Geger Pecinan
Foto : Peta Eks Keraton Kartasura.
Pada tahun 1740 di Batavia terjadi sebuah
perlawanan besar terhadap VOC yang dilakukan oleh orang-orang etnis Cina dan masyarakat bumiputera. Perlawanan orang-orang Cina ini dilatar belakangi oleh
adanya persaingan dagang yang tidak sehat antara VOC dan pedagang Cina. Ketidak sehatan dalam perdagangan ini dipicu oleh
adanya tindak korupsi para petugas cukai VOC yang membuat kegelisahan masyarat
Cina dan pelanggaran para pedagang Cina yang kerap kali dianggap
telah melakukan penyalahgunaan
surat ijin dan beberapa pedagang Cina yang tidak memiliki kelengkapan persyaratan
perdagangan, sehingga banyak barang-barang dagang yang harus disita dan sering kali selama penyitaan barang berujung pada
sebuah penganiayaan.[1]
Para pedagang Cina yang merasa etnisnya telah dianiaya kemudian melakukan sebuah perlawanan yang berjumlah
3000 orang untuk mempertahankan hidup serta memperjuangkan sesuatu yang menjadi
haknya. Akhir dari perlawanan ini adalah berupa kekalahan besar dari kalangan
orang-orang Cina yang memakan jumlah korban jiwa sangat banyak dan sisanya berstatus
buronan karena dianggap telah melanggar aturan pidana dan perdagangan.
Masyarakat Cina yang menjadi buronan kemudian melakukan eksodus ke arah Timur menuju Semarang Jawa Tengah untuk meminta
pertolongan kepada Pakubuwana II Penguasa Kasultanan Mataram di Kartasura.[2]
Permintaan bantuan tersebut
dijawab oleh Pakubuwana II dengan menghadirkan sekitar 20 Tumenggung dan 20.000[3]
pasukan Kartasura untuk menumpas pasukan
VOC di Semarang.[4] Puncak dari perlawanan di
Semarang adalah menghasilkan kekalah besar terhadap pasukan Keraton Kasultanan
Kartasura. Kekalahan Keraton Kartasura ini berdampak pada pengharusan
perjanjian dan kerjasana antara VOC dengan Keraton Kartasura untuk melakukan menumpas pemberontak etnis Cina. Pada tahun 1741 setelah mengetahui persekongkolan antara
VOC dan Keraton Kartasura pasukan
Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi ((Sunan Kuning) seorang Amangkurat V cucu
dari Amangkurat III) beserta pasukan Cina dan bumiputra yang berjumlah 3500 orang kemudian melakukan perlawanan terhadap keduanya di Kartasura.[5]
Pada tanggal 20 Juli 1741
penyerbuan oleh kaum Cina terhadap Kasultanan Kartasura menghasilkan sebuah kekalahan
yang besar di pihak Keraton dan VOC sehingga Pakubuwana II beserta keluarga dan
Van Hohendroff harus melakukan pengungisan ke wilayah yang aman di Magetan dan
melanjutkan pengungsiannya ke Ponorogo Jawa Timur sembari menunggu situasi
kondusif. Selama penaklukan di Kartasura para pemberontak berhasil
menghancurkan Keraton serta melakukan penjarahan pernak-pernik dan segala yang
ada di Keraton Kartasura. Para pemberontak yang berhasil menduduki tahta
Kartasura, melanjutkan penaklukan di beberapa wilayah lain seperti Rembang,
Cirebon dan Priangan.[6]
Situasi dan kondisi status
Keraton yang tidak kunjung kondusif, Pakubuwana berinisatif untuk
menyelenggarakan sebuah sayembara yang ditawarkan kepada para keluarga besar
dan kerabatnya. Barang siapa yang mampu menaklukan para pemberontak Pecinan dan
berhasil mengatasi situasi serta mengembalikan kondisi yang kondusif di Keraton
Kartasura maka akan dihadiahi sebuah tanah lungguh seluas 3000 cacah[7]
di wilayah negaragung (bekas wilayah
Mataram di Plered). Begitu besarnya tawaran hadiah yang akan diberikan oleh
kakakknya Panembahan
Senopati Mangkubumi tertarik untuk menjawab tantangan tersebut dan menyanggupi untuk menumpas
pasukan Pecinan di Kartasura.
Setelah pemberontakan Pecinan berhasil ditumpas oleh Pangeran Mangkubumi dengan mengembalikan situasi dan kondusi yang
sudah aman segera Pakubuwana II kembali ke Keraton Kartasura. Sesampainya di
kompleks Keraton dan melihat begitu tragisnya keadaan Keraton yang hancur luluh
lantak Pakubuwana II segera melalukan pemindahan Keraton di Kartasura ke desa
Sala dekat sungai Bengawan Solo. Pada tahun 1746[8]
beridrilah kerajaan baru Keraton Kasultanan Surakarta Hadiningrat[9] dengan segala fasifilitas
yang lebih memadai serta kompleks seperti alun-alun, pasar, masjid, dsb.[10]
Keberhasilan Mangkubumi
menumpas pemberontak Pecinan berbuah pada kekecewaan yang mendalam terhadap
Keraton Surakarta karena pengkhianatan janji pemberian hadiah tanah lungguh yang tak kunjung ditepati oleh
Pakubuwana II yang dilatar belakangi bujukan Patih Pringgalaya untuk menahan tanah tersebut
dengan alasan keamanan serta administratif Keraton.[11] Pada tahun 1747 Panembahan Senopati Mangkubumi yang pulang dengan kehampaan
kemudian melakukan sebuah keputusan untuk melawan Keraton Kasultanan Surakarta
yang bergabung dengan pasukan pemeberontak Raden Mas Said[12]
sehingga terciptalah kobaran perang
Suksesi III. Perang Suksesi III yang terjadi sekitar 8 tahun ini berakhir pada tahun 1755 melalui perjanjian Giyanti[13]
yang dipelopori oleh VOC serta
disepakati oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi yang membagi wilayah Kasultanan Mataram menjadi dua imperium besar di Jawa Selatan yaitu
Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.[14] Perjanjian Giyanti sekaligus
merupakan sebuah simbol yang menjadi tombak akhir kekuasaan Mataram di tanah
Jawa yang menjadi garis besar pemisah peradaban Jawa lama menuju peradaban baru
di tanah Jawa.
Pada tahun 1755 setelah
pengesahan perjanjian Giyanti Raden Mas Said yang melihat keberhasilan Pangeran Mangkubumi dalam merebut haknya untuk mendapatkan kembali tanah lungguh yang pernah dijanjikan Pakubuwana II seluas 3000 cacah dari
Pakubuwana III dan sekaligus berperan sebagai Sri Sultan di tanah
Yogyakarta, membuatnya semakin gencar
untuk terus menerus melakukan sebuah pemberontakan di wilayah negaragung terhadap kedua Keraton Surakarta, Yogyakarta dan VOC.[15]
Perang yang terjadi sekitar 2 tahun ini berhasil diredam setelah penyerahan diri Raden Mas Said terhadap Keraton
Kasunanan Surakarta dan VOC dengan penandatanganan perjanjian damai. Penyerahan
Raden Mas Said ini juga dilatar belakangi oleh adanya tawaran dari Pakubuwana
III yang akan memberikan sebagian kecil tanah lungguh Kasunanan Surakarta seluas 4000 karya.[16]
Pemberian tanah lungguh kepada Raden Mas Said di berikan pada tanggal 17 Maret
1757 setelah terjalin perjanjian
Salatiga.[17] Pendirian Pura Mangkunegaran
di Surakarta merupakan sebuah wilayah dengan status sebagai Kadipaten yang
berada di bawah kakuasaan Kasunanan Surakarta dan Raden Mas Said sebagai
Adipati Mangkunegoro I.[18]
Selama 55 tahun tanah Jawa
mengenyam situasi yang damai setelah seringkali mengalami banyak fase penuh
konflik dan kekolotan antar sesama orang Jawa. Api konflik di Jawa mulai dihempaskan
kembali pada tanggal 9 Juli 1810 setelah terjadi pendongkelan kekuasaan Perancis
yang mengalami kekalahan dalam menghalau ekspansi Inggris.[19]
Pada tanggal 27 Februari 1811 saat fase peralihan kekuasaan di tanah Jawa dari
tangan Prencis ke Inggris mulai terjadi percikan api konflik antar
Hamengkubuwana II dan Rafles. Konflik ini berlatar belakang atas ketidaksukaan
Sultan Hamengkubuwana II yang melihat Inggris akan bercokol di tanah Jawa
menggantikan posisi Perancis[20] dan penghinaan yang dilakukan
pasukan Inggris atas respon sikap raja Yogyakarta tersebut dengan memprovokasi.
Konflik ini berpuncak pada teragedi sepoy sebuah peperangan antara Kasultanan
Yogyakarta dengan Inggris yang
dibantu dari suku-suku India, Eropa, Bugis dan sebagainya.[21]
Perang sepoy ini terjadi selama
empat hari yang berakhir dengan pembuangan Sultan Hamengkubuwana II di Ambon dan pembagian tanah lungguh Kasultanan Yogyakarta atas perintah Rafles kepada
Hamengkubuwana III yang diberikan kepada pangeran Natakusuma dan kemudian mendirikan
Pakualaman yang beretataus sebagai Kadipaten di bawah Kasultanan Yogyakarta.
Pemberian tanah kepada Pangeran Natakusuma adalah bentuk apresiasi Rafles yang dianggap
mempunyai jiwa setia terhadap inggris.[22]
[7] M.C. Ricklefs, Yogyakarta under Sultan Mangkubumi
1749-1791. History of The Division of Java (London, 1974).
[10] ANRI. HB 3784. Plattegrond
sitinggil aloon-aloon Kidoel (gambar dan denah Stitinggil alun-alun selatan).
Lihat juga ANRI. HB 3785. Plattegrond
sitinggillor aloon-aloon Lor (gambar denah Sitinggillor alun-alun Utara).
[13] “ Swapraja Saduran “ Muhammad Husodo Pringgokusumo, Rekso Pustoko
Mangkunegaran. Artikel karangan G.P. Rouffaer. “ VORSTENLANDEN ”.
Comments
Post a Comment