Perang Jawa di Desa Tambongwetan Kabupaten Klaten (BAB I Part 1).

BAB I Part I.

“JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN TAHUN 1826-1827”

DEMOGRAFI DESA TAMBONGWETAN KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN.

Gambar 1.1 Peta Pajang Surakarta.

Sumber : Dokumen Hari Jadi Kabupaten Klaten.[1]

Sebelum tahun 1825, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya telah mempersiapkan banyak hal untuk keperluan perang. Berbagai hal penting yang telah dipersiapkan olehnya diantaranya adalah, strategi pertahanan, perlawanan, logistik dan upaya dalam memobilisasi masyarakat untuk ikut andil dalam perang.[2] Langkah awal yang diambil Pangeran Diponegoro adalah dengan melakukan pertemuan bersama beberapa bangsawan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal 29 Oktober 1824 terjadi sebuah pertemuan untuk pertama kalinya yang dilakukan antara Pangeran Diponegoro dengan para bangsawan lainnya seperti Bupati Karanganyar, Bupati Bagelen, Bupati Kulon Progo sebagai salah satu bukti betapa seriusnya Pangeran Diponegoro dalam mempersiapkan segala hal yang diperlukan.[3]


Pertemuan tersebut membahas dua hal penting yang sangat strategis yakni segera melakukan konfrontasi atau bersabar menanti waktu yang pas untuk melakukan perlawanan. Tidak hanya sebatas pertemuan di Tegalrejo, pertemuan demi pertemuan juga seringkali dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, yakni salah satunya adalah dengan Pangeran Adiwinoto dan para Pangeran Kasultanan Yogyakarta lainnya.[4] Selain melakukan lobi-lobi terhadap para bangsawan, Pangeran Diponegoro juga melakukan mobilisasi kepada masyarakat untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya, khususnya masyarakat yang tinggal di bawah wilayah kekuasaan Pangeran Diponegoro.


Pupuh XXI (Durma).

.....................

27. Berkata (Pangeran Mangkubumi) “Anakku, aku ingin bertanya, keinginanmu tidak kuduga, kenapa banyak orang, apa maksudnya ini? Hatiku khawatir dengan dirirmu.”

28. Kanjeng Pangeran Diponegoro berkata “Ini, Kiai, orang yang datang ini kemauan sendiri, tidak ada yang mengundang, silahkan ditanya.


29. Ini pimpinannya, semua sudah di sini sudah siap semua.” Kanjeng Pangeran Mangkubumi lalu bertanya kepada semuanya.

30. “Semua datang ke sini ada apa?” Semua menjawab, “Saya mendengar berita, kalau anak paduka akan diincar oleh Belanda.

31. Semua orang Jawa tidak ihklas kalau sampai dibawa Belanda yang senang menumpas dan menganiaya.”Kanjeng Pangeran Mangkubimi berkata, “Aku tidak diberitahu”.[5]

....................


Upaya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro untuk melakukan mobilisasi masyarakat adalah dengan cara mengambil langkah pembebasan pajak atau upeti pada akhir-akhir sebelum terjadinya perang Jawa pada tanggal 20 Juli 1825.[6] Upaya ini dilakukan dalam rangka mengambil simpati dari masyarakat supaya tergerak untuk ikut dalam perang Jawa, sehingga dampak dari pembebasan pajak atau upeti tersebut dapat digunakan untuk kepentingan perang, seperti pembekalan dan penyediaan alusista perang.[7]


Pada awal permulaan pergolakan perang Jawa, banyak wilayah yang menyatakan dukungannya kepada Pangeran Diponegoro untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.[8] Salah satu wilayah yang juga ikut mendeklarasikan perang Jawa adalah di wilayah Pajang Surakarta pada tanggal 16 Juli 1825. Di Pajang Surakarta, telah terkumpul pendukung Pangeran Diponegoro dengan dilengkapi beberapa alusisnta seadanya. Pada tanggal 19 Juli seorang Demang dari Grojogan bersama pasukan Surakarta tersebut yang berjumlah sekitar 100 orang kemudian bergerak menuju Tegalrejo untuk bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.[9] Dukungan tersebut terbentuk karena pangeran Diponegoro telah melakukan jalinan komunikasi sebelumnya dengan beberapa pihak seperti para bandi desa, ulama, wong durjono dan masyarakat.[10]


  1. Kondisi Geografis.

Gambar 1.2 Peta Desa Tambongwetan.

Sumber: Dokumen Desa Tambongwetan.[11]

Desa Tambongwetan memiliki jarak kurang lebih 35 km dari Keraton Kasultanan Yogyakarta dan memiliki jarak kurang lebih 33 km dari Keraton Kasunanan Surakarta serta Kadipaten Mangkunegaran. Jarak tersebut cukup jauh dari kedua pusat pemerintahan dan termasuk dalam wilayah negaragung di bawah naungan pemerintahan vorstenlanden Kasunanan Surakarta Hadiningrat.[12]


Geografis Desa Tambongwetan adalah salah satu desa yang termasuk ke dalam Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. Desa Tambongwetan berbatasan langsung dengan beberapa desa lainnya yakni di sebelah Utara berbatasan langsung dengan Desa Gemblegan, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Krajan, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kalikotes, di sebelah Barat berbatasan dengan dengan Desa Gumulan.


Topografi Desa Tambongwetan tergolongan dalam kawasan yang berada di wilayah dataran rendah yang memiliki luas wilayah ± 128.0050 m². Desa Tambongwetan memiki beberapa dukuh di dalamnya yakni Dukuh Cupuwatu, Genengan, Jetis, Soka, Jogodayoh, Tempel, Muningan, Guruhan, Tambongwetan, Tambongkulon, Tambonggede.[13]


Berdasarkan letak lokasi tersebut yang terdapat di wilayah Pajang (Klaten) Selatan maka, dapat disimpilkan bahwa kawasan Desa Tambongwetan merupakan salah satu desa yang dinilai cukup terisolasi. Walaupun begitu Desa Tambongwetan memiliki jarak kurang lebih 4 km dari Benteng Engelenburg, 12 km dengan pusat penyebaran dan pembelajaran Islam di Tembayat serta 9 km dengan pusat pembelajaran Islam di Kajoran. Sehingga kawasan Desa Tambongwetan dapat difahami bahwa, memiliki pengaruh politik dan mempunyai pengaruh Islam yang cukup besar mengingat dekatnya denga kawasan Tembayat serta Kajoran.[14]


Gambar 2.3 Makam tokoh penyebaran Islam di Pajang Selatan.




Sumber: Arsip pribadi.[15]

Secara geografis kawasan Desa Tambongwetan tidak cocok bila digunakan sebagai tempat untuk bersembunyi ketika terjadi fase-fase diaspora pasukan tempur laskar Diponegoro. Hal itu dikarenakan letaknya sangat dekat dengan Benteng Engelenburg Klaten sekitar 4 km, selain itu benteng tersebut yang berdiri sejak tahun 1806 didukung dengan fasilitasi 12 pasukan berkuda (dragunder), 40 pasukan pribumi dan 40 pasukan campuran prajurit dibawah pimpinan Letnan Pitlar.[16]


Gambar 2.4 Peta Kabupaten Klaten.

Sumber: Web resmi Kabupaten Klaten.[17]

    Walaupun tidak begitu cocok sebagai tempat bersembunyi, Desa Tambongwetan masih cukup aman untuk menjadi opsi tempat tujuan manakala fase-fase diaspora. Selain itu, para pasukan laskar Diponegoro memilih Desa Tambongwetan karena dalam kondisi yang sangat genting mengingat kawasannya masih lebat dengan pepohonan, terisolasi dan jaraknya dekat dengan medan perang. Mengingat dekatnya kawasan Desa Tambongwetan dengan Tembayat dan Kajoran diharapkan mampu memobilisasi masyarakat yang notabene pengaruh islamnya masih kuat sejak Sunan Pandhanarang dan Panembahan Romo Kajoran, sehingga dapat menggalang masa yang besar serta bergabung dengan pasukan tempur laskar Diponegoro.[18]




[1]Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005.

[2] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro. Lihat: Carey Peter, “Kuasa Ramalan.

[3] Carey Peter. “Kuasa Ramalan”.

[4] Carey Peter. “ Takdir”. Lihat juga: Carey Peter. “Kuasa Ramalan.

[5] Diponegoro, “Babad Diponegoro Versi UNESCO”.

[6] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”. Lihat juga: Carey Peter. “Kuasa Ramalan.

[7] Ibid.

[8] Carey Peter. “Asal Usul Perang Jawa.

[9] Carey Peter. “Kuasa Ramalan.

[10] Ibid.

[11] Mengenal Sejarah Desa Tambongwetan“. Dokumen Kantor Balai Desa Tambongwetan Tahun 1980.

[12] Ibid.

[13] Ibid..

[14] Diponegoro, “Babad Diponegoro versi UNESCO”. Lihat: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Klaten Kantor Kecamatan Kebonarum, “Cerita Rakyat Panembahan Rama Kajoran Klaten.” Tahun 1992. Rachmat, Ringkasan Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Dasar dan madrasah Ibbtidaiyah. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

[15] Foto atas merupakan kawasan makam Panembahan Romo Kajoran dan Panembahan Agung Kajoran. Sedangkan foto bawah merupakan area makam Sunan Pandhanarang bersama keturunannnya dan pengikutnya. Dari foto-foto tersebut membuktikan bahwa proses islamisasi di wilayah Pajang Selatan sangatlah kuat pengaruhnya.

[16] Sentono Citro. “Serat Babadipun KGPAA Mangkunagoro II”. Lihat: “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten. Kesekretariatan Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2005. Diponegoro. “Babad Diponegorro versi UNESCO. Swapraja Saduran“ Muhammad Husodo Pringgokusumo, Rekso Pustoko Mangkunegaran. Artikel karangan G.P. Rouffaer. “ VORSTENLANDEN.

[17] Aktif (Diakses pada tanggal 29 Mei 2021 pukul 13. 59 WIB).

[18] Djamhari Saleh As’ad, “Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830”.

Comments

Post a Comment

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka