Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB I Part 3).

 BAB I Part III.

DEMOGRAFI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN.

  1. Klaten Sebagai Pos Tundan (1840-1847).

Berdirinya Benteng Engelenburg tidak lantas bisa menjawab semua problematika konflik di kawasan perbatasan, mengingat pasca perang Jawa 1830 sangat dikhawatirkan akan terjadi pemberontakan susulan. Pada hari Senin 15 Ruwah Be 1768 (12 Oktober 1840) Pakubuwana VII dan Belanda mengadakan kerjasama untuk saling meningkatkan keamanan perjalanan di kawasan-kawasan stategis seperti di Ampel, Boyolali, Sukohardjo, Kartasura, Delanggu, Klaten, Tangkisan, Jagasaman, Sukawati, Mungkung, Kebonromo dan Kedung Banteng. Kerjasama yang dibangun antar keduanya menghasilkan sebuah keputusan untuk membuat semacam Pos Tundan yang memiliki tugas penting sebagai tempat beacukai dalam mengatur serta mengawasi proses keluar masuknya barang, surat-surat dan bertanggungjawab atas perbaikan jalan yang rusak.[1] 

Selain itu, Pos Tundan juga memberikan fasilitas berupa pesanggrahan, angkutan umum yang berupa kuda sebagai moda tranportasi, hal itu seperti yang termuat dalam serat Angger Gunung (1840:3) dan serat perjanjian (119) :

Mungguh kawulaningsun Gunung Desa kang pantes padha ingsun paringi nuwala watesa Tumenggung, kaliwon, Panemu. Dene panggonane padha omah ana sapinggiring lurung gedhe, anyedhakana pos, asisiha Kaliwon Gunung bawah Kadipaten, padha jaga rumeksa pos kareta utawa pos layang lan andandanana dalam utawa anyulamana dalan-dalan kang padha rusak nganggo kabayar saka kantor sapatute watesa lor ing Salatiga, Wates Kidul ing Boyolali“.[2]

Desa Tambongwetan, memiliki jarak yang sangat dekat dengan salah satu tempat Pos Tundan, yakni adalah Pos Tundan yang ada di kawasan Ketandan Klaten. Pos tersebut berfungsi untuk menjaga di keamanan di sepanjang jalan penghubung antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

  1. Klaten Sebagai Kabupaten Gunung Pulisi (1847-1918).

Pembangunan Pos Tundan sebagai tempat untuk memantau proses jalannya lalu lintas cukai di tiap kawasan perbatasan dinilai memiliki dampak yang sangat baik.[3] Oleh karena itu perlu diadakan sebuah perjanjian baru antara Belanda dan Kasunanan Surakarta untuk peningkatan serta memekarkan status Pos Tundan menjadi sebuah Kabupaten Gunung Polisi yang dilengkapi dengan sistem pengadilan pradata di tingkat daerah untuk melesaikan berbagai masalah terutama mengenai batas-batas wilayah yang masih menjadi titik konflik antar kedua Keraton dan konflik-konflik sosial di dalamnya.[4] Hal ini kemudian dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsh Indie, no. 30 1847 tanggal 5 Juni 1847 :

Kalih dening malih, sarehning kadadosan awoning kawontenan wau sekalangkung saking ambebayani, ingatasipun lestantuning kasenengan sarta ketentreman, punapa dene sanget risaking tata ingkang prayogi, tuwin sirnaning wilujeng sarta karahayoning tetiyang alit, malah ngantos boten mawang ingkang sampun leres dados wewenang tuwin raja darbekipun ... dipun wonten Abdi Dalem Gunung”.[5]

Mengacu berdasarkan Staatsblad van Nederlandsh Indie, no. 30 1847 tanggal 5 Juni 1847 tersebut, dapat dijadikan salah satu alasan mendasar untuk melakukan penghapusan lembaga pemerintahan Bale Mangun (sejak pemerintahan Keraton Kartasura) yang dianggap sudah tidak bisa menyelesaikan berbagai persoalan dengan begitu kompleksnya di tiap daerah. Adanya undang-undang ini mendorong untuk memperkuat otonomi di pedesaan yang dilengkapi dengan sistem pengadilan Pradata (hukum Belanda), Kadipaten Anom (hukum pemerintah daerah yang bersandar pada titah raja), dan pengadilan Surambi (hukum agama) di setiap daerah.[6] Hal tersebut tertuang dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie no. 30 tanggal 5 Juni 1847:

Menggah ingkang badhe anggarap prakawis, Tumenggung Polisi dados Presiden Kaliwon satunggal, panewu kalih, Rangga tiga. Ingkang kakanthekaken ing Tumenggung Polisi wau, punika badhe kapacak dados Leid. Wondene Panewu rangga wau ing salah satunggal-tunggaling pangeran badhe tumut anggarap prakawis wonten ing panggadilan wau lan Leid ingkang angrembagi. Wondene Panewu Rangga wau ing salah satunggal badhe kabebahan dening ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan anglampahi padamelan Jeksa”. (Pawarti Surakarta: 92, Pangreh praja Bond, 1938: 173).[7]

Pada tanggal 6 Januari 1873 sejalan dengan perkembangan Kabupaten Gunung Polisi diikuti juga dengan lahirnya surat penetapan pemekaran Asisten Residen oleh Jendral James Loudon untuk membantu Residen dalam menyelesaikan berbagai urusan pemerintahan di berbagai tingkat daerah karena begitu kompleksnya urusan-urusan di tingkat daerah yang harus ditandatangani oleh Residen seperti di Klaten, Sragen, Karangpandan, Sukoharjo, Kartasura, Boyolali, Ampel, Sragen dan di Surakarta.[8]

Pada tahun 1873 dibentuklah daerah-daerah Kabupaten Gunung Polisi yang awalnya masih tidak memiliki kepastian wilayah sejak lahirnya Pos Tundan.[9] Oleh karena itu maka melalui Staatsblad, no 270 tahun 1873 tanggal 23 Agustus 1873 wilayah tersebut terbagi dalam beberapa bentuk administratif distrik dan onderdistrik di wilayah Klaten yakni, terbagi menjadi 6 distrik di bawah yang meliputi kawasan Klaten, Semuluh, Prambanan, Gesikan, Gedangan, dan Kalisoka.

Latar belakang lahirnya sistem pemerintahan Gunung Polisi merupakan lanjutan dari Pos Tundan yang sejak awal digagas oleh Belanda untuk mengurangi pengaruh raja terhadap kawulanya di tingkat paling bawah yakni pedesaan dengan menganggap raja sebagai sebuah simbol dari kerajaan tradisional namun kedaulatannya dipegang penuh oleh Belanda melalui Asisten Residennya di setiap daerah yang di tempati, sehingga melahirkan sebuah sistem pemerintahan secara tidak langsung (indirect rule).[10] Selain itu tujuan utamanya bagi Belanda adalah dengan adanya Pos Tundan dan Gunung Polisi adalah untuk mengamankan segala aset yang dimiliki oleh Belanda di tiap-tiap wilayah dan untuk berjaga-jaga manakala terjadi pemberontakan oleh masyarakat di tiap-tiap daerah.[11]

  1. Klaten Sebagai Kabupaten Pangreh Praja (12 Oktober 1918).

Pada tahun 1918 Kasunanan Surakarta atas persetujuan dari Residen, status Kabupaten Gunung Polisi kini berubah menjadi kabupaten Pangreh Praja sesuai dengan Rijksblad Surakarta no. 23 tahun 1918, pranatan Patih Dalem no. 23 : 169-170:

Para Abdi Dalem Wedana Kaliwon Panewu Mantri sapanunggalane, kang saiki kaaranan Golongan Polisi, nanging kang kewajiban uga nindakake babagan paprentahan, iku ing samengko jenenge Golongan Polisi (Abdi Dalem Gunung Polisi) mau kasalinan aran Abdi Dalem Pangreh Praja”.[12]

Latar belakang dari lahirnya Kabupaten Pangreh Praja ini adalah mengatur status wilayah dan kepemilikan tanah bagi perorangan melalui pembaharuan perundang-undangan agraria yang pengukurannya dimulai dari tanah kepemilikan raja Sri Susuhunan Pakubuwana X di daerah Bumi Pangrembe Nguntaraharja, Klaten dan Bumi Panumping.[13] Kebijakan tersebut berdampak pada penutupan akses para bangsawan Kasunanan terhadap tanah-tanah yang ada di tingkat pedesaan dan hal otu juga mempermudah pihak perusahaan industri swasta dalam melakukan perizinan sewa-menyewa tanah di wilayah Kasunanan Surakarta khusunya di Klaten melalui kebijakan Kompleit di tiap-tiap distrik dan onderdistrik.[14]

Tujuan utama dari diubahnya pemerintahan Gunung Polisi ke dalam pemerintahan Pangreh Praja adalah untuk meringankan beban Bupati Gunung dengan cara memisahkan tugasnya dari yang mengurusi segala macam permasalahan seperti pencurian, kekerasan, pelanggaran, dan tugas lainnya menjadi lebih fokus terhadap masyarakat melalui pengembangan pendidikan, kesejahteraan, ekonomi, sosial, kesehatan dan kebudayaan seperti yang tertuang dalam (Rijksblad Surakarta, 1918, no 24 : 171-172):

Mungguh kuwajibane para Panewu panggadhening distrik sarta para Mantri panggedening Onder Distrik, iku ora ngemungake tumrap babagan Pulisi wae, ananging uga anindakake babagan paprentahan”.[15]



[1] Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 12 Tahun 2007, “Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Lihat: G.J. Resink, “Bukan 350 Tahun Dijajah. Carey Petter, “Kuasa Ramalan. https://www.grobogan.go.id/. Aktif (diakses pada 1 Juni 2021 pukul 08.21).

[2]Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.

[3] Skripsi Achmad Ridwan, “perkembangan Peradilan Perdata Masa Reorganisasi Bidang Hukum di Kasunanan Surakarta Tahun 1893-1903.” Universitas Sebelas Maret tahun 2010.

[4] G.J. Resink, “Bukan 350 Tahun Dijajah. Lihat: Carey Petter, “Kuasa Ramalan”.

[5]Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005. Lihat juga: G.J. Resink, “Bukan 350 Tahun Dijajah.

[6] G.J. Resink, “Bukan 350 Tahun Dijajah”.

[7]Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005, No KIR 159. Hlm. 86. Lihat: Peter. Kuasa Ramalan.

[8] G.J. Resink, “Bukan 350 Tahun Dijajah.

[9] Ibid. Pembentukan pos-pos keamanan (Kepolisian) digunakan sebagai alat untuk menjaga keamanan serta untuk menindak para begundal melalui institusi ini.

[10] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830.

[11] G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah. Lihat juga: Carey Petter, Kuasa Ramalan.

[12]Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten”. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.

[13] G.J. Resink, “Bukan 350 Tahun Dijajah”.

[14] Anderson Benedict R.O’G, “Kuasa Kata Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia”.. Lihat: Carey Petter, “Kuasa Ramalan”. G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah.

[15] Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.

Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka