Perang Kajoran Klaten Tahun 1678-1680.
Pemberontakan Panembahan Romo Kajoran Ambalik Tahun 1678-1680 (Klaten Jawa Tengah).
Gambar: Area Makam Panembahan Romo Kajoran Ambalik.
Sumber :
Arsip Pribadi penulis.[1]
Desa Kajoran merupakan sebuah Desa yang terletak di
wilayah Kecamatan Klaten Selatan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. Desa
Kajoran sendiri memiliki beberapa pedukuhan atau dusun di dalamnya yang terdiri
dari Dusun Barongan, Becilen, Demangan, Gadungmlati, Kadilayar, Karangmojo,
Ngemplak, Tanujayan, Kajoran, Pandeyan dan Sindurejo. Desa Kajoran berbatasan
langsung dengan beberapa Desa lainnya seperti Desa Glodokan di sebelah Utara,
Kecamatan Wedi di sebelah Barat (Desa Pandes) dan Selatan (Desa Sukorejo) serta
berbatasan langsung dengan Kecamatan Kalikotes (Desa Jimbung) di sebelah Timur.[1]
Proses terbentuknya peradaban sosial di Desa Kajoran pada
mulanya sama dengan wilayah-wilayah pedalaman Jawa lainnya yakni terbentuknya
sebuah komunitas sosial yang kemudian menghasilkan sebuah tradisi dan
kebudayaan. Seperti pada umumnya masyarakat Jawa, bahwa masyarakat di Desa
Kajoran adalah penganut aliran animisme dan dinamisme yang akhirnya berakulturasi
dengan Hindu-Budha sebelum akhirnya Islam mulai masuk di Desa
Kajoran. Hal ini juga didukung kuat dengan adanya sebuah temuan-temuan
peninggalan arkeologis yang cukup banyak di kawasan Desa Kajoran baik berupa
patung Lingga dan Yoni, Kemuncak, arca Nandi, arca Mahakala, arca Ganesa,
relief, guci keramik dan peninggalan-peninggalan lainnya yang bercorak
Hindu-Budha di wilayah Desa Kajoran.[2]
Pada saat Sunan Panandaran menempati kawasan Tembayat
setelah mendapatkan tugas dari Sunan Kalijaga untuk melakukan dakwah di
pedalaman Jawa Tengah Selatan, kawasan Kajoran sama dengan kawasan lainya yang
sudah sangat kental dengan pengaruh Hindu Budha sehingga Sunan Pandanaran dalam
melakukan kegiatan dakwahnya sangatlah berhati-hati karena merasa sebagai
seorang pendatang dari wilayah Utara Jawa.[3] Hal
itu sesuai dengan temuan-temuan berupa arca-arca kuno seperti patung Dewa Siwa,
Ganesa dan sebagainya di kawasan ini, dari temuan tersebut membuktikan bahwa
pengaruh Animisme, Dinamisme hingga Hindu Budha sudah sangat berkembang pesat
di Jawa Tengah Selatan.[4]
Besarnya pengaruh Hindu Budha di tanah Jawa Tengah
Selatan tersebut membuat Sunan Panandaran melakukan terobosan dengan cara
mengawinkan salah satu putrinya dengan putranya Panembahan Agung Kajoran selaku
sosok yang memiliki pengaruh besar di Kajoran. Bermula dari upaya jalinan
perkawinan inilah hubungan antara Sunan Tembayat dan Kajoran saling terikat
hubungan sedarah.[5]
Pada masa kekuasaan Mataram Islam di Kota Plered, trah Kajoran memiliki peran
penting dalam perpolitikan di Mataram, pada mulanya trah Kajoran merupan salah
satu penasehat dari Susuhunan Amangkurat I sehingga posisinya dinilai penting
dalam struktur pemerintahan Mataram Islam. Seorong berkembangnya waktu posisi
trah Kajoran mengalami pergeseran setelah menantunya Riyo Menggolo dieksekusi
mati oleh Susuhunan karena sikapnya yang dinilai tidak sopan manakala di
istana.
Hubungan antara Mataram dan trah Kajoran dimulai dengan pernikahan, hal itu dikarenakan posisi Kajoran dikenal sebagai kelompak yang kontra elit terhadap Mataram secara turun-temurun, karena sikapnya itulah trah Mataram menyelesaikannya melalui jalur perkawinan antara putri dari trah Kajoran dengan Panembahan Senopati (Mataram I).[6] Hubungan anatar keduanya mulai mengalami kondisi yang sangat baik sejak era Sultan Agung dan mulai mengalami kondisi yang menegangkan pada masa Susuhunan Amangkurat I.
- Pemberontakan Panembahan Romo Kajoran.
Kasultanan
Mataram Islam mulai mengalami kondisi keemasannya pada masa Sulatan Agung, baik
dari internal maupun eksternal Mataram terkenal akan kepemimpinannya yang
tangguh dan hal itu tercermin manakala Sultan Agung mengobarkan perlawanan
terhadap VOC pada tahun 1628 ke Batavia. Sepeninggal Sultan Agung situasi kondisi Mataram Islam mulai
mengalami kemunduran, hal itu terjadi
karena banyaknya pergolakan dan
kekacauan di dalam dan di luar Istana Matraram Islam pada masa pemerintahan Amangkurat
I yang berkuasa selama 31 tahun pada periode waktu 1646-1677.[7]
Amangkurat I adalah keturunan dari Sultan Agung yang dimana
Sultan Agung memiliki kewibawaan
sangat tinggi dibanyak kalangan seperti Ulama, Kiai, pejabat Keraton dan di
hadapan rakyatnya sendiri, hal itu terceminkan dengan pencapaian-pencapaian yang begitu
banyak selama Sultan Agung menjabat
sebagai raja. Setelah wafatnya
Sultan Agung pada tahun 1645 di Karta Pleret Bantul, tonggak pemerintahan
dilanjutkan oleh anaknya Raden Mas Sayidin yang bergelar sebagai Susuhunan Amangkurat I.[8]
Pada masa kekuasaan Amangkurat I banyak para perjabat,
rakyat dan ulama yang tidak setuju atas semua sikap
dan kebijakan-kebijakan yang diambil
karena sering kali sikapnya menimbulkan gejolak, konflik serta banyak kritikan
dari banyak kalangan. Seperti dalam pengelolaan birokrasi, pengaturan militer yang dianggap penuh dengan nuansa kepentingan Susuhunan
pribadi dan yang
banyak dikritik adalah sikapnya yang memilih untuk manjalin hubungan diplomasi dengan VOC dimana dahulu pada
masa Sultan Agung sangat memerangi orang-orang VOC yang dianggap suka melakukan
kegiatan monopoli.[9]
Di dalam internal Keraton juga terjadi malpraktik pengambilan selir,
menyingkirkan lawan politiknya dengan cara sadis yang berujung pada banyak
pemberontakan seperti perlawanan dari Pangeran Alit (adik Amangkurat I) dan
Pangren Pekik. Hal-hal tersebut dianggap raport merah bagi pemerintahan
Amangkurat I yang menimbulkan banyak perselisihan dengan para kerabatnya.[10]
Pada masa Sultan Agung Ulama memiliki porsi yang sangat
penting khusunya sebagai penasehat Sultan dalam menentukan sebuah kebijakan
pemerintahan. Berbeda dengan masa pemerintahan Amangkurat I, dimana Ulama
justru berbalik badan dengan sangat gentol menyuarakan suara-suara kritikan atas sikap kebijakan Susuhunan yang dianggap telah mendeskriditkan posisi Ulama yang tidak lagi memiliki posisi strategis dalam memberikan
nasehat-nasehatnya terhadap
kebijakan Keraton. Sehingga hal itu membuat semua kebijakan yang telah Amangkurat I pilih menjadi sangat bertentangan dengan banyak kalangan baik Ulama,
pejabat Keraton atau rakyat. Hal itu pula yang membuat perubahan gelar Amangkurat I yang lebih
memilih menggunakan istilah Susuhunan dari pada panembahan
dengan alasan ingin mengembalikan fitrah raja sebagai penguasa mutlak.[11]
Kondisi
yang semakin mengkhawatirkan mengakibatkan hubungan antara Susuhunan dan Ulama’
menjadi semakin meruncing hingga berimbas pada pengambilan sikap Susuhunan untuk membunuh para Ulama yang mengkritik dengan cara mengumpulkan mereka di dalam sebuah kamp yang kemudian menghabisi mereka dengan menggunakan meriam Sapujagatnya atau Pancawara.[12]
Permasalahan di internal kerajaan menjadi semakin rumit
khususnya permasalahan hubungan yang melanda Raden Mas Rahmat (putra Mahkota)
terhadap ayahnya Amangkurat I. Perselisihan tersebut membuat hubungan diantara
keduanya semakin rumit yang melahirkan sebuah perlawanan yang digelorakan oleh
Raden Mas Rahmat (putra Mahkota), hal itu dilatar belakangi oleh kebujakan dari
Amangkurat I yang ingin mengadakan perubahan posisi Adipati Anom kepada putra lainnya,
kebijakan Amangkurat tersebut diakibatkan oleh adanya perebutan selir Rara Oyi
antara Raden Mas Rahmat dengan sang ayah (Amangkurat I) yang berujung pada pergantian
jabatan Adipati Anom. Kebijakan tersebutlah yang mendorong Raden Mas Rahmat
untuk melakukan sebuah perlawanan terhadap ayahnya sendiri yang ingin
mendongkel status sang ayah dari jabatan Sultan Amangkurat I. Usahan Raden Mas Rahmat tersebut berujung pada
kekalahan setelah sang Ayah (Amangkurat I) berhasil menggerakkan pasukan
intelnya dan segera melakukan penumpasan hingga pasca tragedi pemberontakan
tersebut Raden Mas Rahmat akhirnya dibredel jabatannya dari dari posisi Adipati
Anom dan kemudian diasingkan.[13]
Pasca menjalani hukuman pengasingan dan lunturnya atribut
jabatan, Raden Mas Rahmat melakukan perjalanan ke arah Selatan sampai di
wilayah padepokan yang dimiliki oleh Panembahan Romo Kajoran.[14]
Raden Mas Rahmad selama di padepokan langsung bertemu dengan Panembahan Rama
Kajoran dan menantunya (Trunajaya) dari Madura, selama di Kajoran Raden Mas Rahmat mengadakan
sebuah kesepakatan bersma Panembahan Romo Kajoran dan Trunajaya. Kesepakatan yang telah terjadilin diantara ketiganya adalah sebuah rencana untuk melakukan sebuah pemberontakan bersekala
besar untuk menumbangkan kekuasaan
Amangkurat I.[15] Upaya untuk melakukan pendongkelan
tersebut juga dibantu oleh Kalaeng Galengsong yang juga telah menaruh dendam
kepada Amangkurat I yang
telah mengusir para penduduk Makasar yang hidup di Jawa tanpa memberikan belas
kasihan.[16] Sebelum
melakukan perlawanan tersebut,
Panembahan Rama Kajoran meminta kepada Raden Mas Rahmad untuk membiayai seluruh
kebutuhan logistik
perang sedangkan
Trunajaya akan menjalin kerjasama dengan orang-orang membentuk
sebuah pasukan aliansi.[17]
Pada tahun 1676 pasukan aliansi Trunajaya menyerang beberapa
wilayah dan berhasil menguasai
beberapa seperti Pelabuhan, Cirebon,
Rembang, Jepara, Semarang, Surabaya dan Madura. Pada bulan Juni tahun 1677 pasukan Trunajaya bersama mertuanya Panembahan Rama
Kajoran dan Raden Mas Rahmat beserta Kalaeng Galengsong menyerbu
wilayah Negaragung Mataram Islam dan tidak butuh waktu lama pasukan tersebut berhasil memasuki kawasan pusat Kota Matram hingga pertempuran demi pertempuran terjadi.[18]
Pasukan Mataram yang berjumlah 20.000 orang dan dilengkapi dengan 10 meriam Sapujagat tetap tidak bisa menghalau
para pemberontak hingga akhirnya pertahanan Keraton Mataram msemakin melemah dan
berhasil diduduki oleh para pemberontak. Kekalahan Mataram Islam tersebut dilatarbelakangi
oleh akibat banyaknya dukungan yang
terus mengalir terhadap para pemberontak karena banyaknya orang-orang yang telah
dikekecewakan oleh Amangkurat I sehingga hal
itu dianggap kesempatan bagi para pembenci Amangkurat I untuk melakukan pengkhianatan terhadap perintah Amangkurat I.
Pengkhianatan tersebut membuat ketidakberimbangan jumlah pasukan
diantara keduanya sehingga pasukan
Mataram kalah dan Amanagkurat I melarikan diri ke arah Timur
menuju kawasan Wanakarta.[19]
Pada saat
perang antara Mataram dan pasukan aliansi Trunajaya bergejolak, terjadi percekcokan antara Trunajaya dengan Raden Mas Rahmat yang
disebabkan oleh perilaku para
pemberontak yang melakukan penjarahan terhadap pernak pernik kerajaan, melihat
ketidaksesuaian dengan isi kesepakatan awal mendorong Raden Mas Rahmat yang awalnya menjadi
pembelot terhadap Amangkurat I berbalik
badan dan
langsung bergabung dengan
pasukan Mataram untuk melindungi ayahnya selama perjalanan mengungsi ke wilayah Timur di kawasan Wanakarta. Pada waktu perjalanan
melarikan diri, Amangkurat I mengalami sakit yang sangat parah hingga
membuatnya meninggal dalam perjalanan menuju kawasan Wanakarta dan berwasiat pada anaknya supaya
melanjutkan pemerintahan di Wanakarta dengan menjalin kerjasama dengan VOC serta
memintanya untuk dimakamkan di Tegalarum.
Raden
Mas Rahmat yang mendapat wasiat tersebut segera memenuhi segala amanat yang
telah diwasiatkan dari sang Ayah dengan memakamkannya di Tegalarum dan setelah
semua kondisi politik, social dinilai cukup aman segera mendirikan Keraton Kartasura
serta menjalin kerjasama dengan VOC untuk menumpas semua pemberontak, dalam
kerjasama tersebut VOC meminta pada Susuhunan Amangkurat II untuk menyerahkan
wilayah mancanagari sebagai bahan imbalannya.[20]
Keberhasilan
pasukan aliansi pemberontak yang dipimpin oleh Trunajaya tersebut, membuat
seluruh fasilitas kerajaan menjadi porak poranda dan situasi tersebut membuat Panembahan Rama Kajoran berkeputusan untuk
tidak melanjutkan peperangan hingga menguasai Keraton beserta segala pernak perniknya dan justru lebih memilih untuk kembali ke Selatan untuk melanjutkan rutinitasnya
sebagai guru, pendakwah dan mengembangkan padepokannya.[21]
- Akhir Dari Pemberontakan Panembahan Rama Kajoran.
Setelah kematian Amangkurat I, Raden Mas Rahmat diangkat
sebagai Amanagkurat II dan bekerjasama dengan VOC untuk meredam perlawanan dari
Trunajaya beserta pemberontak lainnya seperti Panembahan Rama Kajoran
dan Kalaeng Galengsong.[22]
Perlawanan demi perlawanan terjadi antar kedua kubu tersebut,
pertempuran tersebut akhirnya mengalami
titik balik terhadap pasukan Amangkurat II, dimana pada tanggal 25 Desember 1679
pasukan Amangkurat II yang bekerjasama dengan pasukan Bone di bawah pimpinan
Arung Palaka berhasil menumpas
pasukan Makassar yang dipimpin oleh Kalaeng Galengsong, sedangkan pasukan Trunajaya yang berhasil melarikan diri dan kembali ke Madura
sebagai buronan.
Di Madura Trunajaya dibujuk oleh kakaknya Cakraningrat II
untuk menyerahkan diri kepada Amangkurat II dan VOC agar permasalahan yang ada segera selesai dan agar situasi kondisi social, politik dan ekonomi kembali damai. Trunajaya yang awalnya menolak akhirnya
mengikuti saran dari kakaknya namun dengan imbalan jaminan hidupnya
akan aman bila menyerahkan diri. Trunajaya
yang
mengikuti saran dari kakknya tersebut akhirnya menyerahkan diri ke Amangkurat II dan VOC, Trunajaya akhirnya berhasil ditangkap di Surabaya. Pada tahun 1680 Trunajaya
merasa
dikhianati oleh kakaknya Cakraningrat II,
hal itu dikarenakan Amangkurat II dan VOC tidak memenuhi janjinya untuk menjamin keselamatan hidupnya dan malah
diserahkan kepada Amangkurat II untuk dieksekusi mati
bersama para pengikutnya dengan
menggunakan keris kiai
Belabar.[23]
Sebelum
tahun 1680, tepatnya pada tahun 1679
pasukan VOC dibawah pimpinan Kapten Jan Albert Sloot melakukan
ekspedisi dengan begerak maju menuju kawasan
Pajang ke arah Selatan hingga sampai di kawasan Kajoran. Selama di kawasan Kajoran Jan Albert Sloot
segera menyusun strategi untuk membunun Panembahan Romo Kajoran yang telah
melakukan pemberontakan terhadap Matram. Tidak butuh waktu lama, Jan Albert
Sloot segera melakukan penyerangan terhadap padepokan Panembahan Romo Kajoran
hingga terjadi peperangan besar di kawasan itu. Selama
perang Kajoran bergelora banyak sekali fasilitas dan bangunan di padepokan yang
terbakar serta masyarakat banyak yang meninggal dan dalam kobaran api tersebut
juga berhasil membunuh Panembahan Romo
Kajoran dengan menggunakan meriam.[24]
Jenazah Panembahan Romo Kajoranpun ditemukan dalam kondisi yang hancur dan
dimakamkan di luar area kompleks leluhurnya dikarenakan perbuatannya yang melakukan
perlawanan terhadap Matram sehingga Susuhunan tidak mengizinkannya dimakamkan
di area makam bangsawan yang telah dihuni oleh pendahulunya.
gtag('config', 'UA-217200274-1');
[1] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Klaten Kantor Kecamatan
Kebonarum, “Cerita Rakyat Panembahan Rama
Kajoran Klaten.” Tahun 1992.
[3] De graaf mengutip silsilah
Kajoran dari sebuah artikel karangan Tjandradata dalam majalah Serat Tjandra
jilid ke-1 tahun 1923. Majalah ini diterbitkan oleh Radyapustaka Surakarta pada
masa pengelolaan R.T.H Djoodiningrat II. Lihat: Siswanta dan Aries tri
Haryanto, “Publick-Private Partnersip
dalam Pengelolaaan Museum Radya Pustaka Surakartan Kota Surakarta. Jurnal
Mutiara Madani.
[5] Lihat pada gambar 1.1.
Lihat juga: M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Saputra Pandji, “Kajoran Lintas
Zaman”.
[6] Kartodirdjo Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Lihat juga: Carey Peter, Takdir.
[10] Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah Jawi.. Lihat juga: M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Kartodirdjo Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900.
[12] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Klaten Kantor Kecamatan
Kebonarum, “Cerita Rakyat Panembahan Rama
Kajoran Klaten.” Tahun 1992. Lihat juga: Abimanyu Soedjipto,
Babad Tanah Jawi.
[13] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Lihat juga: Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah Jawi.
[14] Trunajaya merupakan calon penerus sah ayahnya Adipati Cakraningrat, namun dalam perjalanannya Trunajaya harus terusir dari tanah kelahirannya sendiri setelah dijungkal oleh adiknya Cakraningrat II melalui fitnah dalam skandal perselingkuhannya dengan putri Cakraningrat II dengan tujuan menggantikan kakanya Trunajaya sebagai penerus ayahnya Adipati Cakraningrat. Trunajaya segera mengunjungi makam kakenya Kuda Panoleh untuk meminta sebuah wangsit untuk kehidupannya, setelah mendapatkan wangsit Trunajaya disuruh untuk melakukan perjalanan menuju Barat (Jawa Tengah Selatan) dan sampailah di sebuah kawasan yang bernama Kajoran. Di Kajoran Trunajaya akhirnya menikahi putri dari Panembahan Rama Kajoran. Lihat: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Klaten Kantor Kecamatan Kebonarum, “Cerita Rakyat Panembahan Rama Kajoran Klaten.” Tahun 1992. Lihat juga: Rachmat, Ringkasan Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Dasar dan madrasah Ibbtidaiyah. (Jakarta: Grasindo, 1999). M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
[15] Latar belakang Panembahan
Rama Kajoran untuk melakukan sebuah perlawanan adalah prihatinyya beliau atas
situasi yang ada dan Pembuhuhan atas menantunya serta kematian Pangeran Alit
dan Pekik atas perintah Amangkurat I. Lihat: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Klaten Kantor Kecamatan
Kebonarum, “Cerita Rakyat Panembahan Rama
Kajoran Klaten.” Tahun 1992. Lihat juga: Diponegoro, Babad Diponegoro. Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah Jawi.
[16] Carey Petter, Kuasa Ramalan. Lihat
juga: Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah
Jawi. Kartodirdjo Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900.
[17] Kalaeng Galengsong memiliki sebuah permasalahan pribadi dengan Amangkurat I atas penolakannya untuk memberikan sebidang sebagai perkampungan orang-orang Makassar. Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah Jawi. Lihat juga: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Klaten Kantor Kecamatan Kebonarum, “Cerita Rakyat Panembahan Rama Kajoran Klaten.” Tahun 1992. Diponegoro, Babad Diponegoro.
[18] Rafles Thomas Stamford, The History Of Java. Lihat juga: M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Kartodirdjo Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900.
[19]
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Lihat
juga: Aktif
(diakses pada 6 Juni 2021 pukul 13.14).
[23] Rafles Thomas Stamford, The History Of Java. Lihat juga: Diponegoro, Babad Diponegoro.
Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah
Jawi.
[24] Kartodirdjo Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Lihat juga: M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2008..
Cocok untuk referensi, thangks kak.
ReplyDeletesemoga bermanfaat kak.
DeleteThangks kak
ReplyDeleteNice kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteThngks Kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus kak
ReplyDeleteNice Kak
ReplyDeleteBagus Kak
ReplyDeletekeren gan
ReplyDeleteGambar Geotextile Non Woven
Lebih baik bila isi tulisan mengacu pada ahli sejarah yang kredibel dan bila mengutip cerita rakyat yang isinya patut diragukan, semestinya dijelaskan sebagai mitos.
ReplyDeleteSebagai warga klaten, saya juga tertarik dgn sejarah daerah klaten, termasuk sejarah klan kajoran.
bookmark untuk referensi jikalau suatu hari perlu
ReplyDeleteUkuran Geotextile Semua Gramasi
nice
ReplyDelete