Gurita Tambang Pasir Ilegal Di Klaten Jawa Tengah

 Gurita Tambang Pasir Ilegal Di Klaten Jawa Tengah


Foto : Penambangan pasir di Kec. Kemalang, Kab. Klaten, Prov. Jawa Tengah.

Secara umum kebutuhan pokok manusia adalah pakaian, makan dan tempat tinggal. Walaupun kategori tersebut kini berkembang dan bertambah istilah baik itu kesehatan serta pendidikan nyatanya kebutuhan manusia semakin lama semakin variatif tergantung perkembangan zaman. Dalam hal ini faktor utama yang menjadi poin penting adalah tempat tinggal (Jawa: Papan), yang mana untuk menciptakan papan ini membutuhkan banyak bahan material baik itu besi, kayu, semen, batu bata dan lain sebagainya serta tidak lupa hal utama lainnya adalah pasir.


Pada awalnya bagi masyarakat Nusantara pasir bukanlah bahan utama dalam mendirikan bangunan rumah melainkan adalah kayu dan batu bata sebagai bahan pokok dalam pendirian rumah. Seiring perkembangan waktu pada transformasi periode abad ke-19 menuju awal abad ke-20 telah berkembang cukup banyak masyarakat yang menggunakan pasir sebagai bahan utama untuk mendirikan bangunan. Pasir pada dasarnya merupakan sumber daya geologi yang karena proses sosial mengalami perubahan dari sekedar bahan alam berubah menjadi bahan kebutuhan papan

.


Kebutuhan pasir tersebut membuat pasar eksploitasi pasir sulit dikendalikan oleh otoritas, apalagi di negara-negara dengan tata kelola lemah dan struktur elit yang kleptokratis. Kondisi tersebut melahirkan penambangan pasir secara seporadis, hal itu didukung juga dengan atas besarnya permintaan pasar terhadap pasir membuat eksploitasi pasir semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu timbulah kategorisasi penambangan pasir secara ilegal dan legal.


Pengkategorian ilegal dan legal sendiri masih membingungkan karena tidak ada batasan antara aktivitas dan pelaku yang melanggar hukum dan yang tidak, hingga memunculkan kondisi regulasi yang tumpang tindih. Tentu kondisi tersebut dimanfaatkan oleh beberapa orang sebagai celah untuk melakukan eksploitasi dan terkadang regulasi yang belum tepat tersebut menjadi jalan untuk terus melakukan ekspansi penambangan pasir secara meluas.


Penambangan Di Kabupaten Klaten Jawa Tengah.


Pembuatan regulasi yang kurang tepat membuat celah bagi beberapa orang untuk melakukan eksploitasi pasir seperti yang terjadi di Kecamatan Kemalang Kabupaten Katen Jawa Tengah. Seperti yang digabarkan oleh Syaifulloh (2021) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa Perpres no 70 tahun 2014 juga mengingat pada Kecamatan Kemalang Klaten sebagai zona linung, hortikultura dan perkebunan bukan sebagai pertambangan. Sejak 2019, pemerintah Kabupaten Klaten sudah tidak mengeluarkan izin pertambangan dan berdalih mengeluarkan izin perkebunan khususnya wilayah bekas tambang tersebut. Latar belakang keluarnya izin penataan perkebunan adalah untuk mengatasi lahan bekas tambang yang tak direklamasi. Selain penambang ilegal juga terdapat kurang lebih tujuh penambang pasir yang masih memiliki izin di Klaten.

Tahun 2019, kepala desa di Kecamatan Kemalang memberikan 40 izin penataan perkebunan untuk perbaikan lingkungan, namun seiring berjalannya waktu justru digunakan sebaliknya untuk aktivitas penambangan pasir di lereng Gunung Merapi. Mereka yang mendapatkan izin penataan perkebunan hanya fokus mengeluarkan material pasir dan bebatuan, alih-alih mengupayakan tindak lanjut untuk aktivitas ekonomi perkebunan yang akhirnya lahan tersebut ditinggalkan begitu saja setelah pengerukan pasir sedangkan aktivitas untuk perkebunan diabaikan begitu saja.

Seperti kutipan (Syaifulloh, 2021), izin penataan perkebunan yang murah dan pemrosesan izin penambangan yang harus sampai di Kementrian ESDM membuat penambang pasir di Kemalang, Klaten mengambil jalan pintas seperti itu, dengan pindah lokasi penambangan yang baru dengan perizinan penataan perkebunan baru. Selain itu juga terdapat pelanggaran lain yang telah ditemukan, yakni pengambilan material yang melebihi batas waktu dan pengerukan melebihi volume yang semestinya hingga mengeruk tebing serta meninggalkan galian yang sangat curam.

Menurut (Syaifulloh, 2020), berlakunya UU no. 3 tahun 2020 yang menjadi regulasi minerba yang baru dapat menarik kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pertambangan termasuk pasir ke pemerinah pusat, hal itu tentu menyulitkan dalam pengaturan di lapangan. Dampak dari kewenangan tersebut mengakibatkan proses mitigasi terhadap praktik penambangan hanya dapat dilakukan oleh pihak kepolisian saja, yakni Polres Klaten yang hanya fokus terhadap penambang yang belum memiliki izin. Selama priode 2022, Polres Klaten berhasil mengungkap kurang lebih enam kasus penambang ilegal yang belum memiliki izin dari kementrian ESDM.

Berdasarkan wawancara dengan warga Kemalang dan para penambang, terkadang didapati pula proses mitigasi yang dilakukan oleh oknum pihak keamanan yang hanya bertindak sebagai formalitas, yang mana para penambang akan diberikan kabar pada hari yang sudah ditentukan untuk tidak melakukan kegiatan pertambangan dan hanya disisakan satu unit bego atau truk yang akan dijadikan barang bukti kepada pimpinan kalau oknum tersebut telah melakukan kegiatan inspeksi di lahan area penambangan pasir tersebut.

Di lapangan, salah satu pelaku yang ditangkap juga tidak bersedia dikatakan sebagai pelanggar hukum dengan asumsi telah memiliki perizinan, namun hanya saja belum melengkapi perihal pengelolaan dan pemantauan lingkungannya saja. Sejumlah 106 penambang juga menyangka apabila telah mendapatkan SIUP (Surat Izin Usaha Pertambangan) melalui Online Single Submission (OSS) dapat melakukan kegiatannya tersebut. Padahan proses yang para penambang lakukan masih belum selesai yang mana berdasarkan Pemda Klaten hanya terdapat tujuh penambang yang hanya memiliki izin.

Peggunaan OSS di sisi lain juga berdampak pada penyulitan pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, koordinasi dan mendapatkan kontribusi ekonomi dari hasil penambangan pasir di daerahnya. Masalah semakin rumit setelah setelah berlakunya UU 3/2020 perihal perizinan harus ke pemerintah pusat dan bukan lagi melalui OSS. Pada tanggal 8 Juni 2023 terdapat, modus terbaru juga ditemukan di Klaten, yang mana para pelaku tambang berdalih melakukan reklamasi lahan, namun justru menambang pasir curah.

Regulasi Pertambangan Yang Kacau

Sebagian besar masnyarakat bergantung pada nilai guna pasir untuk menghidupi mereka. Mereka tidak mengambil pasir karena yang berada di tempat mereka saja bisa mencukupi kebutuhan seperti digunakan dalam bertani. Ada juga yang melihat keuntungan dari nilai tukar pasir. Pasir diambil untuk dijadikan komoditas yang menyebabkan penambang pasir seringkali membawa konsekuensi terhadap terjadinya gesekan kepentingan antara masyarakat dan berbagai pihak (John, 2021).

Relasi masyarakat di wilayah penambangan pasir juga seringkali terjadi ketimpangan antara mereka yang bergantung pada nilai guna dengan mereka yang ingin menikmati nilai tukarnya saja. Bagi mereka yang berupaya memanfaat nilai tukar pasir tak jarang menggunakan intimidasi dan berbagai bentuk kekerasan demi mempertahankan penambangan. Apalagi penambangan pasir merupakan bantalan kondisi krisis,  dengan menerima limpahan angkatan kerja yang terlempar dari sumber penghidupan sebelumnya (John, 2021).

Pada tahun 2010 setelah terjadinya erupsi Gunung Merapi, sektor pertanian tidak lagi menjadi tumpuan hidup. Yang mana masyarakat lebih memilih beraih ke sektor penambangan pasir, dengan begitu mereka dapat menyekolahkan anak dan menopang hidup. Para penambang juga menolak rencana normalisasi Sungai Woro oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Kemalang dan kontraktor pada tahun 2018 demi menopang penghidupan mereka. Beberapa warga kemalang juga berani menghadang aparat yang berupaya melakukan penggrebekan pada 24 Februari 2023.

Carut marut regulasi penambangan pasir setempat membuat Bupati Klaten mengadu pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mana ia tak bisa lagi menanganinya sendiri. Pemda Klaten seakan tak mampu menghadapi carut marut pertambangan, hal itu juga dibuktikan dengan serapan retribusi angkutan bahan galian C. Hingga Agustus 2022, etribusi yang masuk baru Rp. 100 juta dari target Rp. 3 miliar pada akhir tahun.

Buruknya tata kelola regulasi membuat penambang pasir di Klaten menjadi semakin tak terkendali dan justru membawa kerugian lingkungan dan ekonomi. Struktur ekonomi politik yang kompleks di lapangan juga beriringan dengan dengan pengelolaan yang buruk di Kantor Pemerintahan dan justru membuat regulasi penambangan menjadi mulus hingga tak terkendali. Akibat regulasi terlah terbajak untuk kepentingan ekstrasi kini penambang berani melawan sekalipun yang bertindak adalah aparat keamanan dan jajaran pemerintahan lainnya.

Comments

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka