Sejarah Kabupaten Klaten

Klaten

Foto : Sumber pribadi penulis.

Status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa kolonial Hindia Belanda merupakan dua imperium besar di tanah Jawa Selatan dengan status kedudukan sebagai wilayah vorstenlanden[1] (swpraja) yang mempunyai hak istimewa zelfbesturende landscappen (mengatur kerajaannya sendiri) secara preogatif.[2] Secara hukum wilayah nagaragung tidak terikat oleh sebuah UU seperti daerah mancanagari yang dipimpin oleh residen Belanda secara langsung, melainkan berbadan hukum berdasarkan pada perjanjian yang diakan oleh raja dengan Gubernur Jendral melalui politik kontak (Politiek Contract). Politik kontrak mempunyai dasar hukum yang kuat karena dibuat oleh keduah belah pihak yang mendapat persetujuan langsung dari Dewan Perwakilan Kerajaan Belanda. Politik kontrak sendiri mempunyai dua jenis kontrak yang bisa dilakukan berdasarkan status kekuasaannya: kontrak panjang (Lang Contract) yaitu berisi tentang kesetaraan kekuasaan antara Kerajaan di Jawa dengan Belanda yang mengikat Kasunanan Surakarta (S 1939/614) dan Kasultanan Yogyakarta (S 1941/47). Kontrak pendek (Korte Verklaring) yaitu berisikan mengenai pengakuan terhadap sebuah kekuasaan yang lebih kecil dari tingkat sebuah kerajaan dan ini mengikat Mangkunegaran (S 1940/543)[3] dan Pakualaman (S 1941/577). Sedangkan pada masa kekuasaan Jepang, Kasunanan Surakarta (Kooti Sumotyookan) dan Yogyakarta (Kooti Hookookai) merupakan daerah yang bersetatus hokum sebagai Kochi (daerah Istimewa) dengan jabatan raja sebagai Kooti.[4]

Pada masa kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 melalui pidato Sukarno semua kekuasaan Jepang dan bekas Belanda diambil alih oleh Pemerintah Indonesia dan sekaligus pembuatan pemerintahan yang untuk mengurus segala administrasinya.[5] Mendengar pidato tersebut segera oleh Sri Susuhunan Pakubuwana XII dan Mangkunegara VIII melalui Kepatihannya Handajanata mengeluarkan sebuah maklumat berupa Sabda Pandhita Ratu yang diterbitkan pada tanggal 1 September 1945 menyatakan bahwa wilayah Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran secara de facto dan de jure mengakui kedaulatan pemerintah Indonesia dan bersedia bergabung dengan Indonesia sebagai wilayah istimewa yang bertanggungjawab secara langsung dengan pemerintah Pusat.[6]

Pada tahun 1946 merupakan masa-masa yang sangat krusial bagi pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Kekrusialan ini terjadi karena dilatar belakangi oleh tragedi-tragedi revolusi sosial yang digagas oleh Tan Malaka sehingga membuat wilayah ini menjadi bak penyimpanan kayu bakar yang kering sehingga bisa kapan saja memanas. Tragedi sosial ini lahir ketika terjadi ketidak cocokan dalam membangun konsep kemerdekaan antara Tan Malaka yang membawa konsep “merdeka 100%”[7] dengan model politiknya Syahrir “Perdjoeangan Kita” yang mengedepankan diplomasi dari pada perlawanan.[8] Pada saat setelah merdeka Ibu Kota Jakarta mengalami situasi porak poranda diakibatkan oleh penyerangan Belanda yang berhasil menduduki wilayah itu. Sri Sultan Hamengkubuwana IX kemudian menawarkan kepada Sukarno untuk memindahkan pusat kekuasaanya di Yogyakarta. Pemindahan kekuasaan di Yogyakarta tidak sertamerta berpindah administrasinya saja melainkan juga para oposisinya yang juga ikut berpindah namun di Surakarta sebagai basisnya.[9] Kekecewaan rakyat Surakarta terhadap keraton selama kekuasaan Belanda dan Jepang menimbulkan penderitaan yang luar biasa terhadap rakyat[10] sehingga Tan menggagas sebuah mosi untuk menggungat keraton supaya memberikan status kedaulatan istimewanya kepada kedaulatan rakyat.[11]

Proses perjalanan revolusi di Surakarta mengalami dinamika yang sangat mengerikan karena para revolusioner yang tergabung dalam aliansi rakyat menentang keraton sehingga menimbulkan tindakan-tindakan anarkis seperti penculikan, pembunuhan, perampasan dan gagalnya keraton dalam mensejahterakan rakyat Surakarta dengan menjalin hubungan dengan Belanda.[12] Dalam menanggapi hal itu kemudian Kasunanan Surakarta bersedia untuk melepaskan status keistimewaanya dan menyerahkan masalah itu kepada pemerintah pusat.[13] Oleh pemerintah pusat melalui perpres tanggal 15 Juli No. 16/SD/1946 membekukan status keistimewa Surakarta dan segera dibentuklah pemerintah daerah Surakarta setelah pembekuan status keistimewaan keraton Surakarta.[14]

Pembekuan Daerah Istimewa Surakarta (swapraja) sebagai kawasan Karesidenan Surakarta pada tahun 1946 digabungkan dengan Provinsi Jawa Tengah. Pada awal berdirinya Kabupaten Klaten yang sebelumnya tergabung dengan swapraja Surakarta, sementara semua sistem pemerintahannya masih mengikuti pola lama yang dipimpin oleh Bupati, Kliwon, Mantri Jaksa, Mantri Kabupaten, Mantri Pembantu, Mantri Doistrik, Penghulu, Carik Kabipaten angka 1 dan 2, Lurah Langsik dan Langsir. Susunan penguasaan Distrik terdiri dari pamong Distrik (1 orang), Mantri Distrik (5 orang), Carik Kepanawon angka 1 dan 2 (2 orang), Carik Kemanten (5 orang) dan Kajineman (15 orang).[15]

A.    Konflik Tanah Lungguh DI Wilayah Perbatasan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta (Klaten).

Peradaban Jawa sangat terpengartuh oleh kebudayaan Hindu Budha terhadap yang telah mengalami proses asimilasi yang sangat panjang sejak karajaan Salakanegara sampai kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Hasil dari proses asimilasi ini menjadi sebuah kultur yang sangat mendarah daging baik di bidang sosial, politik, dan budaya yang masih dijalankan secara turun temurun di Jawa. Kepemilikan tanah dalam setiap kerajaan (tanah lungguh) selalu menjadi hak preogatif seorang raja untuk menghidupi segenap keluarga besarnya dan para pejabat yang dekat dengan raja serta dalam mengelola pemerintahannya.[16]

Pasca perjanjian Giyanti 1755 lahir sebuah permasalahan baru yang menjadi sorotan dalam anatar kalangan kerajaan. Persoalan yang sangat fundamental adalah problem tanah lungguh menjadi sebuah konflik besar yang terjadi antar keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang tak kunjung selesai. Diponegoro memandang konflik tanah lungguh merupakan sebuah pertanggungjawaban atas kebijakan yang dilakukan oleh Belanda yang telah membagi wilayah Keraton Kasultanan Mataram Islam menjadi terbelencah-bencah sehingga susah dijangkau oleh para Bupati. Menurut Beberapa sumber laporan Belanda pembagian wilayah setelah perjanjian Giyanti merupakan sebuah konspirasi pangeran Mangkubumi yang mendesak VOC supaya dilakukan sebuah pembagian tanah yang adil agar wilayah-wilayah yang subur juga terbagi secara merata sehingga terhindar dari konflik dengan Kasunanan Surakarta ketika akan terjadi gencatan senjata.[17]

Apapun alasan yang melatar belakangi konflik pembagian wilayah tanah lungguh yang acak-acakan (Belang-bontengnya) tetap merupakan sebuah konflik yang sangat rumit untuk diselesaikan, karena memiliki dampak yang berkepanjangan dan saling berkaitan seperti konflik pengairan, pertanian, pertanahan, perpajakan dan penegakan hukum. Menurut Crawfurd, konflik pembagian wilayah tanah lungguh kadang diabaikan oleh para pemegang jabatan Keraton yang mendapat tugas sebagai seorang Tumenggung karena begitu sulitnya akses untuk menuju wilayah penugasan yang harus melalui medan tempuh yang berupa rawa-rawa, hutan-hutan lebat penuh jurang[18] dan banyak hewan buas yang sangat berbahaya serta minimnya sarana prasarana yang belum memadai.[19] Berbeda dengan Raden Mas Said dan Diponegoro yang sangat memberikan perhatian khusus terhadap tanah lungguh yang menjadi haknya karena sangat berpengaruh terhadap eksistensi wilayah yang menjadi kekuasaanya.[20]

Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sangat menyorot wilayah Klaten (nama Sekarang) karena di wilayah ini menjadi kawasan perbatasan yang saling persinggungan secara geologi. Klaten menjadi jalan penghubung utama anatara Keraton Yogyakarta dan Surakarta sehingga sangat rentan sekali akan terjadinya sebuah konflik sosial terutama dalam penetapan serta penegakan hukum karena ketidak jelasan tapal batas anatar dua kerajaan yang pemicu konflik fundamental. Melihat konflik yang berkepanjangan di wilayah perbatasan Belanda berinisiatif mengambil sebuah sikap untuk menengahi antar kerajaan besar yang sedang berselisih melalui meja perundingan. Selama proses perundingan disepakatilah sebuah pembangunan benteng (Lodji) di Desa Klaten[21] pada Sabtu Kliwon 12 Rabiulakir 1731 (28 Juli 1804) sebagai tapal batas kekuasaan antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.[22]

Pembangunan benteng (Lodji) Engelenburg di Desa Klaten pada tahun 1804 merupakan pemindahan benteng yang sebelumnya berada di Desa merbung. Pemindahan benteng sebagai tindakan lanjutan atas kesepakatan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak keraton sebagai bentuk penyelesaian sengketa tanah lungguh di sebelah Timur keraton Yogyakarta dan sebelah Barat keraton Surakarta yang selama ini menjadi problem yang tak terselesaikan.  Pembuatan benteng (Lodji) Engelenburg dikerjakan oleh teknisi Belanda H.C Cornelius dibawah pengawasan Letnan Kolonel Larel Von Wollzogen.[23] Pembangunan benteng Engelenburg selesai pada tahun 1806, benteng ini selain bertujuan sebagai tapal batas kerajaan Yogyakarta dan Surakarta juga berfungsi sebagai tempat pengelolaan administrasi, penjara, pos keamanan dan penegakan hukum di pusatkan kawasan perbatasan di Desa Klaten. Sebelumnya pengelolaan administrasi, hukum, dan kemanan masih terbagi-bagi di kawasan Klaten Selatan, Klaten Tengah dan Klaten Utara.[24]

B.     Sejarah Kabupaten Klaten.

Kabupaten Klaten merupakan sebuah Kota yang terletak di Provinsi Jawa Tengah yang menjadi garis singgung secara langsung dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah Barat serta Selatan, dengan Kabupaten Sukoharjo di sebelah Timur, dan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah Utara. Secara geografis Kabupaten Klaten terletak dalam koordinat 110°30´-110°45´ bujur Timur dan 7°30´-7°45´ lintang Selatan dengan luas wilayah mencapai 665,56 km2. Topografi Kabupaten Klaten terletak diantara gunung Merapi dan pegunungan Seribu yang berdiri diatas ketinggian yang berbeda-beda seperti 9,72% terletak di dataran rendah dengan ketinggian 0-100 meter dari permukaan air laut, 77,52% terletak di dataran sedang dengan ketinggian 100-500 meter dari permukaan air laut dan 12,76% terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 500-1000 meter dari permukaan air laut.[25]

Pada tahun 1749 kawasan Klaten adalah bagian dari imperium[26] Kasunanan Surakarta dan beberapa bagian kecil masuk Kasultanan Yogyakarta. Kawasan ini merupakan sebuah tempat kecil yang menjadi bagian dari pembagian wilayah distrik Jawa dan Madura yang di dalamnya sudah terdapat beberapa Provinsi serta Kabupaten yang dikepalai oleh seorang Wedono. Pembagian distrik didasarkan pada serat Nawala Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin Panata Gama VII, pada Senin Legi 23 Jumadillakhir Dal 1775 (5 Juni 1847) dalam bab 13 disebutkan: “ …………” Keraton dalam Surakarta Adiningrat Nganakake Kabupaten cacah enem. : “…………” Kabupaten cacah enem iku Nagara Surakarta, Kartosuro, Klaten, Boyolali, Ampel lan Sragen. “ …………” Para Tumenggung kewajiban rumeksa amrih tata tentrem bawahane dhewe-dhewe serta padha kebawah marang Raden Adipati.[27]

 

Istilah nama Klaten sendiri diambil dari ortakala Setda Kab Dati II Klaten tahun 1992/1993 dan serat Narwapada 1919:1921 historis nama Klaten (Bahasa Jawa: Klathen)[28] berasal dari kata Melati yang telah mengalami disimilasi[29] verbal (Jawa: gethok tular) masyarakat Jawa secara turun-temurun karena kebiasaannya mencari kemudahan dalam pengucapannya sehingga istilah Melati mengalami dinamika kebahasaan dari istilah Mlathi, Klathi, Klathen dan mengendap menjadi nama Klaten.

Menurut Mbah Bowo (Juru Kunci Makam Kiai Melati)[30] Istilah melati sendiri dipopulerkan oleh seorang tokoh abdi dalem keraton Kasultanan Mataram Islam di Kartasura bernama Sekolekan yang dimakamkan di dukuh Sekalekan (nama dukuh yang diambil dari sebagian namanya sendiri) yang terletak di Jl. Anggrek No. 12, Ngepos, Klaten Kec. Klaten Tengah, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah 57411.

Sosok Sekolekan sendiri hidup sekitar 275[31] tahun yang lalu pada abad ke-18 (1726-1742M) pada masa pemerintahan Pakubuwana II.[32] Sekolekan terkenal dengan sebutan melati karena profesinya yang setiap hari mencari bunga melati dan membudidayakannya di pekarangan yang telah disediakan oleh Pakubuwana II untuk keperluan ritual kagamaan dan kebudayaan. Selain dikenal sebagai sebutan melati, sekolekan ini juga mendapat julukan oleh masyarakat sekitar sebagai seorang kiai yang dianggap memiliki kesaktian dan merupakan sosok berbudi luhur. Berkat kepopuleran Kiai Melati Sekolekan tempat ini sering disebut masyarakat sebagai kawasan Klaten yang meliputi beberapa dukuh seperti Ngepos, Sidowayah dan Tegalmulyo.[33]

Kawasan Klaten yang termasuk kedalam distrik Jawa menjadi bagian dari wilayah provinsi negaragung. Klaten pada waktu itu hanya sebuah kawasan kecil tidak terkenal dan hanya berupa sebuah desa yang masih kalah jauh jika dibandingkan dengan nama Delanggu, Prambanan yang memiliki sebuah kawasan besar dan terkenal sehingga keduanya juga pernah menempati posisi sebagai pusat kota sejak kekuasaan Kasultanan Pajang.[34] Desa Klaten mulai banyak dikenal luas oleh masyarakat Jawa Selatan setelah pembangunan benteng Engelenburg pada tahun 1806. Terlebih lagi kawasan Klaten merupakan sebuah wilayah yang memiliki letak yang strategis sebagai jalan lintas utama penghubung Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.5]

Kawasan Klaten pada periode tahun 1840 setelah terjadi perang Jawa mulai dikembangkan sebuah Pos keamanan yang disebut Pos Tundha di dekat benteng Engelenburg sebagai alat untuk menjaga kemanan setiap perjalanan yang melindasi jalan utama penghubung Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.[36] Peran Pos Tundha sebagai beacukai di kawasan perbatasan dilengkapi hukum pengadilan perdata yang berkaitan dengan sistem peradilan raja, serambi (pengadilan agama) dan Kadipaten Anom (peraturan Bupati/ Pemerintah daerah).[37]

Pada tahun 1847 Pakubuwana VII terus membenahi sistem kemanan dan pertahanan di wilayah perbatasan dengan meningkatkan kawasan Klaten[38] menjadi Gunung Pulisi yang bertugas sebagai pusat pengakan hukum dalam perkara-perkara di kawasan ini.[39] Pada 1873 setelah meningkatnya status Gunung Pulisi Belanda mulai penempatan wakil asisten residennya di kawasan ini yang bertugas untuk menjaga jalannya sistem peradilan serta hukum.[40] Melihat adanya double kekuasaan di kawasan Klaten[41] yang pigang oleh seorang Wedono dan Asisten Residen membuat kawasan ini dikategorikan sebagai wilayah indis[42] karena memiliki dua corak kultur yang telah mengalami asimilasi budaya dari Eropa dan tradisional Jawa dalam konsep bahasa, hukum dan tata kelola negara serta pemerintahan.[43]

Pada tahun 1918 Pakubuwana X meningkatkan status pemerintahan dari Gunung Pulisi menjadi Kabupaten Pangreh Praja,[44] peningkatan status ini dilatar belakangi oleh konflik antara Kasunanan Surakarta dan Belanda dalam membuat serta menjalankan sistem peradilan di kawasan perbatasan.[45] Berdasaran Staatsblad tahun 1927 Kabupaten Pangreh Praja Klaten merupakan bagian dari afdeling yang berada dalam karesidinenan Surakarta.

Pada tahun 1946 pasca tragedi pemberontakan sampai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta, wilayah-wilayah Kota Praja eks Karesidenan Surakarta di gabungkan dengan Provinsi Jawa Tengah. berdasarkan pada undang-undang nomor 13 tahun 1950 tentang pembentukan daerah-daerah Kabupaten di dalam Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Klaten pada tanggal 18 Oktober 1987 melalui peraturan pemerintah nomor 41 tahun 1986 menjadi sebuah kawasan Kota Administratif.[46]

C.    Perkembangan Fasilitas Publik Kota Klaten pada awal abad XX

  1. Sarana pemerintahan

Sarana pemerintahan administrasi di Klaten dikelola oleh sorang Tumenggung yang di gedung pemerintahan Bupati (sekarang Gedung Panandaran). Sedangkan Belanda menempatkan Assisten Resident di tempat yang tak jauh dari pusat pemerintahan Bupati yang berada di Samsat Klaten dan rumah Dinas Bupati Klaten saat ini (tempat sekarang). Fasilitas pemerintahan lain yang juga dikembangkan antara lain waterschaapkantoor (perdinasan milik Hindia Belanda yang melayani pengairan) yang saat ini menajdi kantor perusaan Daerah Air Minum Kabupaten Klaten dan Kartiprojo (semacam dinas yang melayani pekerjaan umum Kasunan Surakarta) (lokasi terdapat di sekitar pemakaman Eropa atau hutan Kota).

  1. Sarana Permukiman Masyarakat

Kota Klaten terdapat banyak pemukiman yang digunakan oleh berbagai elemen masyarakat berdasarkan etnisnya yakni permukiman Eropa, permukiman Tionghoa dan permukiman masyarakat Jawa. Bangsa Eropa yang tinggal di dekat pusat pemerintahan dan pusat transportasi dianggap sangat menguntungkan untuk mereka karena mendapatkan sebuah akses yang mudah untuk menjalankan aktivitas mereka dan mendapatkan pengawasan yang ketat ketika terjadi perselisihan dengan bumiputra. Kaum Tionghoa biasanya menempati tempat yang strategis karena mereka selain mencari tempat untuk bermukim sekaligus juga mencari tempat untuk berdagang sehingga banyak sekali pemukiman Tionghoa yang berupa pertokoan sekaligus tempat tinggal. Sedangkan pemukiman bumiputra sifatnya penyebarannya lebih tersebar di segala penjuru Kota Klaten dari perkampungan sampai tingkat perkotaan.

  1. Sarana Hukum dan Keamanan

Sejak masa peralihan Kasultanan Kartasura ke Kasunanan Surakrata pada tahun 1746 sistem peradilan dan pemerintahan sudah mulai dipengaruhi oleh Belanda dalam menyelesaikan sebua perkara yang ada dan dalam menentukan sebuah kebijakan hukum yang membuat perkembangannya menunjukkan penetrasi dalam sistem tata peradilan dan hukum Keraton Kasunanan Surakarta.

Sistem peradilan di Kasunanan Surakarta telah banyak mengalami perubahan setelah menguatnya penetrasi sistem Belanda yang sangat intens. Rekonstruksi sistem peradilan mulai diakuisisi oleh Belanda secara bertahap yang menyebabkan kebijakan Sri Susuhunan banyak dipengaruhi oleh peradilan dan tata hukum buatan Belanda. Walaupun begitu legitimasi Sri Susuhunan masih tetap terjaga di hadapan rakyatnya. Namun akibat intervensi Belanda dalam sistem sistem peradilan menjadikan Sri Susuhuan hanya bersifat simbolik dalam sistem bernegara Keraton kasunana Surakarta.

Pos Tundha memiliki tugas sebagai beacukai tempat untuk memantau keluar masuknya barang dan penjagaan kemanan selama perjalanan. Sarana prasaranan dalam mengatur kemanan dalam kota Klaten semua dikerjakan oleh otoritas penegak hukum dari benteng Engelenburg (saat ini didirikan Alun-alun dan Masjid Raya Klaten) yang ditegakkan oleh stand politie (polisi Kota)[47] yang bermarkas di kantor Kepolisian Sektor Klaten Selatan.

Penegakan hukum dikelola oleh Landraad[48] (pengadilan Negri yang sekarang sudah diubah menjadi pertokoan dan dipindahkan di Pengadilan Klaten yang ada di wilayah Klaten Utara) yang menangani berkas pelanggaran masyarakat yang berkaitan dengan sistem peradilan raja, serambi (pengadilan agama) dan Kadipaten Anom (peraturan Bupati/ Pemerintah daerah) dan setelah penjatuhan hukum kemudian diserahkan kepada geveangenis (saat ini menjadi Lembaga permasyarakatan Kelas IIB Klaten).[49]

  1. Sarana Perekonomian dan Industry

Sarana prasarana perekonomian di kawasan Klaten mayoritas diusung oleh kegiatan perdagangan di pasar yang sejak dulu sudah ada dan mengalami perkembangan perdangan seiring berkembangnya teknologi dan industri di kawasan Klaten. Perkembangan pasar di Klaten sudah banyak menyebar di berbagai tempat terutama pasar Klaten yang terletak sebelah dari benteng Engelenburg dengan bebagai jenis dagangan yang ditawarkan baik berupa sayuran, buah-buahan, kain, dsb yang dilakukan dengan antar etnis baik bumiputra, Eropa maupun dengan Tionghoa.

Kegiatan Industri di Klaten pada abad XX masih dalam kategori perkembangan baik berupa industri rumahan atau industri pabrik yang melengkapi kebutuhan sandang papan dan pangan pada waktu itu. Kawasan Klaten perindustrian yang paling terkenal adalah perindustrian gula yang ada di Gondang Winangoen Jogonalan Klaten. Perkembangan industri dan teknologi semakin berkembang seperti proefstation (laboratorium penelitian tembakau hingga 2017 masih berfungsi sama, saat ini dalam tahap pembangunan hotel) kalkbranderij (pabrik pembakaran kapur yang berada di bukit patrun Bayat, saat ini bangunan tidak difungsikan) ijsfabriek (pabrik es, saat ini bangunan tidak difungsikan) bataafsche petroleum maatschappij (saat ini berdiri perumahan dengan toponim perumahan Rakyat BPM) dan houtstapelplaats (Gudang penyimpanan kayu) saat ini menjadi pemukiman).

  1. Sarana komunikasi

Sarana komunikasi pada awal abad XX merupakan sebuah komponen penting dalam melakukan sebuah perhubungan. Pada awal abad XX Klaten sudah mengalami sebuah perkembangan seperti post-en telegraafkantoor (kantor pos dan telegraf, saat ini masih difungsikan sebagai kantor pos) dan telefoonkantoor (kantor telepon saat ini difungsikan sebagai kantor simpan pinjam). Perkembangan sarana komunikasi ini sedikit memudahkan masyarakat dalam menjalin komunikasi jarak jauh dan mempermudah juga dalam komunikasi pemerintahan di Klaten.

  1. Sarana transportasi

Sarana transportasi mempunyai peran yang sangat vital dalam menjalankan roda pemerintahan dan perekonomian terutama berperan penting dalam jalan raya yang menghubungkan wilayah Surakarta dan Yogyakarta melalui rute jalan Pemuda Klaten. Sarana transportasi penting yang terdapat di Klaten yaitu stasiun Klaten, Ceper, Delanggu, Srowot dan Prambanan yang menjadi jalur rel kereta api yang menghubungkan Kasunanan Surakarta dengan Kasultanan Yogyakarta milik dua perusahaan kereta api Hindia Belanda Staatsspoorwegen dan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).

7.      Sarana peribadatan

Terdapat masjid lama di Kawasan “pusat Kota” satu berada di barat Kabupaten (masjid Sidowayah) dan satunya terdapat di daerah Tonggalan sekitar Candirejo (disebut masjid Mlinjon saat ini merupakan masjid yang lebih tua dengan adanya toponim Candirejo (permukiman lama) dan di sisi utara wilayah ini juga terdapat toponim Kampung Kauman. Istilah Kuaman diketahui berasosiasi dengan Silam atau wilayah yang terdapat masjid.

Setelah masuknya Zending dan MISI terdapat sarana lain yaitu gereja bagi para penganut Protestan dan katolik. Meskipun tidak tercantum dalam peta namun data pengamatan lain menunjukkan terdapat beberapa gereja di Klaten, yakni Staatskerk atau gereja Protestan untuk kalangan Eropa (saat ini Gereja Jago atau Gereja Kristen Indonesia) yang terletak di timur kantor pos pasamuwan Kristen jawi atau gereja protestan untuk masyarakat Jawa (saat ini Gereja Kristen Jawa) teletak di barat Chr. HIS dan gereja Katolik yang berada di kompleks Roomsch Kath. HIS.

8.      Sarana hiburan

Sarana hiburan di Klaten berupa alun-alun yang digunakan sebgai tempat diadakannya pasar malam (saat ini masih difungsikan sebagai alau-alun berada di barat daya benteng) selain itu bagi masyarakat Eropa terdapat Societeit “de Club” (saat ini menjadi Kantor Administrasi Veteran dan Cadangan IV-29) dan terdapat juga tempat hiburan bagi masyarakat Tionghoa yaitu Societteit Tong Hoo (lokasi tidak ditemukan).

9.      Sarana Pendidikan

Terdapat beberapa sekolah di Kawasan “pusat Kota” Klaten. Sekolah-sekolah tersebut terdiri dari Europeesche Lagere School disingkat ELS (sekolah dasar masyarakat Eropa, lokasi saat ini terdapat di sekitar kompleks Kantor Bupati Klaten), Christelijke Hollandsch Inlandsche School disingkat Chr. HIS (sekolah dasar dengan pengantar Bahasa belanda bagi masyarakat jawa Protestan saat ini menjadi SMP Kristen krista Grasia) Roomsch Katholieke Hollandsch Chineesche School disingkat Chr. HCS (sekolah dasar dengan pengantar Bahasa Belanda bagi masyarakat Tionghoa protestan, lokasi kemungkinan SMP N 2 Klaten). Schakelschool dan 2e Inlandsche School (sekolah angka loro dan persamaannya lokasi kemunginan di Inspektorat Klaten dan SD Negri 1 Klaten) dan Ambachtschool (semacam sekolah kejuruan saat ini akademi akuntasi Muhammadiyah). Terdapat juga sekolah tiong Hoa Hwe Koan di Klaten namun lokasi tidak ditemukan.

10.  Sarana Kesehatan dan pemakaman.

Diketahui di Klaten terdapat klinik dan rumah sakit. Adapun klinik terdapat di Kawasan “pusat Kota” Klaten, sedangkan rumah sakit yaitu Dr. Scheur Hospoital (saat ini Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro) terletak lebih kea rah pinggiran seperti area pemakaman. Diketahui terdapat beberapa areapemakaman khusus yang terdiri dari pemakaman masyarakat Protestan (saat ini Mementomori Klaten) yang terletak di barat pemakaman Eropa dan pemakaman masyarakat katolikyang terletak di Desa Semangkak (saat ini masih terdapat beberapa makam biarawan wan wati Eropa).

Selain klinik rumah sakit dan area pemakaman, terdapat panti social milik kasunanan Surakarta yakni Bedelaarskolonie yang digunakan untuk menapung tuna wisma dan orang dengan ganggungan jiwa. Bangunan saat ini masih memiliki fungsi yang sama akni Unit rehabilitasi Sosial “Hestining Budi” milik dinas Sosial Provinsi jawa Tengah.



[1]Swapraja Saduran “ Muhammad Husodo Pringgokusumo, Rekso Pustoko Mangkunegaran. Artikel karangan G.P. Rouffaer. “ VORSTENLANDEN ”.

[2] Muhammad Husodo Pringgokusumo Dokumen Swapraja, (Rekso Pustoko Istana Mangkunegaran), . Lihat juga, Samroni Imam dkk, Daerah Istimewa Surakarta.

[3]Usaha Mendirikan Daerah Istimewa Surakarta”, dokumen Reksopustoko Mangkunegaran.

[4] Samroni Imam dkk. Daerah Istimewa Surakarta.

[5] Ibrahim Julianto, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan.

[6]Maklumat Sri Padoeka Mangkunegaran ”, Koran Poestaka Warti.

[7] Ibrahim Julianto, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan.

[8] 

[9] 

[10] Arsip Rekso Pustoko, Bendel tentang Rumah-rumah Terbakar ”. Lihat pula : Dafar Gedung Terbakar tahun 1949.

[11] Ibrahim Julianto, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan.

[12] ANRI. No. 1061. “ Perkoempoelan Rahasia di Solo “, inventaris arsip Kementrian Pertahanan Republik Indonesia.

[13] Ibrahim Julianto, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan.

[14]Roentoehnya Swapraja Surakarta”, Arsip Rekso Pustok. Panitia Penyusun Kerabat Mangkunegaran, Mangkunegaran Selajang Pandang (Surakarta: Puro Mangkunegaran, nt).

[15] 

[16] Carey Peter. Kuasa Ramalan.

[17] 

[18] Diponegoro. Babad Diponegoro.

[19] 

[20] Carey Peter. Kuasa Ramalan.

[21] ANRI. Teekening van den verboden kring van het fort Engelenburg te Klatten (gambar denah daerah terlarang benteng Engelen Burg di Klaten).

[22]

[23] ANRI, Plan Van Het Fort Englenburg Te Klaten (Gambar denah benteng Engelenburg di Klaten).

[24]

[25]

[26]

[27] 

[28] 

[29] 

[30] Wawancara dengan tokoh juru kunci makam Kiai Melati (dilakukan pada Kamis 3 April 2021 pukul 13.00 WIB di tempat kediamannya).

[31] 

[32] Abimanyu Soedjipto, Babad Tanah Jawi, (Yogyakarta: Laksana, 2017).

[33] Menurut Juru Kunci Makam Kiai Melati.

[34] Diponegoro, Babad Diponegoro.

[35] 

[36] ANRI. Facade op het van het nieuwe fort te Klaten en facade op de commandants woning in het nieuwe (gambar denah fasad di depan benteng yang baru di Klaten dengan rumah komandan).

[37] Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 12 Tahun 2007, hari jadi Kabupaten Klaten.

[38] Staasblad van Nederlandsch Indie, (Mangkunegaran: Rekso Pustoko).

[39] ANRI. Uitbreiding van het logies voor het strafdetachement te Klatten (gambar denah perluasan tempat bermalam detasemen penjaga narapidana di Klaten).

[40] ANRI. Residents woning Soerakarta. Ordonance woning wachthuis (gambar rancangan bangunan tempat ringgal residen dan rumah penjagaan bagi pesuruh di Surakarta).

[41] Afdeling adalah devisi atau bagian dari sebuah sesuatu. Wilayah afdeling merupakan sebuah wilayah administrasi pada masa pemerintahaan kolonial Hindia Belanda setingkat dengan Kebupaten yang dipegang oleh seorang asisten residen (setingkat Bupati). Afdeling merupakan bagian dari suatu Karesidenan Hindia Belanda yang terdiri dari beberapa Kecamatan (onderafdeling) yang dipimpin oleh seorang wedana dari bangsa belanda  atau yang sering disebut sebagai Controleur dan setiap onderafdeling terdiri dari beberapa Desa (landschap) yang dikepalai oleh seorang bumiputera yang dosebut sebagai hoofd atau kepala sebuah tanah.

[42] Indis adalah hasil percampuran dua kebudayaan Indonesia dan Eropa yang melibuti banyak aspek di kehidupan dengan didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda dan masyarakat Jawa. Pada awal abad ke-19 Indonesia termasuk sebuah wilayah yang telah mengalami akulturasi kebudayaan menjadi wilayah Indis, dan berakhir setelah penyerahan kekuasaan Belanda ke tangan Jepang. Lihat Adam Zaki Gultom, Kebudayaan Indis sebagai Warisan Budaya Era Kolonial, Warisan Jurnal Of History and Cultural Heritage.

[43] Afdeling adalah sebuah wilayah yang mengatur administrative pada masa pemerinthan Kolonial Hindia Belanda yang setingkat Kabupaten.

[44] Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 12 Tahun 2007, hari jadi Kabupaten Klaten..

[45] Skripsi Achmad Ridwan, “perkembangan Peradilan Perdata Masa Reorganisasi Bidang Hukum di Kasunanan Surakarta Tahun 1893-1903.” Universitas Sebelas Maret tahun 2010.

[46] Koran DJAKA LODANG. “Klaten Ditingkatake Dadi Kutha Administratif”.

[47] 

[48]

[49] SYACHDIN, SH. “ Kedudukan Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Nasional. “ Tesis Universitas Diponegoro: Program Pascasarjana Magister Hukum. 2009.

Comments

Popular Posts

Max Havelar

Murudeka