Sejarah Kabupaten Klaten
Klaten
Status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa kolonial Hindia
Belanda merupakan dua imperium besar di tanah Jawa Selatan dengan status kedudukan
sebagai wilayah vorstenlanden[1] (swpraja) yang mempunyai hak istimewa zelfbesturende
landscappen (mengatur kerajaannya sendiri) secara preogatif.[2] Secara hukum wilayah nagaragung
tidak terikat oleh sebuah UU
seperti daerah mancanagari yang dipimpin oleh residen
Belanda secara langsung,
melainkan berbadan hukum berdasarkan
pada perjanjian yang diakan oleh raja dengan Gubernur Jendral melalui politik
kontak (Politiek Contract). Politik kontrak mempunyai dasar hukum yang
kuat karena dibuat oleh keduah
belah pihak yang mendapat persetujuan langsung dari Dewan Perwakilan Kerajaan Belanda. Politik kontrak sendiri mempunyai dua jenis kontrak yang bisa dilakukan berdasarkan status
kekuasaannya: kontrak panjang (Lang Contract) yaitu berisi tentang
kesetaraan kekuasaan antara Kerajaan di Jawa dengan Belanda yang mengikat
Kasunanan Surakarta (S 1939/614) dan Kasultanan Yogyakarta (S 1941/47). Kontrak
pendek (Korte Verklaring) yaitu berisikan mengenai pengakuan terhadap
sebuah kekuasaan yang lebih kecil dari tingkat sebuah kerajaan dan ini mengikat
Mangkunegaran (S 1940/543)[3] dan Pakualaman (S 1941/577).
Sedangkan pada masa
kekuasaan Jepang, Kasunanan Surakarta (Kooti Sumotyookan) dan Yogyakarta
(Kooti Hookookai) merupakan daerah yang bersetatus hokum sebagai Kochi
(daerah Istimewa) dengan jabatan raja sebagai Kooti.[4]
Pada masa kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945 melalui pidato Sukarno semua kekuasaan Jepang dan bekas
Belanda diambil alih oleh Pemerintah Indonesia dan sekaligus pembuatan
pemerintahan yang untuk mengurus segala administrasinya.[5]
Mendengar pidato tersebut segera oleh Sri Susuhunan Pakubuwana XII dan
Mangkunegara VIII melalui Kepatihannya Handajanata mengeluarkan sebuah maklumat
berupa Sabda Pandhita Ratu yang
diterbitkan pada tanggal 1 September 1945 menyatakan bahwa wilayah Kasunanan
Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran secara de facto dan de jure
mengakui kedaulatan pemerintah Indonesia dan bersedia bergabung dengan
Indonesia sebagai wilayah istimewa yang bertanggungjawab secara langsung dengan
pemerintah Pusat.[6]
Pada tahun 1946 merupakan
masa-masa yang sangat krusial bagi pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten
Mangkunegaran. Kekrusialan ini terjadi karena dilatar belakangi oleh
tragedi-tragedi revolusi sosial yang digagas oleh Tan Malaka sehingga membuat wilayah
ini menjadi bak penyimpanan kayu bakar yang kering sehingga bisa kapan saja memanas.
Tragedi sosial ini lahir ketika terjadi ketidak cocokan dalam membangun konsep
kemerdekaan antara Tan Malaka yang membawa konsep “merdeka 100%”[7]
dengan model politiknya Syahrir “Perdjoeangan
Kita” yang mengedepankan diplomasi dari pada perlawanan.[8] Pada saat setelah merdeka Ibu
Kota Jakarta mengalami situasi porak poranda diakibatkan oleh penyerangan
Belanda yang berhasil menduduki wilayah itu. Sri Sultan Hamengkubuwana IX kemudian
menawarkan kepada Sukarno untuk memindahkan pusat kekuasaanya di Yogyakarta.
Pemindahan kekuasaan di Yogyakarta tidak sertamerta berpindah administrasinya
saja melainkan juga para oposisinya yang juga ikut berpindah namun di Surakarta
sebagai basisnya.[9] Kekecewaan rakyat Surakarta
terhadap keraton selama kekuasaan Belanda dan Jepang menimbulkan penderitaan
yang luar biasa terhadap rakyat[10] sehingga Tan menggagas sebuah
mosi untuk menggungat keraton supaya memberikan status kedaulatan istimewanya
kepada kedaulatan rakyat.[11]
Proses perjalanan revolusi di
Surakarta mengalami dinamika yang sangat mengerikan karena para revolusioner
yang tergabung dalam aliansi rakyat menentang keraton sehingga menimbulkan
tindakan-tindakan anarkis seperti penculikan, pembunuhan, perampasan dan
gagalnya keraton dalam mensejahterakan rakyat Surakarta dengan menjalin
hubungan dengan Belanda.[12] Dalam menanggapi hal itu kemudian
Kasunanan Surakarta bersedia untuk melepaskan status keistimewaanya dan
menyerahkan masalah itu kepada pemerintah pusat.[13]
Oleh pemerintah pusat melalui perpres tanggal 15 Juli No. 16/SD/1946 membekukan
status keistimewa Surakarta dan segera dibentuklah pemerintah daerah Surakarta
setelah pembekuan status keistimewaan keraton Surakarta.[14]
Pembekuan Daerah Istimewa
Surakarta (swapraja) sebagai kawasan Karesidenan Surakarta pada tahun 1946
digabungkan dengan Provinsi Jawa Tengah. Pada awal berdirinya Kabupaten Klaten
yang sebelumnya tergabung dengan swapraja Surakarta, sementara semua sistem
pemerintahannya masih mengikuti pola lama yang dipimpin oleh Bupati, Kliwon,
Mantri Jaksa, Mantri Kabupaten, Mantri Pembantu, Mantri Doistrik, Penghulu,
Carik Kabipaten angka 1 dan 2, Lurah Langsik dan Langsir. Susunan penguasaan
Distrik terdiri dari pamong Distrik (1 orang), Mantri Distrik (5 orang), Carik
Kepanawon angka 1 dan 2 (2 orang), Carik Kemanten (5 orang) dan Kajineman (15
orang).[15]
A.
Konflik
Tanah Lungguh DI Wilayah Perbatasan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta (Klaten).
Peradaban Jawa sangat
terpengartuh oleh kebudayaan Hindu Budha terhadap yang telah mengalami proses
asimilasi yang sangat panjang sejak karajaan Salakanegara sampai kerajaan
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Hasil dari proses asimilasi ini
menjadi sebuah kultur yang sangat mendarah daging baik di bidang sosial,
politik, dan budaya yang masih dijalankan secara turun temurun di Jawa.
Kepemilikan tanah dalam setiap kerajaan (tanah lungguh) selalu menjadi hak preogatif seorang raja untuk menghidupi
segenap keluarga besarnya dan para pejabat yang dekat dengan raja serta dalam
mengelola pemerintahannya.[16]
Pasca perjanjian Giyanti 1755
lahir sebuah permasalahan baru yang menjadi sorotan dalam anatar kalangan kerajaan.
Persoalan yang sangat fundamental adalah problem tanah lungguh menjadi sebuah
konflik besar yang terjadi antar keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta yang tak kunjung selesai. Diponegoro memandang konflik tanah lungguh merupakan sebuah
pertanggungjawaban atas kebijakan yang dilakukan oleh Belanda yang telah membagi
wilayah Keraton Kasultanan Mataram Islam menjadi terbelencah-bencah sehingga
susah dijangkau oleh para Bupati. Menurut Beberapa sumber laporan Belanda
pembagian wilayah setelah perjanjian Giyanti merupakan sebuah konspirasi
pangeran Mangkubumi yang mendesak VOC supaya dilakukan sebuah pembagian tanah
yang adil agar wilayah-wilayah yang subur juga terbagi secara merata sehingga
terhindar dari konflik dengan Kasunanan Surakarta ketika akan terjadi gencatan
senjata.[17]
Apapun alasan yang melatar
belakangi konflik pembagian wilayah tanah lungguh
yang acak-acakan (Belang-bontengnya) tetap
merupakan sebuah konflik yang sangat rumit untuk diselesaikan, karena memiliki dampak
yang berkepanjangan dan saling berkaitan seperti konflik pengairan, pertanian,
pertanahan, perpajakan dan penegakan hukum. Menurut Crawfurd, konflik pembagian
wilayah tanah lungguh kadang
diabaikan oleh para pemegang jabatan Keraton yang mendapat tugas sebagai
seorang Tumenggung karena begitu sulitnya akses untuk menuju wilayah penugasan
yang harus melalui medan tempuh yang berupa rawa-rawa, hutan-hutan lebat penuh
jurang[18] dan banyak hewan buas yang
sangat berbahaya serta minimnya sarana prasarana yang belum memadai.[19] Berbeda dengan Raden Mas
Said dan Diponegoro yang sangat memberikan perhatian khusus terhadap tanah lungguh yang menjadi haknya karena
sangat berpengaruh terhadap eksistensi
wilayah yang menjadi kekuasaanya.[20]
Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta sangat menyorot wilayah Klaten (nama Sekarang) karena di
wilayah ini menjadi kawasan perbatasan yang saling persinggungan secara
geologi. Klaten menjadi jalan penghubung utama anatara Keraton Yogyakarta dan
Surakarta sehingga sangat rentan sekali akan terjadinya sebuah konflik sosial terutama
dalam penetapan serta penegakan hukum karena ketidak jelasan tapal batas anatar
dua kerajaan yang pemicu konflik fundamental. Melihat konflik yang berkepanjangan di wilayah perbatasan Belanda berinisiatif mengambil sebuah sikap untuk menengahi antar kerajaan besar yang sedang berselisih melalui meja perundingan. Selama proses perundingan disepakatilah sebuah pembangunan benteng (Lodji) di Desa Klaten[21] pada Sabtu Kliwon 12
Rabiulakir 1731 (28 Juli 1804) sebagai tapal batas kekuasaan antara Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.[22]
Pembangunan benteng (Lodji)
Engelenburg di Desa Klaten pada tahun 1804 merupakan pemindahan benteng yang
sebelumnya berada di Desa merbung. Pemindahan benteng sebagai tindakan lanjutan
atas kesepakatan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak keraton sebagai
bentuk penyelesaian sengketa tanah lungguh
di sebelah Timur keraton Yogyakarta dan sebelah Barat keraton Surakarta yang
selama ini menjadi problem yang tak terselesaikan. Pembuatan benteng (Lodji)
Engelenburg dikerjakan oleh
teknisi Belanda H.C Cornelius dibawah pengawasan Letnan Kolonel Larel Von
Wollzogen.[23] Pembangunan benteng Engelenburg selesai pada tahun
1806, benteng ini selain bertujuan sebagai tapal batas kerajaan Yogyakarta dan Surakarta juga berfungsi sebagai tempat pengelolaan administrasi, penjara, pos keamanan dan penegakan hukum di pusatkan kawasan perbatasan di Desa Klaten. Sebelumnya pengelolaan administrasi, hukum, dan kemanan masih terbagi-bagi di kawasan Klaten Selatan, Klaten Tengah dan Klaten Utara.[24]
B.
Sejarah
Kabupaten Klaten.
Kabupaten Klaten merupakan sebuah Kota yang terletak
di Provinsi Jawa Tengah yang
menjadi garis singgung secara langsung dengan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta di sebelah Barat serta Selatan, dengan
Kabupaten Sukoharjo di sebelah Timur, dan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali
di sebelah Utara. Secara
geografis Kabupaten Klaten terletak dalam koordinat 110°30´-110°45´ bujur Timur
dan 7°30´-7°45´ lintang Selatan dengan luas wilayah mencapai 665,56 km2. Topografi Kabupaten
Klaten terletak diantara gunung Merapi dan pegunungan Seribu yang berdiri
diatas ketinggian yang berbeda-beda seperti 9,72% terletak di dataran rendah
dengan ketinggian 0-100 meter dari permukaan air laut, 77,52% terletak di
dataran sedang dengan ketinggian 100-500 meter dari permukaan air laut dan
12,76% terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 500-1000 meter dari
permukaan air laut.[25]
Pada tahun 1749 kawasan Klaten adalah
bagian dari imperium[26] Kasunanan
Surakarta dan beberapa bagian kecil masuk Kasultanan Yogyakarta. Kawasan ini merupakan
sebuah tempat kecil yang menjadi bagian dari pembagian wilayah distrik Jawa dan Madura yang di dalamnya
sudah terdapat beberapa Provinsi serta Kabupaten yang dikepalai oleh seorang
Wedono. Pembagian distrik didasarkan pada serat Nawala Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin Panata
Gama VII, pada Senin Legi 23 Jumadillakhir Dal 1775 (5 Juni 1847) dalam bab
13 disebutkan: “ …………” Keraton dalam Surakarta Adiningrat Nganakake
Kabupaten cacah enem. : “…………” Kabupaten cacah enem iku Nagara
Surakarta, Kartosuro, Klaten, Boyolali, Ampel lan Sragen. “ …………” Para
Tumenggung kewajiban rumeksa amrih tata tentrem bawahane dhewe-dhewe serta
padha kebawah marang Raden Adipati.[27]
Istilah nama Klaten sendiri
diambil dari ortakala Setda
Kab Dati II Klaten tahun 1992/1993 dan serat Narwapada 1919:1921 historis
nama Klaten (Bahasa Jawa: Klathen)[28]
berasal dari kata Melati yang telah mengalami disimilasi[29]
verbal (Jawa: gethok tular) masyarakat Jawa secara turun-temurun karena kebiasaannya mencari kemudahan dalam pengucapannya sehingga
istilah Melati mengalami dinamika kebahasaan dari istilah Mlathi, Klathi, Klathen dan mengendap menjadi nama
Klaten.
Menurut Mbah Bowo (Juru
Kunci Makam Kiai Melati)[30] Istilah melati
sendiri dipopulerkan oleh seorang tokoh abdi dalem keraton Kasultanan Mataram
Islam di Kartasura bernama Sekolekan yang dimakamkan di dukuh Sekalekan (nama
dukuh yang diambil dari sebagian namanya sendiri) yang terletak di Jl. Anggrek
No. 12, Ngepos, Klaten Kec. Klaten Tengah, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah 57411.
Sosok Sekolekan sendiri
hidup sekitar 275[31] tahun yang lalu pada abad
ke-18 (1726-1742M) pada masa pemerintahan Pakubuwana II.[32]
Sekolekan terkenal dengan sebutan melati karena profesinya yang setiap
hari mencari bunga melati dan membudidayakannya di pekarangan yang telah
disediakan oleh Pakubuwana II untuk keperluan ritual kagamaan dan kebudayaan.
Selain dikenal sebagai sebutan melati, sekolekan ini juga mendapat julukan
oleh masyarakat sekitar sebagai seorang kiai yang dianggap memiliki kesaktian
dan merupakan sosok berbudi luhur. Berkat kepopuleran Kiai Melati Sekolekan
tempat ini sering disebut masyarakat sebagai kawasan Klaten yang meliputi beberapa dukuh seperti Ngepos, Sidowayah
dan Tegalmulyo.[33]
Kawasan Klaten yang termasuk kedalam distrik Jawa menjadi bagian dari wilayah provinsi negaragung. Klaten pada waktu itu hanya sebuah kawasan kecil tidak terkenal dan hanya berupa sebuah desa yang masih kalah jauh jika dibandingkan dengan nama Delanggu, Prambanan yang memiliki sebuah kawasan besar dan terkenal sehingga keduanya juga pernah menempati posisi sebagai pusat kota sejak kekuasaan Kasultanan Pajang.[34] Desa Klaten mulai banyak dikenal luas oleh masyarakat Jawa Selatan setelah pembangunan benteng Engelenburg pada tahun 1806. Terlebih lagi kawasan Klaten merupakan sebuah wilayah yang memiliki letak yang strategis sebagai jalan lintas utama penghubung Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.5]
Kawasan Klaten pada periode
tahun 1840 setelah terjadi perang Jawa mulai dikembangkan sebuah Pos keamanan
yang disebut Pos Tundha di dekat benteng Engelenburg sebagai alat untuk menjaga
kemanan setiap perjalanan yang melindasi jalan utama penghubung Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.[36]
Peran Pos Tundha sebagai beacukai di kawasan perbatasan dilengkapi hukum pengadilan perdata yang berkaitan dengan sistem
peradilan raja, serambi (pengadilan
agama) dan Kadipaten Anom (peraturan Bupati/ Pemerintah daerah).[37]
Pada tahun 1847 Pakubuwana VII terus
membenahi sistem kemanan dan pertahanan di wilayah perbatasan dengan meningkatkan
kawasan Klaten[38] menjadi Gunung Pulisi yang
bertugas sebagai pusat pengakan hukum dalam perkara-perkara di kawasan ini.[39] Pada 1873 setelah meningkatnya status Gunung Pulisi Belanda mulai penempatan wakil asisten
residennya di
kawasan ini yang bertugas untuk menjaga jalannya sistem peradilan serta hukum.[40] Melihat adanya double
kekuasaan di kawasan Klaten[41] yang pigang oleh seorang Wedono
dan Asisten Residen membuat kawasan ini
dikategorikan sebagai wilayah indis[42] karena memiliki dua corak kultur yang telah
mengalami asimilasi budaya dari Eropa dan tradisional Jawa dalam konsep bahasa,
hukum dan tata kelola negara serta pemerintahan.[43]
Pada tahun
1918 Pakubuwana
X meningkatkan status pemerintahan dari Gunung Pulisi menjadi Kabupaten Pangreh Praja,[44] peningkatan status ini dilatar belakangi oleh konflik antara Kasunanan
Surakarta dan Belanda dalam membuat serta menjalankan sistem peradilan di
kawasan perbatasan.[45]
Berdasaran Staatsblad tahun 1927 Kabupaten Pangreh
Praja Klaten merupakan bagian dari afdeling
yang berada dalam karesidinenan Surakarta.
Pada tahun 1946 pasca tragedi
pemberontakan sampai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta, wilayah-wilayah Kota
Praja eks Karesidenan Surakarta di gabungkan dengan Provinsi Jawa Tengah.
berdasarkan pada undang-undang nomor 13 tahun 1950 tentang pembentukan
daerah-daerah Kabupaten di dalam Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Klaten pada
tanggal 18 Oktober 1987 melalui peraturan pemerintah nomor 41 tahun 1986 menjadi
sebuah kawasan Kota Administratif.[46]
C. Perkembangan Fasilitas Publik Kota Klaten
pada awal abad XX
- Sarana
pemerintahan
Sarana pemerintahan administrasi di Klaten
dikelola oleh sorang Tumenggung
yang di
gedung pemerintahan Bupati (sekarang Gedung Panandaran). Sedangkan Belanda menempatkan Assisten Resident di tempat yang tak jauh dari pusat pemerintahan Bupati yang berada
di Samsat Klaten dan rumah Dinas Bupati Klaten saat ini (tempat
sekarang). Fasilitas pemerintahan lain
yang juga dikembangkan antara lain waterschaapkantoor (perdinasan milik Hindia Belanda yang melayani pengairan) yang
saat ini menajdi kantor perusaan Daerah Air Minum Kabupaten Klaten dan Kartiprojo
(semacam dinas yang melayani pekerjaan umum Kasunan Surakarta) (lokasi terdapat
di sekitar pemakaman Eropa atau hutan Kota).
- Sarana Permukiman Masyarakat
Kota Klaten terdapat banyak pemukiman yang digunakan oleh berbagai elemen masyarakat berdasarkan etnisnya yakni
permukiman Eropa, permukiman Tionghoa dan permukiman masyarakat Jawa. Bangsa Eropa yang tinggal di
dekat pusat pemerintahan dan pusat transportasi dianggap sangat menguntungkan
untuk mereka karena mendapatkan sebuah akses yang mudah untuk menjalankan
aktivitas mereka dan mendapatkan pengawasan yang ketat ketika terjadi
perselisihan dengan bumiputra. Kaum Tionghoa biasanya menempati tempat yang
strategis karena mereka selain mencari tempat untuk bermukim sekaligus juga
mencari tempat untuk berdagang sehingga banyak sekali pemukiman Tionghoa yang
berupa pertokoan sekaligus tempat tinggal. Sedangkan pemukiman bumiputra sifatnya
penyebarannya lebih tersebar di segala penjuru Kota Klaten dari perkampungan
sampai tingkat perkotaan.
- Sarana
Hukum
dan Keamanan
Sejak masa peralihan
Kasultanan Kartasura ke Kasunanan Surakrata pada tahun 1746 sistem peradilan
dan pemerintahan sudah mulai dipengaruhi oleh Belanda dalam menyelesaikan sebua
perkara yang ada dan dalam menentukan sebuah kebijakan hukum yang membuat
perkembangannya menunjukkan penetrasi dalam sistem tata peradilan dan hukum
Keraton Kasunanan Surakarta.
Sistem peradilan di
Kasunanan Surakarta telah banyak mengalami perubahan setelah menguatnya
penetrasi sistem Belanda yang sangat intens. Rekonstruksi sistem peradilan
mulai diakuisisi oleh Belanda secara bertahap yang menyebabkan kebijakan Sri
Susuhunan banyak dipengaruhi oleh peradilan dan tata hukum buatan Belanda.
Walaupun begitu legitimasi Sri Susuhunan masih tetap terjaga di hadapan
rakyatnya. Namun akibat intervensi Belanda dalam sistem sistem peradilan
menjadikan Sri Susuhuan hanya bersifat simbolik dalam sistem bernegara Keraton
kasunana Surakarta.
Pos Tundha memiliki tugas
sebagai beacukai tempat untuk memantau keluar masuknya barang dan penjagaan
kemanan selama perjalanan. Sarana prasaranan dalam mengatur kemanan dalam kota Klaten
semua dikerjakan oleh otoritas penegak hukum dari benteng Engelenburg (saat ini didirikan Alun-alun dan Masjid Raya Klaten) yang ditegakkan oleh stand politie (polisi Kota)[47] yang bermarkas di kantor Kepolisian
Sektor Klaten Selatan.
Penegakan hukum dikelola oleh Landraad[48] (pengadilan Negri yang sekarang sudah diubah menjadi
pertokoan dan dipindahkan di Pengadilan Klaten yang ada di wilayah Klaten Utara) yang menangani berkas pelanggaran masyarakat yang berkaitan dengan sistem peradilan raja, serambi
(pengadilan agama) dan Kadipaten Anom (peraturan Bupati/ Pemerintah daerah) dan setelah penjatuhan hukum
kemudian diserahkan kepada geveangenis (saat
ini menjadi Lembaga permasyarakatan Kelas
IIB Klaten).[49]
- Sarana
Perekonomian
dan Industry
Sarana prasarana perekonomian di kawasan Klaten mayoritas diusung oleh kegiatan perdagangan di pasar
yang sejak dulu sudah ada dan mengalami perkembangan perdangan seiring
berkembangnya teknologi dan
industri di kawasan Klaten. Perkembangan pasar di Klaten sudah banyak menyebar
di berbagai tempat terutama pasar Klaten yang terletak sebelah dari benteng
Engelenburg dengan bebagai jenis dagangan yang ditawarkan baik berupa sayuran,
buah-buahan, kain, dsb yang dilakukan dengan antar etnis baik bumiputra, Eropa
maupun dengan Tionghoa.
Kegiatan Industri di Klaten
pada abad XX masih dalam kategori perkembangan baik berupa industri rumahan
atau industri pabrik yang melengkapi kebutuhan sandang papan dan pangan pada
waktu itu. Kawasan Klaten perindustrian yang paling terkenal adalah perindustrian
gula yang ada di Gondang Winangoen Jogonalan Klaten. Perkembangan industri dan
teknologi semakin berkembang seperti
proefstation
(laboratorium penelitian tembakau hingga 2017 masih berfungsi sama, saat ini
dalam tahap pembangunan hotel) kalkbranderij
(pabrik pembakaran kapur yang berada di bukit patrun Bayat, saat ini bangunan tidak difungsikan) ijsfabriek (pabrik es, saat ini bangunan
tidak difungsikan) bataafsche petroleum
maatschappij (saat ini berdiri perumahan dengan toponim perumahan Rakyat
BPM) dan houtstapelplaats (Gudang
penyimpanan kayu) saat ini menjadi pemukiman).
- Sarana
komunikasi
Sarana komunikasi pada awal abad XX merupakan sebuah komponen penting dalam melakukan sebuah perhubungan. Pada awal abad XX Klaten sudah mengalami sebuah perkembangan seperti post-en telegraafkantoor (kantor pos dan telegraf, saat ini masih
difungsikan sebagai kantor pos) dan telefoonkantoor
(kantor telepon saat ini difungsikan sebagai kantor simpan pinjam). Perkembangan sarana komunikasi
ini sedikit memudahkan masyarakat dalam menjalin komunikasi jarak jauh dan
mempermudah juga dalam komunikasi pemerintahan di Klaten.
- Sarana
transportasi
Sarana transportasi mempunyai peran yang sangat
vital dalam menjalankan roda pemerintahan dan perekonomian terutama berperan penting dalam jalan raya yang menghubungkan
wilayah Surakarta dan Yogyakarta melalui rute jalan Pemuda Klaten. Sarana transportasi penting yang terdapat di
Klaten yaitu stasiun Klaten, Ceper, Delanggu, Srowot dan Prambanan yang menjadi jalur rel kereta api yang menghubungkan Kasunanan
Surakarta dengan Kasultanan Yogyakarta milik dua perusahaan
kereta api Hindia Belanda Staatsspoorwegen
dan Nederlandsch-Indische Spoorweg
Maatschappij (NISM).
7. Sarana
peribadatan
Terdapat masjid lama di
Kawasan “pusat Kota” satu berada di barat Kabupaten (masjid Sidowayah) dan
satunya terdapat di daerah Tonggalan sekitar Candirejo (disebut masjid Mlinjon
saat ini merupakan masjid yang lebih tua dengan adanya toponim Candirejo
(permukiman lama) dan di sisi utara wilayah ini juga terdapat toponim Kampung
Kauman. Istilah Kuaman diketahui berasosiasi dengan Silam atau wilayah yang
terdapat masjid.
Setelah masuknya Zending dan
MISI terdapat sarana lain yaitu gereja bagi para penganut Protestan dan
katolik. Meskipun tidak tercantum dalam peta namun data pengamatan lain
menunjukkan terdapat beberapa gereja di Klaten, yakni Staatskerk atau gereja
Protestan untuk kalangan Eropa
(saat ini Gereja Jago atau Gereja Kristen Indonesia) yang terletak di timur
kantor pos pasamuwan Kristen jawi atau gereja protestan untuk masyarakat Jawa
(saat ini Gereja Kristen Jawa) teletak di barat Chr. HIS dan gereja Katolik
yang berada di kompleks Roomsch Kath. HIS.
8. Sarana
hiburan
Sarana hiburan di Klaten
berupa alun-alun yang digunakan sebgai tempat diadakannya pasar malam (saat ini
masih difungsikan sebagai alau-alun berada di barat daya benteng) selain itu
bagi masyarakat Eropa terdapat Societeit “de Club” (saat ini menjadi Kantor
Administrasi Veteran dan Cadangan IV-29) dan terdapat juga tempat hiburan bagi
masyarakat Tionghoa yaitu Societteit Tong Hoo (lokasi tidak ditemukan).
9.
Sarana
Pendidikan
Terdapat beberapa sekolah di
Kawasan “pusat Kota” Klaten. Sekolah-sekolah tersebut terdiri dari Europeesche
Lagere School disingkat ELS (sekolah dasar masyarakat Eropa, lokasi saat ini
terdapat di sekitar kompleks Kantor Bupati Klaten), Christelijke Hollandsch
Inlandsche School disingkat Chr. HIS (sekolah dasar dengan pengantar Bahasa
belanda bagi masyarakat jawa Protestan saat ini menjadi SMP Kristen krista
Grasia) Roomsch Katholieke Hollandsch Chineesche School disingkat Chr. HCS
(sekolah dasar dengan pengantar Bahasa Belanda bagi masyarakat Tionghoa
protestan, lokasi kemungkinan SMP N 2 Klaten). Schakelschool dan 2e Inlandsche
School (sekolah angka loro dan persamaannya lokasi kemunginan di Inspektorat
Klaten dan SD Negri 1 Klaten) dan Ambachtschool (semacam sekolah kejuruan saat
ini akademi akuntasi Muhammadiyah). Terdapat juga sekolah tiong Hoa Hwe Koan di
Klaten namun lokasi tidak ditemukan.
10.
Sarana
Kesehatan dan pemakaman.
Diketahui di Klaten terdapat
klinik dan rumah sakit. Adapun klinik terdapat di Kawasan “pusat Kota” Klaten,
sedangkan rumah sakit yaitu Dr. Scheur Hospoital (saat ini Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro) terletak lebih kea rah pinggiran seperti area
pemakaman. Diketahui terdapat beberapa areapemakaman khusus yang terdiri dari
pemakaman masyarakat Protestan (saat ini Mementomori Klaten) yang terletak di
barat pemakaman Eropa dan pemakaman masyarakat katolikyang terletak di Desa
Semangkak (saat ini masih terdapat beberapa makam biarawan wan wati Eropa).
Selain klinik rumah sakit
dan area pemakaman, terdapat panti social milik kasunanan Surakarta yakni
Bedelaarskolonie yang digunakan untuk menapung tuna wisma dan orang dengan ganggungan
jiwa. Bangunan saat ini masih memiliki fungsi yang sama akni Unit rehabilitasi
Sosial “Hestining Budi” milik dinas Sosial Provinsi jawa Tengah.
[1] “ Swapraja Saduran “ Muhammad Husodo Pringgokusumo, Rekso Pustoko
Mangkunegaran. Artikel karangan G.P. Rouffaer. “ VORSTENLANDEN ”.
[2] Muhammad
Husodo Pringgokusumo Dokumen Swapraja, (Rekso Pustoko Istana
Mangkunegaran), . Lihat juga, Samroni Imam dkk, Daerah
Istimewa Surakarta.
[10] Arsip Rekso Pustoko, “ Bendel tentang Rumah-rumah Terbakar ”. Lihat pula : Dafar Gedung
Terbakar tahun 1949.
[12] ANRI. No. 1061. “ Perkoempoelan Rahasia di Solo “,
inventaris arsip Kementrian Pertahanan Republik Indonesia.
[14] “Roentoehnya Swapraja Surakarta”, Arsip Rekso Pustok. Panitia Penyusun Kerabat Mangkunegaran, Mangkunegaran Selajang Pandang (Surakarta: Puro Mangkunegaran, nt).
[21] ANRI. Teekening van den verboden kring van het
fort Engelenburg te Klatten (gambar denah daerah terlarang benteng Engelen
Burg di Klaten).
[30] Wawancara
dengan tokoh juru kunci makam Kiai Melati (dilakukan pada Kamis 3 April 2021
pukul 13.00 WIB di tempat kediamannya).
[36] ANRI. Facade op het van het nieuwe fort te Klaten
en facade op de commandants woning in het nieuwe (gambar denah fasad di
depan benteng yang baru di Klaten dengan rumah komandan).
[39] ANRI. Uitbreiding van het logies voor het
strafdetachement te Klatten (gambar denah perluasan tempat bermalam
detasemen penjaga narapidana di Klaten).
[40] ANRI. Residents
woning Soerakarta. Ordonance woning wachthuis (gambar rancangan bangunan tempat
ringgal residen dan rumah penjagaan bagi pesuruh di Surakarta).
[41] Afdeling adalah devisi
atau bagian dari sebuah sesuatu. Wilayah afdeling merupakan sebuah wilayah
administrasi pada masa pemerintahaan kolonial Hindia Belanda setingkat dengan
Kebupaten yang dipegang oleh seorang asisten residen (setingkat Bupati). Afdeling merupakan bagian dari suatu
Karesidenan Hindia Belanda yang terdiri dari beberapa Kecamatan (onderafdeling) yang dipimpin oleh
seorang wedana dari bangsa belanda atau
yang sering disebut sebagai Controleur
dan setiap onderafdeling terdiri dari
beberapa Desa (landschap) yang
dikepalai oleh seorang bumiputera yang dosebut sebagai hoofd atau kepala sebuah tanah.
[42] Indis adalah hasil
percampuran dua kebudayaan Indonesia dan Eropa yang melibuti banyak aspek di
kehidupan dengan didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda dan
masyarakat Jawa. Pada awal abad ke-19 Indonesia termasuk sebuah wilayah yang
telah mengalami akulturasi kebudayaan menjadi wilayah Indis, dan berakhir
setelah penyerahan kekuasaan Belanda ke tangan Jepang. Lihat Adam Zaki Gultom, Kebudayaan Indis sebagai Warisan Budaya Era
Kolonial, Warisan Jurnal Of History and Cultural Heritage.
[43] Afdeling adalah sebuah wilayah yang mengatur administrative pada masa pemerinthan Kolonial Hindia Belanda yang setingkat Kabupaten.
[45] Skripsi Achmad Ridwan, “perkembangan Peradilan Perdata Masa
Reorganisasi Bidang Hukum di Kasunanan Surakarta Tahun 1893-1903.”
Universitas Sebelas Maret tahun 2010.
[49] SYACHDIN, SH. “ Kedudukan Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Nasional. “ Tesis Universitas Diponegoro: Program Pascasarjana Magister Hukum. 2009.
Comments
Post a Comment