Ulama Dan Era Industrialisasi

 

 Pergeseran Peran Ulama' Dalam Tatanan Sosial Masyarakat Industrial.


Kedudukan ulama' (ahli agama, 'ulama' ad-din) mulai mengalami pergeseran kedudukan bila masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang industrial. Sebetulnya krisis ulama' sudah sangat dirasakan sejak Munawir Sjadzali menjadi Mentri Agama Republik Indonesia (periode 1983-1993).

Melalui programnya yang disebut Madrasah Plus (melalui intelektual), ditujukan untuk menanggulangi krisis ulama' pada waktu itu. Namun bila krisis ulama' pada waktu itu bisa ditanggulangi dengan cara intelektual, problem lain juga masih melekat pada krisis itu yakni hilangnya peran ulama' dalam tatanan sosial masyarakat.

Pada waktu Muktamar III PPP, ulama' marah besar kepada para elit politik yang hadir pada waktu itu. Kemarahan tersebut tidak lepas dari penurunan peran ulama' di kalangan masyarakat, selain itu pada momen tersebutlah momen-momen terakhir para ulama' berperan sebagai peranan sosial. Kalau tidak bersuara melalui mimbar Muktamar PPP kepada siapa lagi ulama' mengharapkan pengertian. Namun rupanya para elit politik yang hadir dalam Muktamar tersebut ditak menangkap maksud dari masalah sosial ini, dan mungkin perhitungan politiklah yang paling penting.

Masyarakat Agraris.

Dalam sistem negara patrimoial, seorang raja dapat membagikan kekuasaan, kehormatan dan kekayaannya kepada siapapun yang dikehendakinya karena sang raja adalah seorang yang membentuk sistem birokrasinya. Sedangkan posisi ulama' diletakkan sebagai hamba raja (abdi dalem) yang berperan sebagai kadi atau penghulu dalam sistem pengadilan. Selain itu ulama' juga berperan sebagai pengurus masjid kerajaan, makam resmi, dan pendidikan yang sering dibebaskan dari upeti atau setoran pajak negara. (Ronggo Warsito (1802-1874) pujangga Jawa terakhir dan santri dari pesantren Ponorogo, Jawa Timur).

Namun dalam perjalanan sosial, peranan ulama' menjadi sangat penting dalam counter elit yang mampu menyaingi strata hierarki dalam sebuah birokrasi yang dibentuk oleh raja. Sepanjang penjajahan Belanda, faham ideologi jihad (Ratu Adil) juga sangat dipelihara oleh sebagian besar para ulama', sehingga para ulama'lah yang harus menanggung resiko terbesar seperti dibunuh, diculik, atau dibuang. Hal itu juga seperti yang dialami oleh Haji Rifa'i dari Pekalongan, seorang pendiri gerakan Rofa'iyah yang ditangkap dan dibuang Belanda ke Ambon pada tahun 1859.

Pada masa kedudukan Jepang, peran ulama' sangat penting dalam memobilisasi massa. Ulama' juga aktif dalam proses perang kemerdekaan dengan membentuk laskar-laskar seperti laskar Hizbullah-Sabilillah. Selama proses pembentukan sejarah Indonesia, para ulama' tidak pernah mangkir dari peranannya sebagai tokoh penting dalam tatanan sosial masyarakat.

Perubahan Sosial dan Budaya.

Menurut Karael Steenbrik, pendidikan islam di Indonesia akan menuju sistem sekolah. Hal itu pastinya mempengaruhi pengaruh para ulama' dalam tatanan sosial masyarakat, yang mana hal itu akan dijelaskan melalui sekema beriku ini :

Masyarakat

Ulama

Komuikasi

Peran

Rekrutmen

Pra-industrial

kiai

lisan

sosial

genealogis

Semi industrialisasi

guru

tertulis

politik

segmental

Industrial

mitra

elektronik

intelektual

sporadis

Berdasarkan dari skema tersebut, ternyata keberadaan ulama' juga menyangkut bentuk komunikasi antara para ulama' dengan masyarakat dan dan asal usul pencariannya. Hal utama yang akan dibahas adalah masalah kelembagaan antara hubungan ulama' dan santri, serta ulama' dan kurikulum.

Awalnya para ulama' tinggal di seuah pesantren yang kemudian menyebarkan pearuhnya ke penduduk setempat dan mulai mengalami perkembangan dalam hubungan yang bermuara pada dijadikannya ulama' sebagai tokoh yang kharismatik. Walaupun sang ulama' telah meninggal, namun masyarakat teta tidak akan pernah meninggalkan ulama'nya. Hal itu terjadi karena pada waktu melakukan dakwah, sang ulama menggunakan metode komunikasi untuk menyebarkan akwahya. Sehingga terjalin hubungan secara emosional antara ulama dan masyarakatnya.

Perubahan sosial juga terjadi pada tahun 1915, yang mana Ahmad Dahlan mencari murid untuk diajar seperti yang terjadi saat mengajar para muridnya dari Yogyakarta menuju Surakarta. Ia menjadi seorang guru pengajar di Kauman Surakarta dan hal yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan adalah salah satu hal yang baru pada waktu itu, hal itu juga sangat berbanding terbalik dengan konsep para kiai yang mana sang murid mencari guru bukan guru mencari murid seperti yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan.

Seiring dengan berjalannya wakru, proses pengajaran mulai mengalami perkembangan dari yang dilakukan secara komunikasi berkembang menjadi secara tulisan. Sehingga pada fase semi pra-industrialisasi, hubugan personal mulai mengalami peralihan dan lebih cenderung kepada impersonal.

Sementara itu, seiring perkembangnya waktu terdapat pergeseran peran ulama' dalam tatanan sosial, yakni ulama' bergabung menjadi politikus dan terlibat aktif dalam perpolitikan. Seperti yang terjadi pada Sarekat Islam, yang mana para tokoh elitnya banyak yang melakukan perekrutan para ulama' sehingga pada waktu itu para ulama' juga mulai mempelajari politik. Dampak dari itu semua adalah penyusutan peranan ulama' dalam tatanan sosial, dari yang impinan sosial menjadi pimpinan kelompok. Definisi umatpun mulai mengalami pergeseran, dari yang sosial menjadi politik dan apa yang disebut umat adalah dia yang disebut sebagai santri. Ulama' yang direkrut dari golongan santri dan sangat loyal pada definisi umat juga mengalami definisi yang mulai kian sempit.

Perkembangan mulai terjadi lagi, yakni dari pandangan impersonal berubah menjadi abstrak. Msyarakat tahu bahwa ulama' itu ada, namun masyarakat juga menemukan ulama' ada dimana-mana. Masyarakat dengan mudahnya menemukan ulama' melalui media koran, TV, Radio dan itupun adapula ulama' yang lahir dari kalangan non santri dengan kata lain akan datang dari mana-mana secara sporadis. Hubungan antara ulama' dan masyarakat mulai memasuki fase dimana ulama' sebagai mitra saja dan tidak lebih jauh dari sekedar kekaguman yang abstrak.

Masyarakat Industri.

Mengutip dari pernyataan dari alm. Zainuddin M.Z (1994), bahwa dalam struktur tatanan sosial masyarakat moderen para ulama' akan mengalami masa-masa pensiunnya. Dalam tatanan sosial masyarakat industrialisasi ini, para ulama' tipe kiai dan guru akan berubah menjadi sebatas mitra saja dan tidak ada lagi perbedaan antara ulama' dan non ulama', ahli ilmu agama dan ahli ilmu dunia, kesemuanya dapat tempat di kalangan tatanan sosial masyarakat sekarang. Sesungguhnya pada fase seperti ini yang kita butuhkan adalah ulama' sebagai sebuah kategori intelektual bukan sebagai mitra.

 

Sumber : Prof. Dr. Kuntowijoyo (Muslim Tanpa Masjid).

 

Comments

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka