KABUPATEN KLATEN : Dualisme Pengaruh Budaya Antara Yogyakarta dan Surakarta

 

Kabupaten Klaten : Dualisme Pengaruh Budaya Antara Yogyakarta dan Surakarta


Gambar : Ilustrasi Gambaran Kehidupan Sosial di Wilayah Perbatasan.

Tanggal 28 Juli tahun 1804 merupakan hari penetapan kelahiran Kabupaten Klaten, bila dihitung sampai sekarang usia Kabupaten Klaten telah memasuki usia ke-218. Merujuk pada bukunya pemkab Kabupaten Klaten “Studi Penelitian Hari Jadi Kabupaten Klaten” yang diterbitkan tahun 2005 telah mencatat bahwa, alasan mendasar pemkab menetapkan tanggal 28 Juli adalah sebagai hari lahirnya Kabupaten Klaten dilandasi oleh peristiwa peresmian pendirian Benteng Klaten (Lodjie Engelenburg). Pendirian benteng tersebut terletak di Desa Klaten yang mana istilah nama klaten sendiri adalah hasil disimilasi verbal dari kata mlathi (makam Kyai Mlathi) hingga dikenal sebagai Klaten.


Gambar : Potret Kecamatan Bayat dari atas Masjid Tembayat Klaten (wilayah perbatasan Kab. Klaten dan Kab. Gunung Kidul.

Pasca perjanjian Gianti pada tahun 1755, wilayah antara Keraton Yogyakarta dan Surakarta telah ditetapkan pembagian secara acak (terbelencah-belencah) dengan tujuan agar wilayah yang subur dan yang kurang subur bisa terbagi secara merata. Dampak dari pembagian wilayah secara acak tersebut pada akhirnya melahirkan masalah yang baru bagi kedua keraton khususnya di wilayah perbatasan seperti di Klaten, masalah tersebut berupa ketimpangan aturan hukum, pajak, kebijakan yang saling tumpang tindih, pembagian air bersih dan ketimpangan lainnya. Memanasnya hubungan antar kedua keraton tersebut membuat pihak Kasunanan Surakarta melalui Patih K.R.A Mangkupraja ingin mengadakan rekonsiliasi dan menyelesaikan konflik di wilayah perbatasan seperti yang terjadi di Klaten (Kalathen: sebutan pada waktu itu) melalui perundingan dan disaksikan oleh pihak Belanda.




Gambar Potret Lingkungan Kantor BPCB Jawa Tengah.

Hasil perundingan antar kedua keraton telah melahirkan beberapa keseakatan salah satunya adalah pendirian Benteng Klaten (Lodjie Engelenburg) di Desa Klaten yang kini telah menjadi Masjid Raya Klaten dan Alun-alun Klaten. Pada hari Sabtu 28 Juli 1804 dimulailah peresmian pendirian Benteng Klaten yang diresmikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV, dalam proses pembangunannya dikerjakan oleh teknisi Belanda H.C Cornelius dibawah pengawasan Letnan Kolonel Larel Von Wollzogen hingga pembangunan Benteng Klaten berhasil diselesaikan pada tahun 1806.


Gambar Potret Sosial Masyarakat Klaten di pedesaan periode tahun 2020 - 2022.

Pengelolaan admistrasi Benteng Klaten tersebut sesuai dengan kesepakatan diserahkan sepenuhnya kepada pihak Belanda dan biaya operasional seluruhnya dikenakan kepada kedua keraton Jawa. Sebagai penjaga di wilayah perbatasan, Benteng Klaten dilengkai dengan beberapa pasukan seperti 12 pasukan berkuda (dragunder), 40 pasukan pribumi yang terdiri dari kedua keraton dan 40 pasukan campuran prajurit non pribumi dibawah pimpinan Letnan Jendral Pitlar. Selain kelengkapan pasukan, di area benteng juga difasilitasi kereta kuda untuk moda transportasi, taman dan pembangunan jalan raya penghubung Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Tujuan dari kelengkapan fasilitas tersebut tidak lain adalah untuk memperlancar fasilitas mobilisasi di wilayah perbatasan dari perilaku kriminal seperti perampokan, penjaraahan, pembunuhan, pencurian, pemberontakan dan kriminal lainnya.                                                                                                                   


Gambar : Potret Masyarakat Klaten di Rawa Jombor.

Pengaruh pembagian wilayah secara acak yang ada di Kabupaten Klaten sejak masa kerajaan Jawa sampai sekarang masih bisa dirasakan oleh masyarakat Klaten. Walaupun Keraton Kasunanan Surakarta resmi dibekukan oleh pemerintah orde lama dari status daerah istimewanya (swapraja) pada tahun 1946, keterbelahan wilayah Klaten tersebut masih bisa dirasakan oleh masyarakat setempat walaupun tidak berbentuk dalam aturan hukum dan kebijakan seperti yang terjadi pada masa kerajaan, melainkan berbentuk dalam kecondongan hati dan budaya yang dianutnya.

Keraton Kasultanan Yogyakarta pasca perjanjian Giyanti tahun 1755 mencoba melakukan beberapa terobosan perubahan terhadap budaya Jawa, seperti corak arsitektur keratonnya, bentuk keris, gamelan, wayang, busana pernikahan, Surjan atau beskap, corak batik, warna batik dan lain sebagainya. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk membedakan budaya antara Yogyakarta dan Surakarta. Perbedaan budaya tersebut juga berpengaruh terhadap sosial masyarakat Jawa khususnya yang berada di wilayah perbatasan seperti Kabupaten Klaten.

Berdasarkan hasil riset yang saya lakukan pada awal bulan Oktober 2022 dan dibantu dengan sekitar 56 responden yang tersebar di 20 kecamatan di Kabupaten Klaten telah menyimpulkan bahwa dari arah Barat (Kecamatan Manisrenggo sekitarnya) sampai arah Timur di Kecamatan Klaten Utara sekitarnya dan Dari arah Utara (Kecamatan Tulung sekitarnya) sampai arah Selatan di Kecamatan Bayat sekitarnya telah menghasilkan kesimpulan bahwa, wilayah tersebut telah didominasi oleh budaya dari warisan Kasultanan Yogyakarta. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya masyarakat saat mengadakan acara pernikahan sering menggunakan busana paes ageng Yogyakarta dan batik yang digunakannya adalah berwarna dasar cerah dengan corak gadung melati dengan mayoritas didominasi warna hijau. Selain itu berdasarkan hasil wawancara banyak juga yang menilai kedekatan wilayah dan dirinya lebih mengarah ke budaya Yogyakarta.

Selain itu wilayah Klaten dari arah Barat (Kecamatan Ceper sekitarnya) sampai arah Timur di Kecamatan Karangdowo sekitarnya dan dari arah Utara (Kecamatan Polanharjo) sampai arah Selatan di Kecamatan Cawas sekitarnya telah tersimpulkan bahwa, wilayah tersebut telah didominasi oleh pengaruh budaya warisan Kasunanan Surakarta. Hal itu dibuktikan dengan terdapat masyarakat yang saat mengadakan acara pernikahan masih banyak menggunakan blangkon tanpa pentolan, penggunaan busana basahan dan batik yang digunakan kebanyakan adalah berwarna dasar sogan dan dengan corak bangun tulak yang didominasi oleh warna biru.


Walaupun dahulu wilayah Klaten mayoritas masuk dalam otoritas Kasunanan Surakarta, namun berdasarkan hasil riset yang saya lakukan tersebut telah menyimpulkan bahwa kini budaya masyarakat di Kabupaten Klaten kebanyakan telah dipengaruhi budaya dari Yogyakarta dari pada budaya Surakarta. Kemungkinan hal itu disebabkan oleh pembekukan status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) sehingga tidak leluasa merawat budayanya dan disisi lain berita terkait konflik internal Kasunanan Surakarta yang berpengaruh terhadap kedekatan dirinya dengan budaya Surakarta.

Comments

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka