Asal Usul Kabupaten Klaten
Klaten
A.
Peradaban
Di Kabupaten Klaten Lintas Waktu.
Kabupaten Klaten awalnya merupakan sebuah Kota yang menjadi bagian dari Daerah
Istimewa Surakarta sebelum akhirnya dileburkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa
Tengah pada tanggal 5 Juli 1950. Peleburan tersebut terjadi manakala terjadi
revolusi sosial di Surakarta pada tahun 1946 yang promotori oleh Tan Malaka dan
berhasil mendesak kaum Pangreh Praja Kasunanan Surakarta dan Kadipaten
Mangkunegaran untuk melepaskan status daerah keistimewaanya ke pemerintah
pusat.[1] Pemerintah pusat dalam
mengatasi fenomena gejolak gerakan sosial di Surakarta tersebut segera
mengambil tindakan dengan mengeluarkan sebuah maklumat dari Presiden Sukarno
yang tertuang dalam peraturan presiden (perpres) tanggal 15 Juli PP No.
16/SD/1946 yang menyatakan bahwa wilayah eks Daerah Istimewa Surakarta secara
resmi dibekukan.[2]
“Daerah Kasoenanan dan Mangkunegaran oentoek sementara waktoe dipandang
meroepakan karesidenan sebeloem soesoenan pemerintahanja ditetapkan
Oendang-Oendang”.[3]
Secara geografis wilayah
Kabupaten Klaten berbatasan langsung dengan beberapa wilayah besar di
sekitarnya, yakni di sebelah Barat dan Selatan Kabupaten Klaten berbatasan
langsung dengan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan di sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Boyolali. Kabupaten Klaten terletak dalam titik koordinat 110°30´-110°45´
bujur Timur dan 7°30´-7°45´ lintang Selatan yang memiliki luas wilayah mencapai 665,56 km².
Topografi Kabupaten Klaten terbagi atas tiga wilayah
yakni dataran rendah, gunung Merapi dan pegunungan Seribu yang berdiri
diatas ketinggian berbeda-beda, seperti
9,72% terletak di dataran rendah dengan ketinggian 0-100 meter dari permukaan
air laut yang meliputi wilayah Klaten Tengah, Kalikotes, Klaten Utara, Klaten
Selatan, Delanggu, Trucuk, Ceper
dan kawasan lainnya. 77,52% terletak di dataran sedang dengan ketinggian
100-500 meter dari permukaan air laut yang meliputi wilayah Bayat, Cawas, Gantiwarno. 12,76% terletak di dataran tinggi dengan ketinggian
500-1000 meter dari permukaan air laut yang meliputi wilayah Karangnongko, Kemalang,
Manisrenggo.[4]
Klaten yang menjadi bagian dari luasnya tanah Jawa
126.700 km² (48.919,1 mil²) merupakan salah satu wilayah yang penting bagi
kehidupan dan perkembangan peradaban dari zaman ke zaman.[5]
Pada mulanya wilayah Klaten sama dengan wilayah Jawa lainnya yang masih sangat
banyak ditumbuhi oleh hutan-hutan besar, berawa-rawa dan gunung-gunung sehingga
sangat mendukung sekali untuk membangun peradaban sosial masyarakat.[6]
Peradaban di Klaten sejak awal sangat dipengaruhi oleh keyakinan Hindu-Budha
yang telah melebur dengan keyakinan masyarakat pada waktu itu yang masih
bersifat animisme-dinamisme sehingga terjadilah sebuah akulturasi keyaninan dan
kebudayaan yang baru.[7]
Pada
abad ke-9 peradaban di wilayah Klaten mulai menemui masa-masa puncak
peradabannya pada masa kekuasaan Rakai Pikatan yang menjabat sebagai raja
Medang Kamulan (Mataram Kuno) selama periode tahun 833-856.[8] Pada fase ini wilayah
Klaten mulai banyak mengembangankan peradaban-peradabannya melalui
peninggalan-peninggalan mercusuar yang berupa prasasti, arca, candi-candi
(candi Plaosan yang telah dibuat sejak tahun 840-856 dan candi Prambanan pada
tahun 850).[9]
Keberadaan candi-candi dan prasasti yang ada di wilayah Klaten tersebut bisa
menjadi bukti bahwa Klaten pada abad ke-9 merupakan salah satu wilayah yang
sangat besar peradabannya terutama berperan penting dalam menyokong Kerajaan
Medang Kamulan di bidang sumber daya manusia dan sumber daya alam.[10]
Pasca kekuasaan Rakai
Pikatan, pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi wilayah Klaten mulai di pandang
penting bagi pihak kerajaan sebagai bagian dari kawasan penyokong ekonomi
negara, hal itu dibuktikan dengan pemberian tanah perdikan (bebas pajak)
oleh Rakai Kayuwangi kepada masyrakat di Desa Upit yang berupa prasasti Upit.
Pada abad ke-9
peradaban di wilayah Klaten mulai menemui masa-masa puncak peradabannya pada
masa kekuasaan Rakai Pikatan yang menjabat sebagai raja Medang Kamulan (Mataram
Kuno) selama periode tahun 833-856.[11] Pada fase ini wilayah
Klaten mulai banyak mengembangankan peradaban-peradabannya melalui
peninggalan-peninggalan mercusuar yang berupa prasasti, arca, candi-candi
(candi Plaosan yang telah dibuat sejak tahun 840-856 dan candi Prambanan pada
tahun 850).[12]
Keberadaan candi-candi dan prasasti yang ada di wilayah Klaten tersebut bisa
menjadi bukti bahwa Klaten pada abad ke-9 merupakan salah satu wilayah yang
sangat besar peradabannya terutama berperan penting dalam menyokong Kerajaan
Medang Kamulan di bidang sumber daya manusia dan sumber daya alam.[13]
Pada
tahun 1478 pengaruh Hindu-Budha dalam konstelasi sosial masyarakat di Tanah
Jawa mulai mengalami kemerosotan pengaruh pada saat konlik antara Majapahit
dengan Kasultanan Demak Bintoro.[14] Kekalahan Majapahit
dalam perang Sudarma Wisuta membuat banyak masyarakat Jawa pada abad
ke-16 berbondong-bondong memeluk Islam dan hal itu juga didukung dengan prinsip
agama agenging aji (agama rakyat adalah agama rajanya) yang telah lama
dipegang oleh masyarakat Jawa sehingga pada masa Kasultanan Demak Bintoro Islam
telah menjadi sebuah agama yang diakui secara de facto dan de jure
dalam kehidupan kerajaan.[15]
Kedatangan
Islam di tanah Jawa sangat mempengaruhi kultur tatanan kehidupan bermasyarakat
pada waktu itu, hal ini terlihat jelas bahwa tradisi-tradisi atau keyakinan
yang bernuansa Hindu-Budha mulai mengalami proses akulturasi dengan Islam dan
akhirnya melahirkan sebuah kebudayaan baru.[16] Selama proses akulturasi
kebudayaan tersebut para Wali Songo mencoba merangkul masyarakat melalaui
pendekatan secara kultural dan emosional sehingga dalam membangun sebuah
pemahaman keyakinan bisa saling terkonsolidasi antara keyakinan dengan
pengamalan.[17]
Proses
Islamisasi di wilayah Klaten sangat dipengaruhi oleh seorang mantan bangsawan
dari Semarang yakni Sunan Pandhanarang (Sunan Tembayat) yang telah masuk Islam
setelah mendapatkan bimbingan dari Sunan Kalijaga sewaktu masih menjabat
sebagai seorang Bupati di pesisir Utara pulau Jawa (Semarang). Sejak awal hidupnya
Sunan Pandhanarang merupakan seorang yang pencinta harta, namun setelah masuk
Islam Sunan Pandanarang justru memilih untuk melepaskan semua jabatan dan
hartanya untuk ikut dengan gurunya Sunan Kalijaga dalam menyebarkan syiar
dakwah keislaman di Pedalaman Jawa Selatan (Bayat Klaten) melalui metode
pendekatan sufistik.[18] Sunan Pandhanarang dalam
mengkonsolidasi dakwahnya mencoba merangkul masyarakat Klaten melalui media
budaya dan pendidikan pesantren sehingga terjadi jalinan komunikasi keislaman
dengan baik dan bisa diterima oleh masyarakat pedalaman Jawa Selatan (Klaten).[19]
Istilah
nama Klaten sendiri pertamakali dikenal bersumber dari cerita masyarakat dan
Serat Narpawadawa 1919: 1921 yang mengisahkan salah seorang tokoh abdi dalem
Keraton Mataram Kartasura bernama Kiai dan Nyai Melati yang hidup sekitar ± 275 tahun yang lalu atau
sekitar abad ke-18 (1726-1788M).[20]
Nama
aslinya Kiai dan Nyai Melati sendiri masih belum diketahui secara pasti dan
terjadi kontradiktif atas sumber data yang ada, namun istilah nama melati
sendiri sejauh ini tersematkan pada kedua tokoh tersebut karena profesinya
yang bertugas sebagai pengelola lahan perkebunan bunga melati,
sementara itu sematan gelar Kiai dan Nyai sendiri diberikan karena masyarakat
setempat menganggap beliau adalah seorang yang memiliki sebuah
kesaktian dan mempunyai
watak yang berbudi
luhur.[21]
Kawasan
melati yang merupakan tanah perdikan (bebas pajak) memiliki luas lahan
perkebunan yang diperkirakan mencakup kawasan Desa Tegal Anom, Sekolekan,
Ngepos, dan Sidowayah. Pemberian tanah perdikan dari Sri Susuhunan
Pakubuwana II dijadikan sebagai kawasan budidaya ladang pertanian bunga melati
untuk keperluan ritual kagamaan
serta kebudayaan di
Keraton Mataram Kartasura. Selain bertugas untuk mengelola budidaya bunga
melati, Kiai dan Nyai Melati juga bertugas untuk menyiapkan bahan-bahan
kebutuhan pangan untuk keraton dan beberapa bahan kebutuhan sebagai alat
kecantikan seperti buah Joho (penghitam gigi) yang digunakan sebagai penunjang
kebutuhan wanita-wanita di keputren.[22]
Berkat
kepopuleran serta kebesaran dari nama Kiai dan Nyai Melati tersebut secara
tidak langsung mendorong masyarakat luas untuk mengenali kawasan tersebut
(perkebunan bunga melati) sebagai istilah Melati (kawasan melati). Istilah
Klaten sendiri mulai muncul setelah terjadi proses kondensasi dari perubahan
istilah nama Melati sampai menjadi kata Klaten. Proses kondensasi tersebut
terjadi karena karakter masyarakat Jawa pada waktu itu suka menggunakan istilah
bahasa yang mudah diucapkan sehingga istilah Melati seiring berjalannya waktu
mengalami disimilasi verbal sampai terbentuklah sebutan sebutan baru bernama
Klaten. Hal tersebut juga diperkuat dengan pendapatnya Mbah Bowo selaku juru
kunci makam Kiai dan Nyai Melati :
“ Istilahe Melati dewe ki seng meperkenalke yo Kiai lan Nyai Melati mas,
dadi nggeh wong yen nyeluk Mlati terus digetoktulerke akhire wong-wong kenale
dadi jeneng Klaten. Dadi prosese ono Melati, Mlati, Klathi, Klathen terus seng
terakhir ki dadine Klaten “.[23]
B.
Kabuaten
Klaten Tanah Sengketa.
Keraton
Mataram adalah kerajaan Islam terakhir di tanah Jawa yang berdiri pada abad
ke-15 (1586) oleh Panembahan Senopati (Sutawijaya) sebelum akhirnya terpecah
menjadi dua kerajaan besar di Tanah Jawa.[24] Ekistensi Keraton Mataram Islam mulai
mengalami fase kemunduran pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana II
pada waktu pusat pemerintahan Mataram dipindahkan di Surakarta pada tahun 1746,
meredupnya eksistensi Keraton Mataram
Islam tersebut terjadi manakala lahirnya perjanjian Giyanti di Karanganyar pada
tahun 1755 yang membagi wilayah eks Mataram menjadi dua kerajaan besar yakni
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.[25]
Lahirnya
perjanjian Giyanti tersebut dilatarbelakangi oleh adanya gesekan antara adiknya
Sri Susuhunan Pakubuwana II (Pangeran Mangkubumi) dengan Patih Pringgalaya yang
telah melanggar perjanjian setelah Pangeran Mangkubumi berhasil mengalahkan
kaum Pecinan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi dan Raden Mas Said dari bumi
Sukowati.[26]
Pangeran Mangkubumi yang merasa dikhianati oleh pihak Keraton Kasunanan
Surakarta atas batalnya pemberian tanah seluas 3000 cacah dengan alasan
keamanan, hukum dan kecemburuan sosial membuatnya menjadi sangat marah.[27]
Di sisi lain Pangeran Mangkubumi juga melihat harmonisnya hubungan antara
Keraton Kasunanan Surakarta dengan VOC atas penyerahan tanah di wilayah pesisir
Utara pulau Jawa kepada VOC untuk dikelola membuat Pangeran Mangkubumi
memutuskan untuk melakukan gerakan suksesi III melawan VOC dan Keraton Kasunanan
Surakarta.[28]
Perang
Suksesi III membutuhkan waktu kurang lebih sembilan tahun sebelum akhirnya pada
masa kekuasaan Sri Susuhunan Pakubuwana III melakukan rekonsiliasi dengan
Pangeran Mangkubumi melalui perundingan di Giyanti Karanganyar pada tahun 1755,
dalam perundingan tersebut dihadiri dari kedua pihak perwakilan Pakubuwana III,
Pangeran Mangkubumi dan ditengahi oleh VOC. Hasil akhir dari perundingan
tersebut adalah lahirnya perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Kasunanan Surakarta menjadi dua kerajaan besar di tanah Jawa yakni Kasunanan Surakarta (33.350 cacah) dan Kasultanan Yogyakarta (33.950 cacah).[29]
Lahirnya
dua kerajaan Jawa di Surakarta dan Yogyakarta bukanlah akhir dari rentetan
konflik yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, melainkan sebuah awal konflik
baru yang lebih fundamental karena berdampak langsung terhadap kehidupan
masyarakat luas khususnya yang hidup di bawah tanah sengketa anatar dua
kerajaan Jawa.[30]
Perselisihan tapal batas wilayah antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta menjadi isu panas yang tak kunjung terselesaikan semenjak lahirnya
perjanjian Giyanti di Karanganyar. Hal itu terjadi karena sejak awal
tanah-tanah yang subur dan yang gersang di tiap-tiap wilayah dibagi menjadi dua
sehingga menimbulkan ketidak jelasan batasan-batasan antar dua kerajaan,
berbeda dari Raden Mas Said (Kadipaten Mangkunegaran) dan Pangeran Diponegoro
(Tegalrejo) yang sangat konsen memberikan perhatian khusus terhadap posisi
tanah perbatasan yang mereka kuasai sehingga tidak melahirkan sebuah konflik
baru dalam mengelola sebuah kebijakan kepada masyarakatnya.
Pangeran
Diponegoro memandang konflik di wilayah perbatasan antara Surakarta dan
Yogyakarta ini adalah sebuah pertanggungjawaban Belanda atas apa yang telah
mereka lakukan ketika mengukuhkan perjanjian Giyanti tahun 1755.[31]
Pernyataan Diponegoro tentang kasus sengketa tanah di wilayah perbatasan
tersebut kemudian ditepis oleh pihak Belanda, menurutnya dibeberapa sumber
laporan yang ada mengatakan bahwa pembagian tanah pada waktu perjanjian Giyanti
merupakan tuntutan dari pangeran Mangkubumi kepada VOC dengan alasan supaya
terjadi sebuah pembagian wilayah yang benar-benar adil baik di kawasan-kawasan
yang subur maupun yang tidak subur, sehingga dengan begitu terciptalah sebuah
keadilan yang merata dan untuk menghindari pemicu konflik di waktu yang akan
datang.[32]
Alasan
apapun yang melatarbelakangi terciptanya sebuah pembagian wilayah yang
terbelencah-belencah pada waktu perjanjian Giyanti nyatanya justru malah
menimbulkan konflik agraria dan sosial yang berdampak panjang terhadap
kehidupan sosial masyarakat khususnya yang hidup di wilayah tanah perbatasan.[33]
Dampak dari adanya sengketa tanah di wilayah perbatasan adalah lahirnya ketidak jelasan letak wilayah,
perbatasan wilayah, ketidak jelasan keberlakuan hukum yang mengatur wilayah,
pembagian sistem pengairan di setiap lahan pertanian, pertanahan, perkebunan
dan ketidak jelasan jumlah takaran pajak serta aturan-aturan lainnya yang
dibebankan kepada masyarakat di wilayah perbatasan.
Pada
masa pemerintahan Pakubuwana IV konflik di tanah perbatasan wilayah mulai
menemui titik terang dimana sebelumnya usaha rekonsoliasi yang dilakukan
Danurejo I dalam upaya penyelesaian konflik di wilayah perbatasan masih
terkendala birokrasi Kasunanan Surakarta karena besarnya pengaruh patih
Pringgalaya.[34]
Di bawah Patih K.R.A Mangkupraja berusaha menormalisasikan hubungan dengan
pihak Kasultanan Yogyakarta melalui Danurejo II (Raden Tumenggung Mertonegoro)
dengan tujuan untuk menciptakan sebuah perdamaian melalui penentuan
batasan-batasan wilayah, kerjasama dengan disaksikan oleh Belanda.[35]
Upaya rekonsoliasi yang dilakukan kedua kerajaan Jawa tersebut membuahkan
beberapa kebijakan salah satunya adalah kebijakan pendirian benteng di wilayah
perbatasan guna mengawasi rutinitas masyarakat, menjaga keamanan, menjamin hak
hukum dan khususnya adalah kejelasan batasan wilayah antar kedua kerajaan.[36]
Wilayah
Klaten merupakan salah satu wilayah yang berada tepat di garis persinggungan
antara dua pusat kerajaan besar di tanah Jawa yakni Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta, karena berada di tengah-tengah wilayah besar maka Klaten
yang merupakan salah satu tempat perbatasan tidak bisa melepaskan diri dari
konflik besar yang telah lama berkembang dan justru wilayah Klaten merupakan
inti kawasan yang sering kali menjadi medan bersitegang antara kedua kerajaan
Jawa.[37]
Sejalan dengan perjanjian di atas langkah awal penyelesaian sengketa tanah di
wilayah perbatasan mulai memasuki tahapan pembangunan benteng, Klaten sebagai
salah satu wilayah perbatasan mulai membangun bentengnya pada hari sabtu kliwon
12 Rabiulakir 1731 (28 Juli 1804) setelah Sri Susuhunan Pakubuwana IV
meresmikan pendirian benteng Engelenburg
di kawasan Klaten. Proses pengerjaan benteng Engelenburg diserahkan
kepada teknisi Belanda H.C Cornelius dibawah
pengawasan Letnan Kolonel Larel Von Wollzogen
dan pembangunan lodji Engelenburg selesai pada tahun 1806.[38]
Pembangunan lodji Engelenburg di Desa Klaten merupakan
pemindahan benteng yang sebelumnya direncanakan akan dibangun di Desa Merbung
yang dimuat dalam babad Bedhahing Ngayogyakarta :95-97:
// Kapungkur wanci jam
sapto, Dyan Dipati Danureja, tinuding, lumampah dhateng Marebung, apanggihan
kalawan, Rahadyan Dipati Danuningratipun, kanthi Dyan Sumadiningrat, bedhol
saking para mantri// Dyan Dipati Danuningrat, Patih Surakarta sakanca sami,
Bupati Jro Jawanipun, Samine ing Ngayogyakarta lawan malih Van den Berg Tuwan
Urub, Dyan Dipati Sala Yogya, Tuwa Urup kakalih// ... pra samya ndadekke
pikir// Awusana sapunika ing Marebung sande kinarya lodji Karsanira
Tuwan Urup, Surakarta Ngayogyakarta arsa ngalih ing Kalathen lodjinipun Enjinge
budhal sadaya Patih kalih atur uning// ... kang lodji gya winiwitan ginarap
sampun waradin// Setu Kliwon jam sawelas, tanggal kaping rolas Rabingulakir,
tahun Alip kang lumaku samana sinengkalan rupa mantri swaraning jalak,
antara dina samana wus mantuk Patih kakalih//.
Berdirinya
benteng Engelenburg pada tahun 1806
dilengkapi dengan 12 pasukan berkuda (dragunder),
40 pasukan pribumi dan 40 pasukan campuran prajurit dibawah pimpinan Letnan
Pitlar serta fasilitas berupa pembangunan jalan raya beserta fasilitas
publiknya yang menghubungkan antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta. Selanjutnya birokrasi benteng Engelenburg
diserahkan kepada pihak Belanda dengan tujuan penjagaan dan keamanan di kawasan
perbatasan dari berbagai tindak perilaku kriminal seperti perampokan,
penjaraahan, pembunuhan, pencurian, pemberontakan dan kriminal lainnya.[39]
C.
Proses Penataan
Sistem Administrasi Di Kabupaten KLaten.
Pasca
perang Jawa 1825-1830, seiring berjalannya waktu terjadi perubahan demi
perubahan dalam perbaikan dan perbaruan sistem tatanan pemerintahan yang ada di
wilayah Klaten mulai membentuk suatu pemerintahan daerah dengan dipimpin oleh
seorang Tumenggung sampai paling bawah oleh seorang kepala desa. Perkembangan
sistem pemerintahan yang ada di Kabupaten Klaten memiliki beberapa tahapan di
dalamnya sebelum akhirnya menjadi sebuah Kabupaten, yakni meliputi model
pemerintahan pos tundhan, gunung polisi, pangreh praja dan yang terakhir
sebagai wilayah administratif. Perkembangan tersebut bertujuan untuk mengatur
keamanan, kemaslakhatan dari tindakan-tindakan pemberontakan susulan oleh
masyarakat di masa yang akan datang.
- Klaten Sebagai Pos Tundan (1840-1847).
Berdirinya Benteng Engelenburg tidak lantas bisa menjawab
semua problematika konflik di kawasan perbatasan, mengingat pasca perang Jawa
1830 sangat dikhawatirkan akan terjadi pemberontakan susulan. Pada hari Senin
15 Ruwah Be 1768 (12 Oktober 1840) Pakubuwana VII dan Belanda mengadakan
kerjasama untuk saling meningkatkan keamanan perjalanan di kawasan-kawasan
stategis seperti di Ampel, Boyolali, Sukohardjo, Kartasura, Delanggu, Klaten,
Tangkisan, Jagasaman, Sukawati, Mungkung, Kebonromo dan Kedung Banteng.
Kerjasama yang dibangun antar keduanya menghasilkan sebuah keputusan untuk
membuat semacam Pos Tundan yang memiliki tugas penting sebagai tempat beacukai
dalam mengatur serta mengawasi proses keluar masuknya barang, surat-surat dan
bertanggungjawab atas perbaikan jalan yang rusak.[40] Selain itu, Pos Tundan juga
memberikan fasilitas berupa pesanggrahan, angkutan umum yang berupa kuda sebagai
moda tranportasi, hal itu seperti yang termuat dalam serat Angger Gunung (1840:3) dan serat perjanjian (119) :
“Mungguh kawulaningsun Gunung Desa kang pantes padha ingsun paringi
nuwala watesa Tumenggung, kaliwon, Panemu. Dene panggonane padha omah ana sapinggiring
lurung gedhe, anyedhakana pos, asisiha Kaliwon Gunung bawah Kadipaten, padha
jaga rumeksa pos kareta utawa pos layang lan andandanana dalam utawa anyulamana dalan-dalan kang padha
rusak nganggo kabayar saka kantor sapatute watesa lor ing Salatiga, Wates Kidul
ing Boyolali“.[41]
Desa Tambongwetan, memiliki
jarak yang sangat dekat dengan salah satu tempat Pos Tundan, yakni adalah Pos
Tundan yang ada di kawasan Ketandan Klaten. Pos tersebut berfungsi untuk
menjaga di keamanan di sepanjang jalan penghubung antara Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta.
- Klaten Sebagai Kabupaten Gunung Pulisi (1847-1918).
Pembangunan Pos Tundan sebagai
tempat untuk memantau proses jalannya lalu lintas cukai di tiap kawasan
perbatasan dinilai memiliki dampak yang sangat baik.[42]
Oleh karena itu perlu diadakan sebuah perjanjian baru antara Belanda dan
Kasunanan Surakarta untuk peningkatan serta memekarkan status Pos Tundan
menjadi sebuah Kabupaten Gunung Polisi yang dilengkapi dengan sistem pengadilan
pradata di tingkat daerah untuk melesaikan berbagai masalah terutama mengenai
batas-batas wilayah yang masih menjadi titik konflik antar kedua Keraton dan
konflik-konflik sosial di dalamnya.[43]
Hal ini kemudian dimuat dalam Staatsblad
van Nederlandsh Indie, no. 30 1847 tanggal 5 Juni 1847 :
“Kalih dening malih, sarehning kadadosan awoning kawontenan wau
sekalangkung saking ambebayani, ingatasipun lestantuning kasenengan sarta
ketentreman, punapa dene sanget risaking tata ingkang prayogi, tuwin sirnaning
wilujeng sarta karahayoning tetiyang alit, malah ngantos boten mawang ingkang
sampun leres dados wewenang tuwin raja darbekipun ... dipun wonten Abdi Dalem
Gunung”.[44]
Mengacu berdasarkan Staatsblad van Nederlandsh Indie, no. 30
1847 tanggal 5 Juni 1847 tersebut, dapat dijadikan salah satu alasan
mendasar untuk melakukan penghapusan lembaga pemerintahan Bale Mangun (sejak pemerintahan Keraton Kartasura) yang dianggap
sudah tidak bisa menyelesaikan berbagai persoalan dengan begitu kompleksnya di
tiap daerah. Adanya undang-undang ini mendorong untuk memperkuat otonomi di
pedesaan yang dilengkapi dengan sistem pengadilan Pradata (hukum Belanda),
Kadipaten Anom (hukum pemerintah daerah yang bersandar pada titah raja), dan
pengadilan Surambi (hukum agama) di setiap daerah.[45]
Hal tersebut tertuang dalam Staatsblad
van Nederlandsch Indie no. 30 tanggal 5 Juni 1847:
“Menggah ingkang badhe anggarap prakawis, Tumenggung Polisi dados
Presiden Kaliwon satunggal, panewu kalih, Rangga tiga. Ingkang kakanthekaken
ing Tumenggung Polisi wau, punika badhe kapacak dados Leid. Wondene Panewu
rangga wau ing salah satunggal-tunggaling pangeran badhe tumut anggarap
prakawis wonten ing panggadilan wau lan Leid ingkang angrembagi. Wondene Panewu
Rangga wau ing salah satunggal badhe kabebahan dening ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan anglampahi padamelan Jeksa”. (Pawarti Surakarta: 92, Pangreh
praja Bond, 1938: 173).[46]
Pada tanggal 6 Januari 1873
sejalan dengan perkembangan Kabupaten Gunung Polisi diikuti juga dengan
lahirnya surat penetapan pemekaran Asisten
Residen oleh Jendral James Loudon untuk membantu Residen dalam menyelesaikan berbagai urusan pemerintahan di berbagai
tingkat daerah karena begitu kompleksnya urusan-urusan di tingkat daerah yang
harus ditandatangani oleh Residen
seperti di Klaten, Sragen, Karangpandan, Sukoharjo, Kartasura, Boyolali, Ampel,
Sragen dan di Surakarta.[47]
Pada tahun 1873 dibentuklah
daerah-daerah Kabupaten Gunung Polisi yang awalnya masih tidak memiliki
kepastian wilayah sejak lahirnya Pos Tundan.[48]
Oleh karena itu maka melalui Staatsblad,
no 270 tahun 1873 tanggal 23 Agustus 1873 wilayah tersebut terbagi dalam
beberapa bentuk administratif distrik dan onderdistrik di wilayah Klaten yakni,
terbagi menjadi 6 distrik di bawah yang meliputi kawasan Klaten, Semuluh,
Prambanan, Gesikan, Gedangan, dan Kalisoka.
Latar belakang lahirnya sistem
pemerintahan Gunung Polisi merupakan lanjutan dari Pos Tundan yang sejak awal
digagas oleh Belanda untuk mengurangi pengaruh raja terhadap kawulanya di tingkat paling bawah yakni
pedesaan dengan menganggap raja sebagai sebuah simbol dari kerajaan tradisional
namun kedaulatannya dipegang penuh oleh Belanda melalui Asisten Residennya di setiap daerah yang di tempati, sehingga
melahirkan sebuah sistem pemerintahan secara tidak langsung (indirect rule).[49]
Selain itu tujuan utamanya bagi Belanda adalah dengan adanya Pos Tundan dan
Gunung Polisi adalah untuk mengamankan segala aset yang dimiliki oleh Belanda
di tiap-tiap wilayah dan untuk berjaga-jaga manakala terjadi pemberontakan oleh
masyarakat di tiap-tiap daerah.[50]
- Klaten Sebagai Kabupaten Pangreh Praja (12 Oktober
1918).
Pada tahun 1918 Kasunanan
Surakarta atas persetujuan dari Residen,
status Kabupaten Gunung Polisi kini berubah menjadi kabupaten Pangreh Praja
sesuai dengan Rijksblad Surakarta no.
23 tahun 1918, pranatan Patih Dalem no. 23 : 169-170:
“Para Abdi Dalem Wedana Kaliwon Panewu Mantri sapanunggalane, kang saiki
kaaranan Golongan Polisi, nanging kang kewajiban uga nindakake babagan
paprentahan, iku ing samengko jenenge Golongan Polisi (Abdi Dalem Gunung
Polisi) mau kasalinan aran Abdi Dalem Pangreh Praja”.[51]
Latar belakang dari lahirnya Kabupaten
Pangreh Praja ini adalah mengatur status wilayah dan kepemilikan tanah bagi
perorangan melalui pembaharuan perundang-undangan agraria yang pengukurannya
dimulai dari tanah kepemilikan raja Sri Susuhunan Pakubuwana X di daerah Bumi
Pangrembe Nguntaraharja, Klaten dan Bumi Panumping.[52]
Kebijakan tersebut berdampak pada penutupan akses para bangsawan Kasunanan
terhadap tanah-tanah yang ada di tingkat pedesaan dan hal otu juga mempermudah
pihak perusahaan industri swasta dalam melakukan perizinan sewa-menyewa tanah
di wilayah Kasunanan Surakarta khusunya di Klaten melalui kebijakan Kompleit di
tiap-tiap distrik dan onderdistrik.[53]
Tujuan utama dari diubahnya
pemerintahan Gunung Polisi ke dalam pemerintahan Pangreh Praja adalah untuk
meringankan beban Bupati Gunung dengan cara memisahkan tugasnya dari yang
mengurusi segala macam permasalahan seperti pencurian, kekerasan, pelanggaran,
dan tugas lainnya menjadi lebih fokus terhadap masyarakat melalui pengembangan
pendidikan, kesejahteraan, ekonomi, sosial, kesehatan dan kebudayaan seperti
yang tertuang dalam (Rijksblad
Surakarta, 1918, no 24 : 171-172):
“Mungguh kuwajibane para Panewu
panggadhening distrik sarta para Mantri panggedening Onder Distrik, iku ora
ngemungake tumrap babagan Pulisi wae, ananging uga anindakake babagan
paprentahan”.[54]
[1] Samroni Imam dkk. “Daerah Istimewa Surakarta”. (Yogyakarta:
Pura Pustaka, 2010). Lihat
juga: Julianto Ibrahim, “Bandit
dan Pejuang di Simpang Bengawan “, (Wonogiri: Bina Citra Pustaka, 2002).
[2] K.R.M.H. Woerjaningrat, “Sekedar Uraian Tentang Sawapraja Surakarta”.
Dokumen Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran. Lihat
juga: Samroni Imam dkk. “Daerah Istimewa Surakarta”. Julianto Ibrahim, “Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan“.
[3] “Roentoehnya Swapraja
Soerakarta”, Arsip Rekso Pustoko,
“Statoes Swapradja”, Arsip Rekso Pustoko,
“Roentoehnya Swapradja 1946”, Arsip
Rekso Pustoko:
Panitia Penjusunan Kerabat Mangkunegaran,
Mangkunegaran Selajang Pandang (Surakarta: Puro Mengkunegaran). Arsip diambil dari Julianto Ibrahim, “Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan”.
[4] Saputra Pandji, “Kajoran
Lintas Zaman”. (Jakarta:
Direktorat Jendral Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kabudayaan, 2019).
[5] Abimanyu Soedjipto, “Babad Tanah Jawi”. (Yogyakarta: Laksana,
2017). Lihat juga: Raffles Thomas Stamford, “The History Of Java”, (Yogyakarta: NARASI, 2019).
[7] “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”.
Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005. Lihat juga: Raffles
Thomas Stamford, “The History Of Java”.
[9] Achmad Sri Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya Dan Majapahit”.
(Yogyakara: Araska 2018).
Lihat juga: Raffles Thomas Stamford, “The History Of Java”.
[10] Achmad Sri
Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya Dan
Majapahit”.
Lihat juga: “Studi
Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan
Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[12] Achmad Sri Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya Dan Majapahit”.
(Yogyakara: Araska 2018).
Lihat juga: Raffles Thomas Stamford, “The History Of Java”.
[13] Achmad Sri
Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya Dan
Majapahit”.
Lihat juga: “Studi
Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan
Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[15] Abimanyu
Soedjipto, ”Babad Tanah Jawi“. Lihat juga: Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.
[16] Florida Nancy K. “Jawa
Islam di Masa Kolonial”. (Yogyakarta: Buku Langgar, 2020). Lihat juga: Raffles
Thomas Stamford, “The History Of Java”.
[18] Indah Puji Hastuti ,
Skripsi: ”Peranan Sunan Pandhanarang
Dalam Penyebaran Agama Islam DI Daerah Klaten“. (Surakarta: Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Sebelas Maret, 2010).
[19] Abimanyu
Soedjipto, ”Babad Tanah Jawi“. Lihat juga: Indah Puji Hastuti ,
Skripsi: ”Peranan Sunan Pandhanarang
Dalam Penyebaran Agama Islam DI Daerah Klaten“. (Surakarta: Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Sebelas Maret, 2010). “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten
Klaten tahun 2005.
[20] Berdasar
laman resmi pemerintah Kabupaten Klaten klaten.go.id, tertera bahwa Kiai
Melati mendapat tugas dari Raden Tumenggung Mangunkusuma yang menjabat sebagai
wakil Patih Pringgalaya di Surakarta yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati
Klaten. Melihat hal ini penulis mencoba menelusuri tentang tahun tokoh Patih
Pringgalaya yang hidup dan bergelar sebagai Patih dari Kasunanan Mataram Islam
di Kartasura pada masa pemerintahan Pakubuwana II dan ditarik sampai tahun 2021,
sehingga didapatilah 275 tahun yang lalu (abad ke-18). Patih
Pranggalaya banyak ditulis oleh bangsawan keraton, tokoh intelektual seperti
catatan Diponegoro Lihat : Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”.
(Yogyakarta : Narasi, 2019). Dan berdasar pada catatan Rafles, Lihat, Thomas
Stamford Rafles, “The
History Of Java”.
(Yogyakarta: NARASI, 2019). M.C Ricklefs, Lihat, M.C. Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”. (Jakarta:
Serambi, 2008). Dan catatan Herman Pratikno Lihat: Pratikto Herman, “Bende
Mataram 2”.
(Kalimantan Timur : Elex Media Komputindo, 2001).
[21] “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten“. Kesekretariatan
Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[22] Wawancara
dengan tokoh juru kunci makam Kiai Melati (dilakukan pada Kamis 3 April 2021
pukul 13.00 WIB di tempat kediamannya). Lihat juga: “Studi
Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten“. Kesekretariatan
Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[23] “istilah Melati sendiri
dipopulerkan oleh Kiai dan Nyai Melati mas, sehingga banyak
orang yang kenal istilah Mlati dan terus disebarkan akhirnyaberpengaruh di
namanya, makanya masyarakat luas mengenalnya sebagai Klaten. Jadi prosesnya ada
kata Melati, Mlati, Klathi, Klathen sampai yang terakhir menjadi Klaten“. Wawancara dengan tokoh juru kunci makam Kiai Melati
(dilakukan pada Kamis 3 April 2021 pukul 13.00 WIB di tempat kediamannya).
[24] Abimanyu
Soedjipto, ”Babad Tanah Jawi“. Lihat juga: Carey
Petter, “Urip Iku Urup”. (Jakarta: KGP, 2019).
[25] M.C. Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008“.
Lihat juga: Kartodirdjo Sartono, “Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900”. (Jakarta: Gramedia, 1987). Abimanyu
Soedjipto, “Babad Tanah Jawi”.
[26] Raffles
Thomas Satamford, “The History Of Java”. Lihat juga: M.C
Ricklefs, “Sejarah Indonesia Moderen 1200-2008”. Kartodirjo
Sartono, “Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: 1500-1900”.
[27] M.C.
Ricklefs, “Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1791. History
of The Division of Java“.
(London, 1974). Lihat juga: M.C Ricklefs, “Sejarah Indonesia Moderen 1200-2008“. Raffles Thomas Satamford, “The History Of Java”.
[29] “Swapraja Saduran“ Muhammad Husodo
Pringgokusumo, Rekso Pustoko Mangkunegaran. Artikel karangan G.P. Rouffaer. “ VORSTENLANDEN ”. Lihat juga: Santosa
Iwan, “Legiun Mangkunegaran (1808-1942)“. Abimanyu
Soedjipto, “Babad Tanah Jawi”. Raffles Thomas Satamford, The History Of Java. Lihat juga:
Diponegoro. “Babad
Diponegorro versi UNESCO”. M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Kartodirdjo Sartono, “Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900“.
[32] Carey
Peter. “Kuasa Ramalan“. Lihat juga: G.J.
Resink, “Bukan 350 Tahun Dijajah”. (Depok: Komunitas Bambu, 2012).
[34] Carey
Peter, “Kuasa Ramalan”. Lihat juga: “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan
Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[37] “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”.
Kesekretariatan
Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[38] “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan
Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005. Lihat juga : Carey Peter, “Kuasa Ramalan”. Diponegoro,
“Babad Diponegorro versi UNESCO”.
[39] Santosa
Iwan, “Leguin Mangkunegaran (1808 - 1942)“. (Jakarta: Kompas, 2011).
Lihat juga: “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[40] Peraturan Daerah Kabupaten
Klaten Nomor 12 Tahun 2007, “Hari Jadi
Kabupaten Klaten”. Lihat: G.J. Resink, “Bukan
350 Tahun Dijajah”. Carey
Petter, “Kuasa Ramalan”.
[41] “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
[42] Skripsi Achmad Ridwan, “perkembangan Peradilan Perdata Masa
Reorganisasi Bidang Hukum di Kasunanan Surakarta Tahun 1893-1903.” Universitas
Sebelas Maret tahun 2010.
[44] “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005. Lihat
juga: G.J. Resink, “Bukan 350 Tahun
Dijajah”.
[46] “Studi Penelitian Hari Jadi
Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten
Klaten tahun 2005. Lihat: Peter. Kuasa Ramalan.
[48] Pembentukan pos-pos
keamanan (Kepolisian) digunakan sebagai alat untuk menjaga keamanan serta untuk
menindak para begundal melalui institusi ini.
[51] “Studi Penelitian Hari Jadi
Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten
Klaten tahun 2005.
[53] Anderson Benedict R.O’G, “Kuasa Kata Jelajah Budaya-Budaya Politik di
Indonesia”. Lihat: Carey Petter, “Kuasa
Ramalan”.
G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah.
[54] Studi Penelitian Hari Jadi
Kabupaten Klaten. Kesekretariatan
Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.
Comments
Post a Comment