Pentingnya Kesehatan Jiwa

Pengertian Kejiwaan. 



Kesehatan jiwa disebut suatu bagian yang tidak terpisah dari kesehatan dan bagian integral serta merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh (Sutejo, 2017). Menurut Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2014, Tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa dapat disebut kondisi dimana seseorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuannya sendiri dan dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa) dikutip dalam (Retno, 2019).

Gangguan jiwa merupakan sindrom pola perilaku yang seseorang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distres) atau hendaya di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikotik, perilaku,biologik, dan gangguan jiwa itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat.Gangguan jiwa merupakan diskripsi sindrom dengan variasi penyebab. Biasanya ditandai dengan penyimpangan yang fundamental, karakteristik dari pikiran dan persepsi, adanya afek yang tidak wajar atau tumpul PPDGJ III 2013 (Yusuf AH, 2015).

World Health Organization (2017) menyebutkan pada umumnya gangguan mental yang sering terjadi adalah gangguan depresi dan gangguan kecemasan. Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi, dan 3,6% menderita gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18% antara tahun 2005 dan 2015. Depresi merupakan penyebab terbesar kecacatan di seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah (World Health Organization, 2017).

(RISKEDAS, 2018) menyebutkan prevalensi (permil) gangguan jiwa berat di Indonesia 1,7% dan gangguan mental emosional 6,0%. Sedangkan menurut Riskesdas (2018) menyebutkan prevalensi (permil) Rumah Tangga dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/psikosis di indonesia terdapat 7,1%, depresi 6,2%, gangguan mental emosional 10,0%, cakupan pengobatan rumah tangga dengan ART gangguan jiwa skizofrenia 52,2%, cakupan pengobatan penderita depresi 9,5%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan yang signifikan prevalensi skizofrenia dari tahun 2013 hingga tahun 2018. Di Jawa Tengah sendiri gangguan jiwa yang mengalami skizofrenia pada tahun 2018 cukup tinggi 10,2% .

Salah satu masalah dalam gangguan jiwa yang dikenal adalah Skizofrenia. Menurut (Agustina, 2017) skizofrenia merupakan kondisi yang mempengaruhi fungsi otak, fungsi kognitif, emosional dan tingkah laku yang terjadi secara umum dengan adanya kehilangan respon emosional dan menarik diri dari orang lain. Biasanya skizofrenia diikuti oleh waham dan halusinasi. Sedangkan skizofrenia dalam penelitian (Siti, 2016) menyebutkan sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme.


Skizofrenia ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi penderita dan keluarga. Penderita skizofrenia akan menimbulkan dua gejala yaitu positif dan negatif. Gejala positif merupakan gejala yang nyata seperti waham, halusinasi, pembicaraan dan tingkah laku yang kacau. Sedangkan gejala negatif merupakan gejala yang samar seperti afek datar, tidak memiliki kemauan dan menarik diri secara sosial atau adanya rasa tidak nyaman dalam bersosialisasi. Untuk itu, intervensi yang komprehensif seperti pengobatan medis dan asuhan keperawatan sangat penting dilakukan pada penderita skizofrenia agar dapat meningkatkan angka kesembuhan penderita skizofrenia (Stuart, 2016).

Skizofrenia berdampak terhadap individu yang bersangkutan. Pasien dengan skizofrenia memiliki beberapa gejala yang dapat menyebabkan disfungsi sosial dan pekerjaan seperti gangguan dalam pekerjaan atau kegiatan, kurangnya hubungan interpersonal, penurunan kemampuan perawatan diri dan juga kematian atau kesakitan (Sari, Sri, Padma., dan Wijayanti, 2014). Individu yang menderita penyakit ini juga memiliki penyakit kedua reaksi lingkungan sosial dan stigma yang terkait dengan beberapa gangguan. Dampak dari stigmatisasi akan menyebabkan pasien skizofrenia mengalami isolasi sosial, kurangnya kesempatan hidup seperti pekerjaan dan juga diskriminasi sosial. Kesemuanya dapat mengurangi kualitas hidup dari pasien skizofrenia (Horrison dan Gill, 2010) dalam(Sari, Sri, Padma., dan Wijayanti, 2014).

Penatalaksaan pada klien skizofrenia dengan halusinasi yaitu dengan memberikan strategi pelaksanaan (SP), terapi obat-obatan, dan tindakannya lainnya seperti terapi kejang listrik dan terapi aktivitas kelompok pada klien. Strategi Pelaksanaan (SP) yang diberikan yaitu : SP 1 dengan membantu klien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, SP 2 dengan melatih klien dengan menggunakan obat secara teratur, SP 3 melatih klien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, SP 4 melatih klien mengontrol halusinasi dengan aktivitas terjadwal (Muhith, 2015).

Riset Stuart & Laraia dalam (Yosep, H. I., dan Sutini, 2016) melaporkan 70% klien skizofrenia mengalami halusinasi. Halusinasi adalah salah satu tanda gejala dari skizofrenia positif. Ada 5 jenis halusinasi yang terjadi pada pasien skizofrenia yaitu halusinasi pendengaran, halusinasi perabaan, halusinasi pengecapan, halusinasi penghidu, halusinasi penglihatan (Dermawan,R., 2013).  Sedangkan Keliat & Akemat (2014) menyebutkan halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, dan penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada. Salah satu jenis halusinasi adalah halusinasi pendengaran. Halusinasi pendengaran lisan Auditory Verbal (HAV) merupakan suara-suara yang dirasakan tanpa ada stimulus eksternal. Prevalensi tertinggi fenomena ini adalah pada pasien yang didiagnosa dengan skizofrenia yaitu 70%-80%. Dimana cenderung dapat menyebabkan perilaku destruktif, seperti bunuh diri dan pembunuhan (Dellazizzo et al, 2018) dalam (Zainuddin dan Hashari, 2019) .

Stuart & Laira dalam(Yosep, H. I., dan Sutini, 2016) juga menyatakan bahwa pasien dengan diagnosis medis skizofrenia sebanyak 20% mengalami halusinasi pendengaran dan penglihatan secara bersamaan, 70% mengalami halusinasi pendengaran, 20% mengalami halusinasi penglihatan, dan 10 % mengalami halusinasi lainnya.

Penyebab halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu dimensi fisik, dimensi emosional, dimensi intelektual, dimensi sosial, dimensi spiritual. Dimensi fisik dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik, seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga dilirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. Dimensi emosional disebabkan karena perasaan cemas yang berlebihan atas dasar masalah yang tidak dapat diatasi. Dimensi intelektual, halusinasi disebabkan karena adanya penurunan fungsi ego. Dimensi sosial, halusinasi disebabkan karena klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Dimensi spiritual, disebabakan karena klien sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk (Trimelia, 2011).

Akibat dari gangguan persepsi sensori halusinasi dengan tanda dana gejala yang tidak terkontrol seperti wajah tegang ketakutan, mondar – mandir, mata melotot rahang mengatup, tangan mengepal, keluar keringat banyak, dan mata merah seseorang dapat melakukan sesuatu yang sangat berbahaya bagi fisik baik pada diri sendiri maupun orang lain yang dapat beresiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Bahkan akan terjadi ancaman bunuh diri. Akibat dari halusinasi tidak cepat ditangani dapat merubah perilaku klien menjadi perilaku kekerasan (Kartika Sari Wijayaningsih, 2015). Hasil penelitian (Rabba, E.P ; Dharianis; Rauf, 2014) halusinasi dapat bersifat menaklukan halusinasi menjadi lebih rumit dan klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya sehingga sensorinya menjadi terganggu, halusinasi berubah menjadi mengancam, memerintah, memarahi, dan menakutkan apabila tidak mengikuti perintahnya sehingga klien mulai terasa mengancam.

Sedangkan (Retno, 2013) menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya. Dimana pasien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Dalam situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Akibat lain dari halusinasi adalah resiko perlikau kekerasan. Ini disebabkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya. Klien terkadang mendengar suara atau kegaduhan, suara yang mengajak bercakap-cakap, suara yang menyuruhnya melakukan sesuatu yang berbahaya. Untuk mencegah dampak yang dapat terjadi pada klien yang mengalami halusinasi, diperlukan strategi yang dilakukan (Prabowo, 2014). Dalam penelitian (Utami, R & Rahayu, 2018) menjelaskan dampak halusinasi pendengaran bahwa klien dapat mengalami ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau mengenali kenyataan yang mengganggu pada kehidupan sehari-hari klien. Klien dengan skizofrenia halusinasi biasanya menjadi berperilaku kekanak-kanakan, berlebihan (waham) dan halusinasi yang berkepanjangan.

Penatalaksanaan dalam halusinasi dapat berupa tindakan keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi klien mampu mengontrol halusinasinya. Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga, dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi, diprioritaskanb untuk dipenuhi, serta diselesaikan dengan menggunakan proses keperawatan. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, skill dan saling bergantung. Dalam tahap awal proses keperawatan dimana peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada akhir proses diharapkan peran klien lebih besar dari pada perawat sehingga mandiri (Keliat, B.A., 2010).

(Sutinah, 2016) menjelaskan pemberian asuhan keperawatan adalah proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, keluarga, dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut, yaitu proses keperawatan membantu perawat dalam melakukan praktik keperawatan, menyelesaikan masalah keperawatan klien atau memenuhi kebutuhan klien. Proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah, proses keperawatan bertujuan memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal.

(Agustina, 2017) mengatakan adapun peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa diantaranya, preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif. Upaya preventif yaitu dengan mencegah perilaku yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain. Upaya promotif yaitu memberikan pendidikan kesehatan bagi keluarga tentang merawat klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi. Upaya kuratif, kolaborasi dengan tim kesehatan untuk memberikan pengobatan, dan upaya rehabilitatif yaitu memberikan kegiatan sehari-hari dan dapat kembali menjadi kehidupan normal. Berdasarkan hasil variabel penelitian didapatkan data bahwa tingkat pengetahuan klien dalam melakukan cara mengontrol yang kurang baik sebanyak 21 orang dari 50 (42%), dan tingkat pengetahuan klien dalam melakukan cara mengontrol yang baik sebanyak 29 orang dari 50 (58%).

Keluarga memiliki peran dan tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan yang meliputi mengenal masalah kesehatan, memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga, memberikan perawatan terhadap keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga, menggunakan pelayanan kesehatan. Hal yang bisa dilakukan keluarga dalam membantu anggota keluarga yang mengalami halusinasi adalah dengan ikut berperan serta membantu klien untuk bisa mengontrol halusinasi dan hal ini yang membuat keluarga juga perlu untuk mengetahui dan memahami dengan benar strategi pelaksanaan (SP) halusinasi, dan untuk bisa membantu meningkatkan peran keluarga tersebut, peran perawat juga diperlukan, salah satunya adalah memberikan health education atau intervensi strategi pelaksanaan keluarga yang benar yang bisa dilakukan oleh keluarga dirumah (Susilawati., dan Fredrika, 2019).

(Sulahyuningsih, 2016) bahwa terapi religius efektif untuk meningktkan kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran. Dengan dzikir hati seseorang lebih tentram,kegiatan terapi religius dzikir dapat menurunkan gejala psikiatrik. Religius mampu mencegah melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderita, meningkatkan proses adaptasi, mengontrol suara-suara yang tidak ada wujud seperi halusinasi pendengaran. Dalam jurnal penelitian (Deden Dermawan, 2017) menyebutkan perkembangan 8 responden setelah diberikan tindakan selama 2 minggu dalam tindakan keperawatan dari 8 responden sebanyak 5 responden mengatakan halusinasi berkurang setelah melakukan dzikir dan 3 responden lainnya tidak mengalami perubahan.

(Wijaya, 2018) memaparkan bahwa penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pada partisipan 2 lebih baik dibandingkan dengan partisipan 1. Pada partisipan 2 mengalami peningkatan kemampuan dan penurunan tanda dan gejala pada hari keempat dan mampu mencapai strategi pelaksanaan keperawatan bercaka-cakap mengatasi halusinasi dan verbal mengatasi resiko perilaku kekerasan, sedangkan partisipan 1 mengalami peningkatan  kemampuan serta penurunan tanda dan gejala pada hari keenam penelitian dan baru mencapai SP2 mengenal 6 cara benar minum obat.

Karya tulis (Noviyah, 2019) menyebutkan bahwa proses keperawatan yang dilakukan perawat di RSJD Dr. RM Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dalam memberikan proses keperawatan pada klien teruatama dengan halusinasi meliputi : melakukan hubungan saling percaya dengan klien, membantu klien mengenal halusinasi, membantu mengontrol halusinasi dengan melakukan SP ke klien dan memberikan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK), memberikan kegiatan pada klien di rebahilitas agar klien mampu bersosialisasi dan mengenal lingkungan luar, perawat juga mengajarkan cara mengontrol halusinasi dengan cara religi, yaitu dengan cara membantu meyakinkan klien bahwa semua penyakit itu datanganya dari Allah dan menyuruh klien untuk selalu berdo’a untuk kesembuhan klien.

Hasil studi pendahuluan (Anisah, 2019) didapatkan data bahwa jumlah klien dengan gangguan jiwa di RSJD Dr. RM Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah pada awal bulan januari sampai akhir bulan desember 2018 terdapat 1.875 klien yang menjalani rawat inap ruang Geranium, Helikonia, Dewandaru, Flamboyan. Dari jumlah 1.875 klien ada 1.582 halusinasi, 197 perilaku kekerasan, 46 isolasi sosial, 23 defisit perawatan diri, 19 waham, 4 resiko bunuh diri, dan 4 dengan masalah lain-lain. Dari hasil data yang diambil tersebut, klien gangguan jiwa terbanyak adalah halusinasi.

Dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan studi kasus (case study) Asuhan Keperawatan Pada Klien Skizofrenia dengan Masalah Keperawatan Halusinasi Pendengaran di RSJD Dr. RM Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka