Islamisasi di Tanah Jawa Tengah Selatan abad ke-16
Part I.
PROSES ISLAMISASI DI
KABUPATEN KLATEN
(PERAN SUNAN
TEMBAYAT DALAM
PROSES ISLAMISASI DI
KLATEN ABAD KE-XVI).
Gambar 1.1 Silsilah Trah
Sunan Tembayat Klaten.
Sumber: Arsip pribadi penulis.[1]
Berdasarkan
data yang ada banyak sekali catatan-catatan yang menuliskan kedatangan Islam di
Nusantara, namun dari sekian sumber data yang ada catatan
kedatangan Islam pada abad ke-7 M
merupakan yang paling tua. Pada abad ke-7 M para pedagang muslim dari Persia,
Arab,
Cina dan India telah melabuhkan
layarnya di daratan kepulauan Nusantara dengan tujuan untuk melakukan transaksi
perdagangan dan pada waktu yang sama Islam telah berkembang pesat
di dataran Timur Tengah.[2] Seiring
berjalannya waktu, hubungan transaksi perdagangan ini juga merambah terhadap
penyebaran ajaran Islam di Nusantara secara masif.
Sudah
lama Nusantara menjadi salah satu penghasil komoditi rempah-rempah yang begitu
banyak, beranekaragam dan memiliki banyak khasiatnya sehingga mampu menarik
daya pikat banyak orang dari belahan dunia lainnya baik Cina, India, Persia,
Arab untuk mencari bahan komoditi yang sangat dibutuhkan tersebut demi kebutuhan hidup dan memenuhi kebutuhan pasar
yang berada di jalur sutra di
bawah kekuasaan Islam di Timur Tengah serta kebutuhan bangsa Eropa. Tidak heran bila para bangsawan Eropa pada waktu itu
juga tergerak untuk melakukan pelayaran mengarungi dunia untuk mendapatkan barang-barang berharga tersebut dengan harga yang murah dan tidak lagi
melakukan perdagangan dengan para penguasa imperium Islam yang dianggap menjual
bahan komoditi dengan harga yang cukup mahal, ditambah lagi kawan Eropa merupakan wilayah
yang beriklim subtropis sehingga kebutuhan komoditi penghangat badan khususnya
rempah-rempah semakin menjadi
bahan kebutuhan pokok.
Kawasan Utara Pulau Sumatra, Aceh dan Malaka merupakan
singgahan pertama orang-orang bangsa asing manakala akan memasuki wilayah
Nusantara, dari situlah bayak para pedagang-pedagang asing yang tertarik untuk
menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Nusantara serta menjadinkannya
sebagai salah satu sasaran penyebaran ajaran Islam. Kebanyakan para pedagang yang
datang di Utara kepulauan Nusantara,
rute tersebut dipilih karena di wilayah tersebut
lebih dekat dengan wilayah-wilayah para pedagang asing. Selain
itu sudah ada rute peta perjalannya aksesnya
untuk
mencapai wilayah Nusantara dan tidap perlu menghadapi badai dan ombak yang sangat berbahaya seperti yang ada di
wilayah Selatan Nusantara seperti Selatan Pulau Jawa yang tidak cocok untuk
dijadikan rute perjalanan dan tempat berlabuh para pedagang, karena
selain cuaca yang tidak mendukung juga di wilayah ini masih dianggap sangat tertutup dan banyak binatang buas di air dan daratan. Susahnya akses juga akan berdampak terhadap biaya perjalannya dan
harga barang dagang yang berharga mahal, karena medannya yang berbahaya dan harus menempuh perjalanan yang sangat jauh serta belum ada
peta yang menghubungkan langsung ke wilayah Selatan Jawa.
Gambar 1.2 Area Makam
Sunan Tembayat Klaten di Atas Bukit
Jabalkat.
Sumber: Arsip Pribadi Penulis.
Selain melalui
perdagangan, kegiatan perkawinan dan penentangan Islam terhadap sistem kasta
dan mudahnya pengamalan ajarannya juga merupakan faktor penting yang akan
sangat mempengaruhi perkembangan ajaran Islam
selanjutnya. Adanya aktivitas perdagangan dan perkawinan tersebut
mendorong berkembangnya ajaran Islam sampai ke pelosok Nusantara dan salah satu
tempat berkembangnya adalah Pulau Jawa. Awal mula proses islamisasi di Pulau
Jawa disebarkan oleh beberapa orang yang dikenal sebagai walisongo (Sunan
Ngampel atau Raden Rahmat, Sunan Malik Ibrahim atau Maulana Magribi, Sunan
Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim, Sunan Kudus atau Ja’far
Shodiq, Sunan Muria, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung jati).[3] Selain ada walisongo, di
tingkal lokal atau daerah juga didapati para wali seperti Sunan Pandanaran
(Sunan Tembayat) yang sekaligus murid dari Sunan Kalijaga yang bertugas
menyebarkan dakwah di Selatan Pulau Jawa.[4]
Pembahasan
mengenai Sunan Tembayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat,
Sunan Pandanarang II) ini terdapat dua sumber yang melatar belakanginya:
1.
Sunan
Tembayat adalah Brawijaya V (cerita rakyat).
2.
Sunan
Tembayat merupakan anak keturunan dari Pangeran Made Pandan atau Kyai Ageng
Pandanarang I (babad ).[5]
Gambar 1. 3 Gapura Masuk
Makam Sunan Tembayat.
Sumber:
Arsip Pribadi Penulis.
Sumber pertama, pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit telah mengalami
kehancuran walaupun NJ Krom dan Hasan Djafar mengatakan Majapahit
masih ada sampai tahun 1527, namun pada kenyataannya pada waktu itu yang masih
ada hanyalah sisa-sisa keluarga kerajaan yang sedang memperebutkan sisa-sisa
kekuasaan dan harta yang ada serta bukan lagi kekuasaan yang bersifat politik
yang bersifat pemerintahan
seperti sebelum-sebelumnya.
Prabu Brawijaya V merupakan penguasa terakhir di Kerajaan
Majapahit dari tahun 1468-1478, sebelum akhirnya digantikan oleh Girinda
Wardana (1478-1498) dan Patih Udara yang menjabat selama 20 tahun (1498-1518).[6]
Prabu Brawijaya V menjabat sebagai kepala Kerajaan Majapahit dengan durasi
waktu yang cukup singkat yakni selama 10 tahun setelah dirinya diserang oleh
Girinda Wardana sebanyak dua kali, yang pertama tidak berhasil dan serangan
yang kedua membuat pemerintahan Prabu Brawijaya V mengalami kekalahan dan
membuatnya melarikan diri bersama dua orang permaisurinya dan dua penasihatnya
yakni Sabdo Palon dan Nonyo Genggong beserta beberapa prajurit setianya melalui
jalan rahasia dari pengejaran pasukan Girinda Wardana. Selama proses pelariannya,
Prabu Brawijaya V berhasil melarikan diri sampai di Gunung Lawu.[7]
Selama di Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V melepaskan
mahkota dan pakaian kebesaran kerajaan dari tubuhnya terkecuali pusakanya,
kemudian menyerahkannya kepada para pengikutnya. Sebelum melanjutkan perjalanan
ke Barat Daya, Prabu Brawijaya V bepesan kepada para penasehat dan sisan
pasukannya agar menjaga simbol kerajaan yang ditinggalkannya dan bila ada
pasukan Girinda Wardana sedang mencarinya diminta untuk mengatakan bahwa sang
prabu telah moksa. Setelah menyampaikan pesan tersebut barulah Prabu Brawijaya
V beserta kedua istrinya turun gunung meninggalkan
sisa pasukannya dan penasehatnya ke arah Barat Daya di daerah Gunung
Kidul tepatnya di Gunung Temantenan. Selama perjalanan tersebut
Prabu Brawijaya V terhalang oleh
bencana alam berupa banjir saat berada di Sungai Oya, melihat bencana tersebut Prabu Brawijaya
V menunggu sampai banjirnya surut sembari bertapa di bawah pohon besar yang
berjumlah empat.
Mengetahui Prabu Brawijaya V sedang bertapa, Sunan
Kalijaga yang melihatnya kemudian melempatkan sebuah gentong kecil dari atas
bukit dimana sang prabu sedang bertapa. Sang Prabu yang mengetahui ada sebuah
sinar yang jatuh dari atas bukit segera melihatnya dengan mata batinnya dan
barulah Sang Prabu sadar bahwa yang terjaruh ternyata adalah sebuah gentong
(padasan) tempai air untuk bersuci. Sang Prabu yang merasa keberadaanya telah
diketahui oleh orang lain, maka segera Sang Prabu menyelesaikan pertapaannya (njugarake), dari peristiwa tersebut maka
tempat itu kemudian dikenal dengan nama Gunung Gentong. Setelah menyelesaikan
pertapaanya, Sang Prabu kemudian menuju ke arah Selatan bersama kedua istrinya
dan ingin bertemu dengan leluhurnya yang bernama Dewi Gangga di daerah
Ngobaran. Selama di Ngobaran Sang Prabu merasa perasaanya menjadi ragu dan
mempertanyakan rasa cintanya sang istri kepadanya seperti apa. Istri pertama
yakni Bondan Surati menjawab bahwa cintanya kepada Sang Prabu hanyalah sebatas
kuku hitam, sedangkan istri keduanya yakni Dewi Lowati menjawab bahwa cintanya
pada Sang Prabu sebesar Gunung Anakan.
Setelah mendapat jawaban dari kedua istrinya, Sang Prabu
menyimpulkan bahwa yang paling cinta adalah Dewi Lowati, setelah itu Sang Prabu
membuat sebuah prapen (tempat pembakaran yang dibuat dari tumpukan kayu) untuk
melakukan ritual pembakaran diri bersama istri keduanya Dewi Lowati. Setelah
api menyala berkobar-kobar, Dewi Lowati dan Sang Prabu akhirnya melompat
bersama ke dalam kobaran api tersebut dan hal itu membuat istri pertama Sang
Prabu Bondan Surati juga ikut untuk melakukan pembakaran diri di dalam api yang
sedang bekobar-kobar. Setelah ritual pembakaran diri selesai ternyata Sang
Prabu masih hidup dan segar bugar sedangkan kedua istrinya telah mati menjadi
abu, dari tragedi ritual tersebut akhirnya masyarakat menyebut tempat tersebut
sebagai daerah Ngobaran.
Pasca ritual Prapen, Sang Prabu kemudian melanjutkan
ritual menjamasi (memandikan) pusaka yang menggunakan air suci dari daerah
Pladran (sebelah Barat Baron) dan menyimpannya di sebuah gua yang sekarang
dikenal sebagai Gua Pusaka (Gua Saka), kemudian Sang Prabu Brawijaya V
melanjutkan pengelanaanya sampai di daerah Butuh, Serat hingga ke Dukuh Gebang
Sawar (sekarang Desa Kanigoro Saptosari Gunung Kidul) dan selama tinggal di
beberapa wilayah yang di tinggalinya beliau dijuluki dengan banyak nama, yakni
sebagai Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Serat hingga Kyai Jamus. Kyai Jamus disematkan
karena Sang Prabu menjadi seorang dalang wayang Beber dan seorang tabib yang
memiliki keahlian dalam mengobati banyak penyakit, dari kemampuannya itulah
kemudian membuatnya menjadi dikenal banyak oleh masyarakat hingga sampai di
telinga Sunan Kalijogo.
Sunan Kalijogo yang mendengar hal tersebut kemudian melakukan kegiatan pemantauan yakni dengan menyamar sebagai seorang ulama biasa untuk bisa menemuinya, dalam pertemuan tersebut terjadi dialog yang sangat intens yakni pembahasan mengenai keagamaan dan ketuhanan. Selama dialog tersebut mendapat sebuah titik temu bahwa antara agama Hindu dan Islam memiliki tujuan yang sama walaupun memiliki kegiatan praktik yang berbeda. Walaupun begitu Kyai Jamus juga menuruti nasihat dari sang penyamar (Sunan Kalijogo) selama berdiskusi, selain itu sang penyamar juga memberi tahu Kyai Jamus tentang putrinya Adipati Pandanaran I yang sakit lumpuh di Semarang, lalu meminta kepada Kyai Jamus untuk bersedia mengobati putri Adipati Pandanaran hingga bisa berjalan kembali dan Sang Kyai menyetujuinya untuk ke Semarang melakukan pengobatan.[8] Selama menjalani kegiatan pengobatan tersebut, akhirnya sang putri berhasil sembuh kembali dan Adipati Pandanaran mengangkat Kyai Jamus sebagai menantunya (menukahi sang putri) sekaligus mengangkatnya sebagai Pandanaran II, hingga sepeninggal Pandanaran I jabatan Bupati Semarang akhirnya diserahkan kepada Pandanaran II sebagai Adipati di Semarang.
[1] Berdasarkan silsilah Sunan
Tembayat ini, akan kita dapati juga hubungan antara Sunan Tembayat dan
Panembahan Agung Kajoran sebagai menantu setelah menikahi putrinya Sunan
Tembayat (Raden Ayu Biting makamnya
tidak jauh dari lokasi makam Tembayat.
[3] Kartodirdjo
Sartono, “Pengantar Sejarah Indonesia
Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium”. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993). Hlm. 23-24.
[5] Darusuprapta dkk, “Kekunnaan di Bayat Klaten”. (Yogyakarta:
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada). Hlm. 45.
[6] Achmad Sri
Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan
Majapahit: Menelusuri Jejak Sandyakala Imperium Besar Nusantara”.
(Yogyakarta: Araska, 2018). Hlm. 254-256.
[7] Kehancuran Majapahit
sejak awal bukanlah perlawanan antar umat beragama dan keturunan (Islam dan
Hindu, Ayah dan Anak). Merupakan pembalasan demdam oleh Raden Patah atas
tindakan dari Girinda Wardana yang telah merebuh tahtah ayahnya (Prabu
Brawijaya V) dari jabatan kerajaan Majapahit. Lihat: Achmad Sri Wintala, “Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit:
Menelusuri Jejak Sandyakala Imperium Besar Nusantara”. Op. Cit. Hlm.
260-263.
Izin mengutip tulisan kak, terimakasih.
ReplyDeleteSemoga bermanfaat kak.
DeleteThngks kak
ReplyDeleteNice kak
ReplyDeleteNice kak
ReplyDeletenice kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeleteThngks Kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDelete