Desa Tambongwetan Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten

 Desa Tambongwetan

Foto : Area bekas Jambu Tamboh (Sumber:Foto pribadi penulis).


Desa merupakan salah satu tingkatan system administrative tingkat paling bawah dalam tatanan sebuah pemerintahan atau negara. Di Jawa sebelum mengenal istilah sistem administrasi seperti pada saat ini, masyarakat pada waktu itu mengenalinya sebagai onderdistrik (istilah pada masa Kasunanan Surakarta sampai Indonesia merdeka).


Sedangkan pada masa Mataram sampai pemerintahan sebelum-sebelumnya sudah ada istilah seperti desa namun belum terlalu popular karena pada waktu itu banyak wilayah-wilayah yang masih berupa alas, hutan belantara, sehingga banyak sekali hewan-hewan buas yang masih berkeliaran dan hal itu yang membuat tidak semua tempat layak untuk dijadikan sebagai tempat hunian. Selain itu system administrative baru ada di sekitaran wilayah negaragung.

Di Jawa istilah desa mulai berkembang secara pasif seiring dengan perkembangan waktu khususya seperti di wilayah Kasultanan Yogyajarta dan di Kasunanan Surakarta. Wilayah kasunanan Surakarta yang cukup mengalami perkembangan adalah salah satunya di Kabupaten Klaten.

Secara geografis wilayah Kabupaten Klaten berbatasan langsung dengan beberapa wilayah besar di sekitarnya, yakni di sebelah Barat dan Selatan Kabupaten Klaten berbatasan langsung dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali. Kabupaten Klaten terletak dalam titik koordinat 110°30´-110°45´ bujur Timur dan 7°30´-7°45´ lintang Selatan yang memiliki luas wilayah mencapai 665,56 km².

Topografi Kabupaten Klaten terbagi atas tiga wilayah yakni dataran rendah, gunung Merapi dan pegunungan Seribu yang berdiri diatas ketinggian berbeda-beda, seperti 9,72% terletak di dataran rendah dengan ketinggian 0-100 meter dari permukaan air laut yang meliputi wilayah Klaten Tengah, Kalikotes, Klaten Utara, Klaten Selatan, Delanggu, Trucuk, Ceper dan kawasan lainnya. 77,52% terletak di dataran sedang dengan ketinggian 100-500 meter dari permukaan air laut yang meliputi wilayah Bayat, Cawas, Gantiwarno. 12,76% terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 500-1000 meter dari permukaan air laut yang meliputi wilayah Karangnongko, Kemalang, Manisrenggo.[1]

Klaten yang menjadi bagian dari luasnya tanah Jawa 126.700 km² (48.919,1 mil²) merupakan salah satu wilayah yang penting bagi kehidupan dan perkembangan peradaban dari zaman ke zaman.[2] Pada mulanya wilayah Klaten sama dengan wilayah Jawa lainnya yang masih sangat banyak ditumbuhi oleh hutan-hutan besar, berawa-rawa dan gunung-gunung sehingga sangat mendukung sekali untuk membangun peradaban sosial masyarakat.[3] Peradaban di Klaten sejak awal sangat dipengaruhi oleh keyakinan Hindu-Budha yang telah melebur dengan keyakinan masyarakat pada waktu itu yang masih bersifat animisme-dinamisme sehingga terjadilah sebuah akulturasi keyaninan dan kebudayaan yang baru.[4]

Pada abad ke-9 peradaban di wilayah Klaten mulai menemui masa-masa puncak peradabannya pada masa kekuasaan Rakai Pikatan yang menjabat sebagai raja Medang Kamulan (Mataram Kuno) selama periode tahun 833-856.[1] Pada fase ini wilayah Klaten mulai banyak mengembangankan peradaban-peradabannya melalui peninggalan-peninggalan mercusuar yang berupa prasasti, arca, candi-candi (candi Plaosan yang telah dibuat sejak tahun 840-856 dan candi Prambanan pada tahun 850).[2] Keberadaan candi-candi dan prasasti yang ada di wilayah Klaten tersebut bisa menjadi bukti bahwa Klaten pada abad ke-9 merupakan salah satu wilayah yang sangat besar peradabannya terutama berperan penting dalam menyokong Kerajaan Medang Kamulan di bidang sumber daya manusia dan sumber daya alam.[3]

Pasca kekuasaan Rakai Pikatan, pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi wilayah Klaten mulai di pandang penting bagi pihak kerajaan sebagai bagian dari kawasan penyokong ekonomi negara, hal itu dibuktikan dengan pemberian tanah perdikan (bebas pajak) oleh Rakai Kayuwangi kepada masyrakat di Desa Upit yang berupa prasasti Upit yang bertuliskan :

Swasti Cakawarsasita 788 kartika pancadasi  kresnapaksa wurukung kaliwuan soma tatkala raka i halaran manusuk sima i Yupit. (Selamat tahun saka yang telah lewat 788 bulan Kartika bagian paro gelap hari Senin Kliwon wuku Wurukung, ketika Rakai Halaran menetapkan perdikan di Upit).[1]

Seiring berkembangnya waktu ke waktu, istilah desa mulai berkembang dan itu juga diiringi dengan pembabagan lahan yang ada di Kabupaten Klaten. Desa Tambongwetan Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten adalah salah satu wilayah yang menjadi bagaian dari pada proses pembabagan pada abad ke-15.

Awalnya Desa Tambongwetan berasal dari sebuah nama desa yang disebut Desa Tamboh. Istilah nama Desa Tamboh sendiri berasal dari sebuah nama salah seorang tokoh bangsawan dari Kerajaan Majapahit yakni bernama Mbah Tamboh. Alasan Mbah Tamboh sampai di wilayah yang pada waktu itu dikenal sebagai Desa Tamboh karena dia melarikan diri dari istana kerajaan ketika terjadi perang Paregreg antara majapahit Barat yang dipimpin oleh Wikramawardhana dan Majapahit Timur yang dipimpin oleh Bhre Wirabhumi yang saling memperebutkan tahta Kerajaan Majapahit pada periode tahun 1404-1406, sehingga berdampak pada kondisi ekonomi, sosial dan politik pada waktu itu.

Kawasan Desa Tamboh pada waktu itu masih berupa sebuah hutan belantara yang banyak ditumbuhi beraneka ragam pohon-pohon besar dan hewan-hewan buas. Di kawasan ini Mbah Tamboh bersama para pengikutnya mencoba untuk mengembangkan desa dengan membuat sistem irigrasi, persawahan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satu sistem pertanian yang dianggap unik dan menjadi perhatian khusus Mbah Tamboh adalah lahan perkebunan jambu biji (kluthuk) yang disebut sebagai jambu Jressono, namun beberapa masyarakat menyebutnya sebagai jambu Tamboh karena terletak di kawasan Desa Tamboh.

Pada tahun 1825-1830 saat terjadi kemelut perang Jawa di Kabupaten Klaten, pasukan tempur laskar Diponegoro yang dipimpin oleh Tumenggu Wirobongso mulai memasuki wilayah Desa Tamboh juga telah memberikan beberapa peran penting terhadap sejarah Desa Tambongwetan, yakni dengan mempopulerkan kawasan Desa Tambongwetan melalui keunikan buah Jambu Jressono atau orang menyebutnya sebagai jambu Tamboh kepada masyarakat luas sampai akhirnya terdengar di telinga Sri Susuhunan Pakubuwana VI dan melalui sabda pandhita ratunya, PB VI menjadikan Jambu Jressoono tersebut sebagai upeti wajib untuk Kasunanan Surakarta.

Setlah keluarnya makluman dari PB VI tersebut, wilayah yang menjadi Jambu Jressono tersebut kemudian dikeramatkan oleh masyarakat dan hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mendekati serta mengonsumsikannya.

Di sisi lain dampak dari kepopuleran jambu tersebut juga membuat nama Desa Tamboh berubah menjadi Tambong karena kebiasaan masyarakat Jawa yang suka gethok tular sehigga berdampak pada perubahan nama desa dari tamboh menjadi tambong. Adapun ada istilah wetan, itu dikarenakan posisi balai Desa Tambongwetan untuk pertama kalinya berada di Desa Tambong sebelah wetan, sehingga dari sinilah istilah tambongwetan mulai dikenal oleh masyarakat secara luas.

 

Desa Tambongwetan sendiri terdiri dari beberapa dukuh yakni :

 

1.      Duku Soka.

Nama Dukuh Soka sendiri diambil dari pohon soka yang berjumlah lima. Wilayah ini dahulunya digunakan sebagai tempat untuk pertapaan oleh beberapa masyarakat setempat pada masa Hindu dan Budha.

2.      Dukuh Genengan.

Nama Dukuh Genengan sendiri diambil dari istilah genangan, yang mana pada waktu dulu sebelum ada umbul silayah tersebuh sering tergenang air karena banyak mata air yang ada di dukuh tersebut.

3.      Dukuh Guruhan.

Nama Dukuh Guruhan sendiri diambil dari nama peguruan, yang mana pada waktu itu wilayah tersebut terdapat sebuah padepokan untuk berguru.

4.      Dukuh Jogodayoh.

Nama Dukuh Jogodayoh sendiri diambil dari nama jogo yang artinya menjaga dan dayoh yang artinya tamu. Bila diartikan secara lebih lengkap adalah menjaga kedatangan tamu yang tidak diundang (Pasukan Belanda). Di dukuh ini pula yang akan menjadi wilayah perang Jawa di Desa Tambongwetan.

5.      Dukuh Munigan.

6.      Dukuh Cupuwatu.

Nama Dukuh Cupuwatu sendiri diambil dari kata cupu (tempat penyimpanan) yang terbuat dari batu. Alat-alat yang dimaksud di sini adalah peralatan perang laskar Diponegoro yang sedang membangun parit untuk mengantisipasi patrol pasukan Belanda yang akan memasuki wilayah dukuh ini.

7.      Dukuh Tebon Gedhe.

8.      Dukuh Jetis.

9.      Dukuh Tempel.



[1] Achmad Sri Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya Dan Majapahit”. Op. Cit. Hal. 98. Lihat juga: “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005, No KIR 159. Hal. 40. Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah Jawi. Op. Cit. Hal. 69.


[1] Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah Jawi. Op. Cit. Hal. 68. Lihat juga: Saputra Pandji, “Kajoran Lintas Zaman”. Op. Cit. Hal. 86.

[2] https://sejarahlengkap.com/bangunan/sejarah-candi-plaosan. Aktif (Diakses pada 7 Mei 2021 pukul 21.56). lihat juga: Achmad Sri Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya Dan Majapahit”. (Yogyakara: Araska 2018). Hal. 60. Lihat juga: Raffles Thomas Stamford, “The History Of Java”. Hal. 262.

[3] Achmad Sri Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya Dan Majapahit”. Op. Cit. Hal. 73. Lihat juga: “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005, No KIR 159. Hal. 39.



[1] Saputra Pandji, “Kajoran Lintas Zaman”. (Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kabudayaan, 2019). Hal. 25. Lihat juga: https://klatenkab.go.id/sejarah-kabupaten-klaten/ Aktif, (diakses pada 3 April 2021 pukul 18.15).

[2] Abimanyu Soedjipto, “Babad Tanah Jawi”. (Yogyakarta: Laksana, 2017). Hal. 18. Lihat juga: Raffles Thomas Stamford, “The History Of Java”, (Yogyakarta: NARASI, 2019). Hal. 14.

[3] Diponegoro, “Babad Diponegorro versi UNESCO”. (Yogyakarta: NARASI, 2019). 589-590.

[4]Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005, No KIR 159. Hal. 39. Lihat juga: Raffles Thomas Stamford, “The History Of Java”. Hal. 155-156.





Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka