Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB III Part 2).
BAB III Part II.
JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN.
Gambar 4.2 Rute perjalanan ekspansi ke Kasunanan
Surakarta.
Sumber : Web resmi Kabupaten Klaten.[1]
Rute
perjalanan pasukan tempur laskar Diponegoro dalam melakukan konfrontasinya di
wilayah Kasunanan Surakarta adalah menggunakan rute jalan Barat Klaten
(Kejiwan, Prambanan), kemudia melanjutkan perjalanannya melalui rute Utara
Klaten ( Kepurun, Puluhwatu, Jatinom, Delanggu) hingga perjalanan berhasil sampai
ke dekat pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta seperti wilayah sampai di
Pajang, Kartasura, Baki dan Gawok. Pengambilan rute tersebut dikarenakan
wilayah-wilayah Barat Klaten dan Utara Klaten sangat mencukupi untuk kebutuhan
perang, karena melimpahnya sumber mata air seperti di kawasan Prambanan,
Polanharjo dan sekitarnya, buah-buahan yang melimpah seperti Durian yang sampai
sekarang masih ada di kawasan Jatinom dan sekitarnya. Rute tersebut berbanding
terbalik bila melalui rute perjalanan di Selatan Klaten, karena wilayah Selatan
Klaten lebih sedikit air dan makanan sehingga tidak cocok untuk dijadikan rute
perjalanan perang mengingat kontur tanah yang didominasi oleh bukit-bukit
kapur.
Selang
dua bula pasca keberhasilan merebut wilayah penting di Yogyakarta, tepatnya
pada tanggal 9 Agustus 1826 pasukan aliansi Belanda melakukan kegiatan ekspedisi
di kawasan Kejiwan. Ekspedisi tersebut melibatkan sejumlah 100 orang infanteri
(70 orang pasukan Eropa), 200 orang infanteri Lagiun Mangkunegaran, 50
orang penombak Madura, beberapa sesepuh dari Kadipaten Mangkunegaran beserta
pengikutnya yang dilengkapi dengan meriam Tweeponder dan dua mortir
tangan serta 40 orang pasukan Jayeng Sekar.[2] Hal itu dilakukan karena,
bertujuan untuk memperkuat penjagaan di wilayah Kejiwan dan menghadang lajunya
pasukan tempur laskar Diponegoro yang sedang bergerak menuju wilayah Timur
Kasunanan Surakarta.[3]
Selama
ekspedisi tersebut, terjadi penyerangan besar-besaran oleh pasukan
tempur laskar Diponegoro untuk menguasai kawasan Kejiwan, Kalasan dan Prambanan
dari penguasaan tangan pasukan aliansi Belanda. Selama insiden itu, pasukan
tempur laskar Diponegoro berhasil mengalahkan pasukan aliansi Belanda dan
dengan mudah memasuki kawasan Kejiwan, Kalasan dan Prambanan pasca merebutnya
dari tangan pasukan aliansi Belanda.[4] Pertempuran tersebut
termuat dalam Babad Diponegorro versi UNESCO :
Pupuh XXV (Pangkur).[5]
....................
229. Prajurit di Prambanan
dan Bupati sebelah Timur Yogyakarta, akan aku beri bantuan Sumadiningrat,
Jawinata dan Raja Niti, sudahlah anakku kau berangkatlah dahulu,
berhati-hatilah.
....................
237. Bersama prajuritnya, Ki
Urwa berkata, “Baik.” Segera membunyikan pertanda perang yang sangat ramai,
semua sudah berangkat dari Sambirata dan sudah sampai di Kejiwan, Prajurit di
Kejiwan.
238. Setelah melihat, disangka
Kanjeng Sultan segera berlari kalang kabut, praurit Mangkunegaran kapok, lalu
dikerjarnya, Kejiwan sudah dikuasai.
239. Oleh Adipati Urwan dan
prajuritnya melapor kepada Pangeran Ngabei sudah disampaikan kepada Sang Raja.
Pangeran Natapraja yang bersiaga di Prambanan bersama semua Adipati.
....................
253. Pangeran Natapraja bersama
prajuritnya ke Prambanan, pagi harinya Kanjeng Sultan sudah berangkat bersama
prajuritnya dari Sambirata menuju Kejiwan, sudah sampai lalu berkemah di Desa
Kuwanen.
....................
255. Laknat kafir dan murtad
menyusul Kanjeng Sultan yang sudah sampai di Kejiwan, saat pasukan kafir sampai
di Kejiwan bersamaan dengan waktu salat, Kanjeng Sultan sedang menjalankan
ibadah salat bersama semua prajurit, pada saat itulah langsung diserang dengan
meriam.
....................
Setelah
berhasil menguasai wilayah Kejiwan dan Kalasan, wilayah Klaten dianggap sebagai
kawasan yang darurat karena telah dikepung oleh pasukan laskar Diponegoro.[6]
Pengepungan tersebut dimulai dari sisi Barat (Kejiwan, Kalasan, Prambanan dan
Kepurun) yang telah berhasil dikuasai oleh pasukan tempur laskar Diponegoro dan
di sisi Utara Klaten (kawasan Kedaren, Jatinom, Puluhwatu dan Gesian) yang
telah didekati oleh pasukan laskar Diponegoro.[7]
Berdasarkan
situasi tersebut, posisi pasukan aliansi Belanda dianggap telah jatuh kedalam
posisi yang tidak menguntungkan dan justru membuatnya menjadi terhimpit.
Mengingat situasi itu, pasukan aliansi Belanda memutuskan untuk melakukan
tindakan pemusatan perlawanan dan pertahannya di wilayah Delanggu, sehingga hal
itu diharapkan mampu menahan pasukan tempur laskar Diponegoro yang akan
melakukan perluasan wilayah di Kasunanan Surakarta.[8] Situasi tersebut termuat
dalam Babad Diponegorro versi UNESCO :
Pupuh XXVII (Pucung).[9]
....................
69. Kepada Ki Hasan Besari, “Di
sini apa sudah dikuasai prajurit Pajang semua dan berapa yang menjadi
prajuritmu?
70. Yang kauimpikan sendiri
berapa jumlahnya?” Hasan Besari menjawab, “Kira-kira seribu prajurit, dan
Pajang sudah saya kuasia semua.
71. Di sebelah Barat jalan
prajurit semua, Jatinom menjadi batasnya, di sebelah Utara pulau kerabat raja,
sebelah Timur yakni Pangeran Natapraja.
72. Sudah dikuasai semua,
Sinuhun. “Sang Raja berkata kepada Pangeran Ngabehi, “Paman Ngabehi, Hasan
Besari itu.
....................
Pada
tanggal 24 Agustus 1826 tepatnya pada pukul 06.00 pagi, pasukan aliansi Belanda
telah memasuki kawasan Delanggu dan Kalitan (dekat wilayah Kartasura).[10] Pasukan aliansi Belanda
yang dihadiri oleh Mayor Soellewijin, Mayor Jendral Van Geeen, Kolonel Cochius
dan Gubernur Jendral De Kock telah bersiap untuk mengatur strategi baru dalam
mempertahankan kawasan Delanggu dari berbagai serangan-serangan pasukan laskar
Diponegoro. Di Delanggu, sudah ada Gusti Kanjeng Senopati Pangeran Hangabehi
(saudara PB IV), R.T Senopati
Saswawinata, Kolonel Salweng dan pasukan lainnya yang dilengkapi dengan 6
meriam.[11]
Kawasan
Delanggu, dianggap sebagai kawasan yang sangat strategis dan tepat untuk
dijadikan sebagai medan penahanan lajunya pergerakan pasukan tempur laskar
Diponegoro supaya tidak masuk ke lebih dalam di wilayah Kasunanan Surakarta.
Situasi tersebut termuat dalam
Babad Diponegorro versi UNESCO :
Pupuh XXVI (Megatruh).[12]
....................
28. Jendral De Kock dan van
Geen sudah di Solo, Yogyakarta sudah sepi, kafir murtad berkumpul semua di Solo
dengan prajurit yang sudah dibagi tiga.
29. Singasari di Lunge dan
Delanggu tidak berani maju lagi ke Kuwanen sangat kapok, prajurit Pajang datang
semua.
....................
35. lalu diperintahkan
menyerang ke Singosari, berangkat dari Lunge naik ke Singosari, prajurit di
Singosari dipimpin oleh orang Inggris.
....................
37. Semua berlarian, tanpa
menghitung duniawi, hanya tinggal enam meriam, semua berkumpul menjadi satu ke
Delanggu bersedia perang mati-matian.
38. Semua putra kerabat
Kerajaan Surakarta, prajurit dan Bupati Belanda sudah berkumpul di Delanggu bersiaga untuk menghadapi
pertempuran.
....................
53. Lalu berangkatlah Basah
Abdullatif dan prajuritnya dari Kuwanen menuju ke Prambanan, sudah sampai di
Prambanan dan bertemu degan Pangeran Natapraja, lalu diperintah perang.
[1] pemda klatenAktif (Diakses pada tanggal 29 Mei 2021 pukul 13.
59 WIB). Rute perjalanan di rancang oleh penulis berdasarkan beberapa sumber
yang telah dimuat dalam Babad Diponegoro Versi UNESCO, Strategi Menjinakkan
Diponegoro, Legiun Mangkunegaran, Kuasa Ramalan, Babad Mangkunegara II dan
sumber-sumber lainnya.
[4] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro”. Lihat: Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942)”.
[7] Carey Peter, “Kuasa Ramalan”. Op. Cit. Hal. 744. Lihat: Santosa Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942)”.
[8] M. Husodo Dan Suroso, Buku Babad KGPAA. Mangkunegaran II. “Rekso Pustoko Mangkunegaran Surakarta”.
nice kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeleteThngks Kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeleteKeren Kak
ReplyDeleteNice kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDelete