Pandanaran II menuju ke Jabalkat ditemani istrinya Nyi Ageng Kaliwungu yang tidak ingin jauh dari sang suami dan menyerahkan jabatan Bupatinya kepada adiknya. Proses perjalanan Adipati Pandanaran II menuju Gunung Jabalkat mencari Sunan Kalijogo mengalami banyak rintangan dan dari rintangan tersebutlah yang akan membuat namanya menjadi dikelan dan diterima keberadaanya oleh masyarakat luas pada waktu itu, dalam perjalanannya tidak hanya menyebarkan ajaran keislaman saja tapi juga memberikan dampak yang besar bagi penamaan beberapa wilayah yang telah dilewatinya seperti Salatiga, Boyolali, Jiwo dan Wedi. Selain itu juga meninggalkan jejak-jejak kesaktiannya seperti di Sendang Kucur dan batu Kali Pepe.

            Perjalanan jauh dari Semarang ke arah Gunung Jabalkat Tembayat mengharuskan sang Adipati untuk lebih bersabar dan kuat lagi, mengingat jaraknya yang begitu jauh kurang lebih 125 km di tengah-tengah hutan belantara yang masih lebat dan banyaknya binatang buas yang masih berkeliaran di dalam hutan. Kesabaran dan kegigihan dari Sang Adipati tersebut sejak awal telah diramalkan oleh Sunan Kalijogo, sehingga Sang Sunan tidak salah dalam memilih seorang murid untuk dijadikan sebagai pengganti Syaikh Siti jenar. Di tengah-tengah perjalanan yang tidak boleh membawa barang-barang harta benda berharga dan tidak ingin jauh dari sang suami, Nyi Ageng Kaliwungu dalam perjalannya masih tetap sengaja membawa harta benda di dalam kantongnya untuk berjaga-jaga selama dalam perjalanannya. Barang berharga tersebut akhirnya menimbulkan mara bahanya dalam perjalannya, sehingga mengundang para perampok untuk merampasnya.

            Pada saat sampai di Salatiga, perjalanan Sang Adipati dan istrinya Nyi Ageng Kaliwungu akhirnya tertahan oleh para perampok yang bernama Sambang Dalan dan seorang rekan kerjanya. Pada waktu meminta harta benda yang di bawa oleh Sang Adipati, Sang Adipati mengatakan bahwa dirinya dan istrinya tidak membawa barang-barang berharga jadi tidak perlu melakukan tindakan kriminal. Pada aktu memerampas kantong bambu yang di bawa istrinya, didapatilah harta benda yang berharga walaupun tidak banyak.[11] Sehingga  hal itu membuat Sang Adipati sedikit kecewa dan meminta kepada para perampok agar tidak menyakiti istrinya, dan karena perampok terus menerus menggeledah istri Sang Adipati membuatnya menjadi marah dan mengatakan “Wong salah kok isih tega temen (sudah berbuat salah tetap saja tega)”, dan dari ucapan tersebutlah wilayah itu dikenal sebagai daerah Salatiga yang berasal dari kata salah dan tiga (Salatiga).[12]

            Gertakan yang begitu keras membuat para perampok tadi menghentikan tindakannya dan membuat Sambang Dalan mendapatkan ganjaran berupa kepalanya menjadi menyerupai domba, dengangkan teman satunya lagi berubah menjadi gemetar dan berubah menjadi menyerupai ular (ngewel). Fenomena ganjaran yang mereka alami tersebut membuatnya menjadi menyesal dan segera memohon ampun kepada Sang Adipati serta berjanji setia mengabdi dengan menemani perjalannya sampai di Jabalkat Tembayat. Akhirnya para perampok tadi dikenal oleh masyarakat sebagai Syeh Domba (Sambang Dalan) dan Syeh Kewel (berwajah ular).[13] Sesampainya Sang Adipati di Boyolali (nama sekarang), Sang Adipati berjalan jauh hingga meninggalkan sang istri yang sedang menggendong anaknya hingga tiba pada suatu saat karena kecapekan di tengah-tengah terik matahari Sang Adipati duduk beristirahat di atas batu besar menunggu istrinya yang ketinggalan. Hal itu membuat Nyi Ageng Kaliwungu marah dan berkata “Karo bojo mbok ojo lali (jangan lupa sama istri). Berdasarkan kejadian itulah, kawasan tersebut dikenal masyarakat sebagai wilayah Boyolali.[14]

            Perjalanan Sang Adipati berlanjut sampai di kawasan Wedi Klaten (nama sekarang), di wilayah ini Sang Adipati memilih untuk menetap dan bekerja sementara sebelum akhrinya melanjutkan perjalanannya sampai di Tembayat. Selama tinggal di Wedi, dua pengikut setia Sang Adipati yakni Syeh Domba dan Syeh Kewel diminta untuk bermeditasi di gunung sampai Sang Adipati kembali melanjutkan perjalannya menuju Tembayat. Di kawasan Wedi Sang Adipati bekerja kepada seorang pengusaha beras bernama Slamet, pada suatu waktu Sang Adipati diminta oleh juragannya untuk mencari beras dan bertemu dengan seorang penjual di jalan yang sedang membawa gerobak ke pasar. Ketika bertemu Sang Adipati bertanya pada seorang penjual beras tersebut karena berniat untuk membeli dagangannya, dalam proses pembicaraan dengan sang penjual tadi dia mengatakan tidak sedang membawa beras namun sedang membawa wedi (pasir). Setelah ditolak oleh sang panjual, Sang Adipati melanjutkan perjalanya untuk mencari beras untuk juragannya. Sedangkan sang penjual tadi sesampainya di pasar manakala sedang membongkar muatanya dia mendapati beras yang dibawanya berubah menjadi wedi (pasir) persis seperti yang dia katakan kepada Sang Adipati. Seketika sang penjual tadi merasa dirinya mendapatkan apa yang telah dia perbuat atas kebongannya itu, dan dari situlah kawasan itu dikenal sebagai nama Wedi.[15]

            Selama di Wedi kejadian unik juga terjadi lagi manakala Sang Adipati membatu istri majikannya yang bernama Nyi Tasik untuk berjualan makanan di pasar. Suatu waktu pada saat berjualan di pasar Nyi Tasik lupa membawa kayu bakar dan memarahi Sang Adipati karena tidak mengingatkannya, di waktu yang sama Sang Adipati menawarkan tangannya untuk dijadikan kayu bakar dan hal itu menjadi bahan tertawaan Nyi Tasik serta masyarakat sekitar yang mellihatnya. Sang Adipati mengabaikan hal itu dan segera meletakkan tangannya di atas tungku hingga seketika api besar keluar dari tangannya seperti api yang membakar kayu. Melihat hal tersebut Nyi Tasik dan masyarakat yang melihatnya menjadi terkesima sehingga membuatnya tergerak untuk mengikuti perjalanan Sang Adipati hingga ke Gunung Jabalkat dan menjadi pengikut setianya.

            Kejutan lainnya dari Sang Adipati adalah sewaktu di Wedi adalah manaka saat menjadi tukang pengisi air wudhu, suatu waktu Sang Adipati melakukan aktivitasnya mengisi air wudhu ia menggunakan keranjang bambu untuk mengisi air dalam pasadan (gentong untuk wudhu). Masyarakat yang melihat hal itu menjadi terheran-heran karena mereka mendapati tidak ada setetes airpun yang keluar melalui sela-sela rajutan bambu yang digunakan Sang Adipati untuk mengisi padasan, namun di dalam padasan terdapat air yang telah terisi.[16] Setelah itu Sang Adipati melanjutkan perjalannya menuju Gunung Jabalkat dan tidak lupa menjemput dua pengawal setianya Syeh Domba dan Syeh Kewel dari meditasinya.

            Selama dalam perjalannya menuju Gunung Jabalkat Sang Adipati mendapati seorang anak yang menangis histeris karena sedang kehausan, mengingat wilayah semenanjung Selatan Pulau Jawa pada waktu itu banyak didapati pegunungan kapur yang tandus. Sang Adipati yang melihat hal tersebut segera membantu sang anak yang sedang kehausan untuk mencarikan air. Upaya mencarikan air tersebut terdapa dua sumber yang mengatakan bahwa, pertama Sang Adipati mencarikan air dengan menghujamkan tongkatnya ke tanah dan yang kedua menggunakan kukunya untuk mencarikan air. Pada akhirnya terjadilah sumber mata air yang digunakan untuk menghilangkan haus dari seorang anak yang sedang menangis dan menghingkan haus pada rombongan dari Sang Adipati. Sumber mata air itu sekarang dikenal sebagai sendang Kucur yang terdapat di dalam hutan angker Kucur tepatnya di Paseban Bayat Klaten.

            Sesampainya di Gunung Jabalkat, Sang Adipati siap untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari Sunan Kalijogo.[17] Di Tembayat Sang Adipati ditugaskan oleh Sunan Kalijogo untuk mengembangkan dakwah Islam, dan oleh Sang Adipati didirikanlah langgar dan pesantren di atas gunung untuk media pendalaman agama dan penyebaran syi’ar keislaman di penjuru Jawa Selatan, langgar dan pesantren yang didirikan oleh Sang Adipadi adalah tempat pendidikan pesantren pertama di Jawa Selatan, sehingga Sang Adipati dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Sunan Tembayat.[18] Jejak dakwah yang dilakukan oleh Sunan Tembayat tidaklah berjalan dengan mulus tanpa ganggungan, salah satu gangguan dari dakwahnya adalah perlawanan dari para mistis Jawa, yang disebutkan bahwa seorang pemimpin Jawa harus memiliki kekuatan sakti dari luar kekuatan, pengetahuan dan wibawanya. Salah satu orang yang mempertanyakan kesaktian dari Sunan Tembayat adalah Prawira Sakti yang juga seorang penganut ilmu kebatinan.

            Suatu waktu Sunan Tembayat mendapat tantangan dari Prawira Sakti untuk menguji kewibawaanya, hal itupun disanggupi oleh Sunan Tembayat. Beberapa tantangan dilakukan oleh Sunan Tembayat, pertama adalah tantangan untuk menangkap merpati yang dilepaskan di udara oleh Prawira Sakti dan Sunan Tembayat bertugas untuk menangkap merpati tersebut. Namun oleh Sang Sunan dilemparkanlah sandal kayunya dengan sekali lempar dan burung merpati tersebut terjatuh. Tantangan kedua adalah menangkap topi yang dilempar oleh Prawira Sakti di langit hingga tak terlihat oleh mata, dan oleh Sang Sunan dilemparkanlah sandal satunya untuk menjatuhkan topi yang terbang di udara. Pada tantangan ketiga Sang Sunan ditantang untuk mencari keberadaan Prawira Sakti yang sedang bersembunyi hingga tidak bisa dilihat oleh mata biasa, namun oleh Sang Sunan dengan mudah dapat menemukan keberadaan dari Prawira Sakti yang sedang bersembunyi di bawah sebongkah batu besar. Setelah satu persatu tantangan dari Prawira Sakti bisa diatasi oleh Sunan Tembayat, giliran Sunan Tembayat memberikan satu tantangan kepada Prawira Sakti untuk mencari keberadaan dari Sang Sunan yang sedang bersembunyi, dan akhirnya Prawira Sakti gagal dalam menemukan keberadaan dari Sang Sunan yang sedang bersembunyi diantara alisnya Prawira Sakti. Masyarakat yang melihat track record dari Sunan Tembayat barulah para mistikus Jawa mengakui akan eksistensi Sunan Tembayat dan hal itu diharapkan mampu untuk mengajak masyarakat di Tembayat untuk memeluk ajaran Islam.[19]

            Seiring berjalannya waktu banyak masyarakat yang memeluk ajaran Islam dan meninggalkan ajaran Hindu, Karena ajaran Islam dianggap lebih demokratis dan tidak mengenal istilah kasta. Banyaknya masyarakat yang memeluk Islam membuat tempat ibadah langgar yang dimiliki oleh Sunan Tembayat menjadi penuh dan tidak mampu menampung daya jamaah sholat yang ingin bergabung. Karena hal itu Sunan Tembayat meminta kepada muridnya untuk membangun lagi langgar yang lebih besar dibanding di puncak Gunung Jabalkat, luasnya langgar tersebut kemudian diubahlah namanya menjadi Masjid Gala yang berarti Ga berasal dari istilah nilai satu sedangkan La yang bermakna nilai 7, jadi masjid itu diwajibkan menjalankan sholat 17 rekaat.[20]

            Bangunan Masjid Gala hanya terdiri dari ruang utama yang berukuran 11,25 m dan lebar 11,25 m, ketika memasuki masjid Galaakan kita dapatipenampilan pintu masuk yang berbentuk persegi dengan ukuran lebar 96 cm dan tingginya 170 cm serta menjorok keluar sepanjang 90 cm. Bagian penampil dilapisi dengan papan kayu jati yang dicat dengan warna plitur coklat serta berhias ukiran sederhana bermotif sulur-suluran. Pada ambang atas terdapat prasasti dengan aksara Arab yang bertuliskan Masjid Gala. Dinding ruang utama dibuat dari pasangan batu bata setebal 35 cm dengan ketinggian 250 cm, kaki dinding pada sisi luar berbentuk seperti profil kaki candi dengan menggunakan bingkai Padma dan susunan pelipit-pelipit berbentuk persegi serta beberapa susunan berbentuk bingkai setengah lingkaran.

            Pada dinding timur terdapat satu pintu yang berukuran lebar 130 cm dan tinggi 201 cm, sedangkan pintu samping berjumlah dua buah dengan masing-masingberukuran lebar 108 cm tinggi 203 cm  berada di Utara dan Selatan. Jendela di ruang utama berjumlah delapan buah dengan setiap sisinya terdapat dua buah jendela, sedangkan atap masjid berbentuk tumpeng yang terdiri dari dua tingkat yang meruncing ke atas dan ditutupi dengan mustaka pada puncaknya. Bangunan masjid Gala ditopang oleh empat tiang sakaguru (tiang utama) dan 12 sakarawa (tiang tambahan) yang juga terbuat dari kayu jati. Sakaguru dilapisi dengan umpak batu berprofil bingkai Padma dan susunan pelipit-pelipit persegi. Masjid Gala dilengkapi dengan ruang Mihrab yang menjorok ke Barat 1,37 m x 1.58 m serta tinggi 178,5 dengan ketebalan 35 m, selain itu juga dilengkapi dengan mimbar masjid, tempat Al-Quran, Beduk, Kentongan dan tempat wudhu.[21] Dilihat daru bahan dan bentuknya masjid Gala tampaknya sederhana, namun sejatinya bangunan masjid tersebut dikenal kokoh terhadap zaman sebelum akhirnya mengalami renovasi-renovasi untuk mempertahankan masjid.

            Di kalangan masyarakat juga masih terdapat sebuah cerita, dimana pada saat mengumandangkan suara adzan di Tembayat suara tersebut dapat didengar jelas sampai di wilayah Kasultanan Demak dan membuat salah satu Wali yang berada di Demak segera minta kepada prajuritnya untuk mengirimkan pesan agar Sang Sunan menurunkan volume suara adzannya. Oleh Sunan Tembayat disaguhilah permintaan tersebut dan menurunkan volume suara adzan masjid.[22] Begitu hebatnya perjalanan dakwah selama kurang lebih 25 tahun dari Sunan Tembayat sebagai pemimpin agama dan penyebar ajaran Islam hingga sampai akhir hayatnya di Tembayat, proses islamisasi di kawasan Tembayat tidaklah mudah mengingat kawasan pedalaman merupakan orang-orang yang terakhir ketika mendapatkan informasi dari dunia luar, sehingga diperlukan usaha dan kesabaran ekstra untuk menyebarkan ajaran Islam yang masih asing pada waktu itu.

[10] Soewignjo, “Kyai Ageng Pandhanarang”. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978). Hlm. 8.

[11] Darusuprapta dkk, “Kekunnaan di Bayat Klaten”. Op. Cit. Hlm. 13.

[12] Ibid. Hlm. 14.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.. Hlm. 55-56.

[18] Moelyono Sastronaryatmo, “Serat Babad Tembayat 2”. (Jakarta: Departement Pendidikan dan Kebudayaan). Hlm. 17.

[19] M. Masyur Amin, “Metode Dakwah Islam dan Beberapa Keputusan Pemerintah tentang Aktivitas Keagamaan”. (Sumbangsih: Yogyakarta, 1980). Hlm. 6-7.

[20] Darusuprapta dkk, “Kekunnaan di Bayat Klaten”. Op. Cit. Hlm. 48.

[21] Panduan Wisata Ziarah Makam Sunan Pandanarang”. (Penerbit-, Kota-, tahun-). Hlm. 165.

[22] Ibid. Hlm. 32.

Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka